Liputan6.com, Jakarta Tidak semua orang dapat dengan mudah menjadi Makeup Artist (MUA). Butuh kreatifitas, jiwa seni, dan kegigihan untuk menjadi MUA. Namun, bagi Gabrielle Gandhi, atau disapa Gaby, keterbatasan tuli sejak lahir tidak menghalanginya merintis karir di dunia kecantikan.
“Mamaku sakit waktu hamil, begitu (lahir) langsung jadi tuli gitu”. Gaby mengatakan, ia memakai alat bantu pendengaran implant untuk membantu kesehariannya. “Tuli total 140 db, aku 110 dp jadi ada sedikit sisa pendengaran. Aku pakai alat implant juga,” ungkap perempuan 22 tahun tersebut pada Liputan6.com, ditulis Selasa (27/10/2020).
Gaby saat ini sedang menekuni seni make up special effect yang sering digunakan dalam dunia perfilman. Ia pun sering membagikan hasil karya dan konten makeup untuk disabilitas dalam instagramnya yaitu @gabrielle_gandhi dan @gabrielle_Gandi.
Advertisement
Simak Juga Video Berikut Ini:
Kisah awal menyukai makeup
Sejak 2018, Gaby belajar make up bagian special effects secara khusus di akademi Australian Academy Cinemagraphic Makeup, Brisbane, Australia. Yang mengejutkan, ia mengatakan, awalnya tidak tertarik makeup.
“Awalnya sih sebenernya aku nggak begitu tertarik ya. Apalagi coming from a society dimana pemikirannya tuh kalo mau kerja harus kuliah dulu. Interest-nya dulu juga di fashion design. Sama- sama di creative industry sih tapi akhirnya milih makeup," katanya.
Walau diawali dengan keraguan, ketertarikannya dengan dunia perfilman merupakan salah satu alasan ia memilih jalur karir ini.
“Aku tertarik banget ke bidang perfilman gitu, kaya the job possibilities of what makeup artist can lead me to. Tapi awalnya sih memang masih agak ragu sendiri sama job opportunity dan karirnya. Tapi, setelah coba belajar, tau lebih dalam lagi, dikasih kesempatan belajar akhirnya to the point when i was thinking yes i want to do this as my job”
Advertisement
Banyak tantangan
“Komunikasi sih yang menjadi tantangan terbesar aku,” kata Gaby.
Ia bercerita bahwa selama ini kertas dan HP adalah alat yang membantunya berkomunikasi dengan klien dan timnya. "Kalau di Australia, orang- orang kan ngomong english jadi aku tidak mengerti. Karena aku tidak terbiasa membaca gerakan bibir dalam english, terpaksa pakai tulis hp atau kertas biar jelas."
Selain itu, Gaby juga bercerita, ada beberapa orang yang masih kurang peka dan peduli terhadap kebutuhan komunikasi yang dimilikinya.
“Kalau lagi kelas gitu misalnya, aku kurang nangkep guru ngomong apa dan ketika aku minta mereka ngomong pelan-pelan ya diabaikan. Trus kalo nanya soal tugas atau materi eventhough mereka tau aku disabilitas dan aku udah request buat mereka tulis jawabannya somewhere gitu tetep aja ada yang gak mau dan lanjut aja ngomong,” cerita Gaby.
Gaby juga mengatakan, fasilitas – fasilitas yang seharusnya bisa digunakan sebagai media dan komunikas masih kurang memperhatikan kaum disabilitas, khususnya teman tuli. Fasilitas- fasilitas ini berupa, akses TV yang minim penerjemah, tidak adanya live caption berita, iklan, film, bioskop, dan website.
“Enggak di Australia, nggak di Indonesia tantangannya sama aja. Tapi menurut aku, di Australia lebih mengakomodasi ya.”
Inspirasi konten makeup
Berawal dari kesukaanya menonton konten-konten beauty vlogger, Gaby merasa terdorong untuk membuat konten serupa namun dikhususkan untuk komunitas tuli.
“Awalnya sih termotivasi dari beauty vlogger dan beauty influencer di youtube sama IG. Tapi, makin kesini aku liat kalau di luar sana tuh nggak banyak influencer tuli yang bisa ngebantu anak-anak tuli lainnya dan bisa ngasih konten yang relatable buat komunitas tuli. Jadi dari yang pengen jadi beauty vlogger biasa aku ngambil niche (pasar)-nya ke komunitas tuli. Aku pengen motivasi mereka, memberi bahan entertainment gitu yang membuat mereka merasa nggak sendiri di masyarakat,” ujar Gaby.
Advertisement
Apa Harapan dan Projek Gaby untuk kedepannya?
Gaby berharap, kedepannya masyarakat luas dapat lebih peka dan memperhatikan kaum disabilitas. Seperti misalnya saling bantu dan lebih toleran.
“Kadang ada lirikan-lirikan mata yang rasanya ngerendahin/nge-judge kita gitu di masyarakat yang buat nggak nyaman. Terus berharap lebih mengakomodasi orang disabilitas dan normalisasi bahasa isyarat atau baca mulut juga buat orang orang tuli,” kata Gaby.
Selain itu, di masa yang akan datang Gaby telah memiliki project bersama komunitas tuli yang telah diikutinya yaitu, Deaf pub dan DCCQ (Deaf Culture Council Queensland) youth untuk kaum disabilitas khususnya komunitas tuli untuk meningkatkan komunikasi antar orang.
“Untuk komunitas tuli, rencana kami mau membuat camp juga membantu anak-anak tuli mengajarkan sign language supaya mereka lebih lancar, fleksibel, tidak kaku menggunakan sign language.”
Gaby juga memiliki rencana untuk mengikuti project film dan membuka salon untuk teman tuli.
“Aku ingin ikut dalam suatu project film dan juga membuka salon untuk sesama tuli supaya mereka bisa berkomunikasi,” ujar Gaby.
Menurut Gaby, menjadi sukses dan berjuang keras adalah hal yang sangat penting. Entah itu seseorang yang datang dari komunitas disabilitas maupun non-disabilitas, semua orang bisa sukses jika berjuang.
“Disabilitas atau enggak, aku ngerasa aku harus sukses, ini mungkin jadi faktor terbesar aku buat tetap berjuang ya walaupun kadang down dan mau nyerah aja. Mungkin tantangannya akan jauh lebih susah dari biasanya tapi aku ngerasa walaupun aku disabilitas aku pengen banget bisa sukses dan terjun ke dunia kerja," pungkasnya.
(Vania Accalia)
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Advertisement