Liputan6.com, Jakarta Beberapa pelajar tunanetra di Thailand menganggap pembelajaran online selama pandemi sebagai tantangan yang membuat mereka mengalami kemunduran.
Dilansir dari NHK, remaja tunanetra dan autisme di Thailand, Thanasat Naksanong misalnya ia merasa kesulitan ketika belajar di rumah. Ia merasa tugas pekerjaan rumah online-nya selalu dalam format yang tidak dapat ia pahami. Sementara ia tidak dapat lagi mengakses buku braile di sekolah.
Baca Juga
"Dengan pembelajaran online, saya tidak dapat menggunakan dokumen atau gambar yang dikirimkan guru kepada saya. Saya rindu belajar di kelas. Setidaknya guru ada di dekat saya, dan saya selalu bisa meminta bantuan mereka," katanya.
Advertisement
Thanasat adalah satu dari 1.700 siswa sekolah menengah dengan gangguan penglihatan di Thailand. Negara ini memiliki dua juta penyandang disabilitas dan kurang dari satu persen dari mereka akan memasuki pendidikan tinggi.
Â
Simak Video Berikut Ini:
Harapan pada Teknologi Tinggi
Insinyur Songpakorn Punong-Ong tahu lebih banyak tentang masalah ini. Mendiang ayahnya, Prayat yang juga tunanetra, membantu mendirikan sebuah yayasan yang didedikasikan untuk meningkatkan sistem pendidikan bagi anak-anak tunanetra.
Songpakorn bertekad untuk mengikuti jejak ayahnya yang telah menghabiskan lima tahun terakhir mengembangkan prototipe perangkat yang dapat memindai dokumen, online atau offline, dan mengubahnya menjadi Braille. Pengguna memegang perangkat di atas teks, dan Braille muncul di touchpad.
Ia mengatakan betapa ia berharap bisa membantu siswa dengan kebutuhan khusus melalui masa-masa yang tidak pasti kedepannya, dan meningkatkan akses mereka ke pendidikan berkualitas.
"Saya percaya bahwa membaca adalah tindakan dasar untuk mengakses semua pengetahuan. Dengan perangkat ini, saya ingin meningkatkan kualitas hidup mereka dan memberi mereka kepercayaan diri yang lebih besar dalam kemampuan belajar mereka," katanya.
Sejak kelas online, Songpakorn melakukan perjalanan ke seluruh negeri untuk membiarkan siswa tunanetra menguji prototipenya. Sebagian besar belum pernah menggunakan perangkat Braille apa pun sebelumnya.
Thanasat adalah salah satunya. Ia mengatakan perangkat iitu merupakan keajaiban, karena tidak sekadar membantunya belajar, tetapi juga alat harapannya untuk masa depan.
"Saya sangat menyukainya! Ini pasti dapat membawa saya menuju karir impian saya sebagai guru bahasa. Saya senang telah diperkenalkan dengan alat ini," kata Thanasat.
Selama tiga tahun ke depan, Songpakom berharap dapat mengkomersialkan dan mendistribusikan penjualan di Thailand dan luar negeri. Ia ingin anak-anak tunanetra terlengkapi dengan alat bantu belajar yang memungkinkan akses yang sama ke pendidikan.
Advertisement