Menteri Risma Tuai Kritik karena Paksa Penyandang Tuli Berbicara

Menteri Sosial Tri Rismaharini mendapatkan kritik dari masyarakat penyandang disabilitas karena memaksa anak penyandang Tuli wicara untuk berbicara.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 02 Des 2021, 19:05 WIB
Diterbitkan 02 Des 2021, 14:13 WIB
Menteri Sosial Tri Rismaharini atau Risma
Menteri Sosial Tri Rismaharini atau Risma. (Foto: Istimewa).

Liputan6.com, Jakarta Menteri Sosial Tri Rismaharini mendapatkan kritik dari masyarakat penyandang disabilitas karena memaksa anak penyandang Tuli wicara untuk berbicara.

Tindakan Risma akhirnya viral dan mendapat reaksi kekecewaan khususnya dari para penyandang disabilitas. Dalam acara tersebut, Risma meminta seorang penyandang Tuli untuk naik ke panggung dan memaksannya berbicara.

Merasa tidak dapat dibenarkan, salah satu penyandang disabilitas lainnya, Stefanus yang juga hadir dalam acara tersebut menjelaskan bahwa anak tersebut memang tidak dapat berbicara meski dipaksa.

"Saya ingin menyampaikan bahwasanya bahasa isyarat itu penting bagi kami, bahasa isyarat itu adalah seperti mata bagi kami, mungkin seperti alat bantu dengar. Kalau alat bantu dengar itu bisa mendengarkan suara, tapi kalau suaranya tidak jelas itu tidak akan bisa terdengar juga," kata Stefanus.

Risma pun menanggapi bahwa dirinya ingin mereka mencoba mengoptimalkan mulut sebagai pemberian Tuhan.

“Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Jadi ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat tapi kalau kamu bisa bicara maka itu akan lebih baik lagi," kata Risma dalam potongan video yang beredar di media sosial.

Belajar Bahasa Isyarat

Tanggapan Aktivis Tuli

Tindakan Risma kemudian tanggapan dari aktivis Tuli Surya Sahetapy. Dalam akun Instagram pribadinya, Surya mengatakan bahwa tidak semua anak bisa berbicara. Ada beberapa faktor bicara pada anak yakni:

-Berdasarkan tingkat pendengaran.

-Investasi alat bantu dengar (ABD) yang nilainya puluhan hingga ratusan juta.

-Terapi wicara yang berkesinambungan yang biayanya tidak murah.

-Pendidikan luar biasa saat ini belum humanis.

Ketimbang memaksa anak yang tidak dapat berbicara untuk bicara, Surya menyarankan Risma untuk memberikan pilihan terkait cara apa yang paling tepat untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan anak tersebut.  

“Seharusnya digantikan pertanyaan ‘Nak, mau sampaikan pakai apa? Boleh tulis boleh bahasa isyarat boleh berbicara dan lain-lain. Biar ibu yang belajar memahamimu’,” tulis Surya dikutip dari Instagram pribadinya, Kamis (2/12/2021).

“Tanyakan komunikasi mereka bukan kita menentukan komunikasi mereka demi kepuasan kita tanpa memahami kenyamanan mereka,” tambahnya.

Hindari Sikap Linguicism

Dari kejadian ini, Surya mengimbau masyarakat untuk menghindari sikap linguicism. Menurutnya, Linguicism merupakan pandangan yang menganggap pengguna bahasa Indonesia secara lisan lebih pintar daripada orang menggunakan bahasa isyarat.

“Bahasa isyarat merupakan bahasa ibuku, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bukan berarti saya tidak berkompeten sebagai warga negara Indonesia.”

“Mari rombak sistem sosial dan pendidikan yang kejam di Indonesia! Sebelum 2045.”

 

 

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta
Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya