Ironi Anak Disabilitas di Tengah Pandemi COVID-19 Jadi Sorotan UNICEF di KTT Global ke-2

Russell juga menekankan betapa mengkhawatirkannya data tersebut, terutama mengingat pandemi COVID-19 yang telah memperparah sekian banyak tantangan yang sebelumnya telah dihadapi anak-anak penyandang disabilitas.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 22 Feb 2022, 13:00 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2022, 13:00 WIB
UNICEF
UNICEF. (AFP/Indranil Mukherjee)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russell membuat pernyataan terenyuh di Global Disability Summit (GDS) ke-2 serta poin-poin kondisi anak penyandang disabilitas yang disorot dalam konferensi tersebut.

Pertama, ia mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Norwegia dan Ghana dan Aliansi Disabilitas Internasional atas komitmen mereka dalam mempromosikan hak setiap anak penyandang disabilitas. Dengan memastikan bahwa setiap anak dilihat, dihitung dan disertakan.

"Sejak empat tahun terakhir, program yang dicanangkan UNICEF telah enjangkau lebih dari 2,2 juta anak penyandang disabilitas. Kami memasukkan inklusi bagi anak-anak penyandang disabilitas ke dalam program kerja kami di 144 kantor negara UNICEF dan memberikan dukungan penting bagi jutaan anak dan keluarga mereka. Misalnya, pada tahun 2020, UNICEF mendukung pendidikan inklusif di 131 negara dan menyediakan perangkat dan produk bantu untuk 152.000 anak penyandang disabilitas," kata Russell, dikutip dari laman UNICEF.

UNICEF juga memenuhi komitmen 2018 kami untuk meningkatkan ketersediaan data yang andal tentang anak-anak penyandang disabilitas.

Pada November 2021, UNICEF merilis analisis statistik paling komprehensif tentang data 240 juta anak penyandang disabilitas di dunia saat ini. Dibandingkan dengan teman sebayanya, anak-anak penyandang disabilitas lebih mungkin mengalami stunting.

"Mereka hampir 50 persen lebih mungkin tidak pernah bersekolah. Mereka lebih mungkin dipaksa menjadi pekerja anak dan mengalami hukuman fisik yang berat. Stigma dan diskriminasi semakin merusak kepercayaan diri dan kesejahteraan mereka," lanjut Catherine.

Padahal, menurutnya, anak-anak penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama sebagaimana anak lainnya untuk mencapai potensi penuh mereka. Sehingga tidak memenuhi hak ini tidak hanya merugikan anak-anak secara individu, tetapi juga menghilangkan segala sesuatu yang yang dapat mereka sumbangkan jika saja kebutuhan mereka terpenuhi.

 

 

Pandemi memperparah kondisi anak disabilitas

Russell juga menekankan betapa mengkhawatirkannya data tersebut, terutama mengingat pandemi COVID-19 yang telah memperparah sekian banyak tantangan yang sebelumnya telah dihadapi anak-anak penyandang disabilitas.

Dengan demikian, UNICEF menyerukan agar anak-anak menjadi pusat dari rencana tanggap dan pemulihan COVID-19 global, nasional, dan lokal. Serta akan berkomitmen mengadvokasi anak-anak penyandang disabilitas untuk pemulihan dan seterusnya.

UNICEF juga menyatakan bahwa untuk mencabut hambatan dan mencapai inklusi disabilitas akan membutuhkan keterlibatan dan tindakan berkelanjutan di tingkat nasional, regional, dan global. Ini akan membutuhkan investasi yang lebih besar dan akuntabilitas yang lebih besar, dan koordinasi yang lebih besar.

Terakhir, Russell mengutip dari isi surat yang ditulis oleh seorang anak laki-laki yang tinggal di Kosovo. Dalam suratnya, ia merefleksikan kesamaan antara isolasi penguncian pandemi dengan isolasi sosial yang dialami banyak anak penyandang disabilitas.

"Ia menulis, 'Mungkin hari ini akan membantu semua orang, politisi dan masyarakat, untuk merenungkan isolasi ini dan berbuat lebih banyak untuk memasukkan anak-anak yang hidup dengan disabilitas dalam pendidikan dan kehidupan sosial; dan untuk membuat ini mungkin bagi mereka seperti halnya untuk orang lain.' Itu adalah tanggung jawab kami, dan generasi baru yang diwakili di sini hari ini akan meminta pertanggungjawaban kami. Saya berharap dapat bekerja sama dengan Anda semua untuk membangun dunia di mana setiap anak dilihat, dihitung, dan disertakan," katanya dalam pernyataan di laman UNICEF.

 

Global Disability Summit (GDS)

Belum lama ini GDS diselenggarakan bersama oleh Ghana, Norwegia dan International Disability Alliance (IDA), serta didukung oleh Organisasi kesehatan Dunia (WHO), tepatnya tanggal 16-17 Februari.

Adapun konferensi tingkat tinggi (KTT) ini dihadiri oleh Nana Addo Dankwa Akufo Addo, Presiden Ghana, Jonas Gahr Støre, Perdana Menteri Norwegia; Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal, Organisasi Kesehatan Dunia; Yannis Vardakastanis, Presiden Aliansi Disabilitas Internasional.

KTT kali ini menyoroti hambatan dalam kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas ketika mengakses layanan sosial, terutama di masa pandemi COVID-19. Sehingga demi tercapainya kesehatan dan kesejahteraan untuk semua, perlunya inklusi disabilitas dalam prioritas kesehatan.

Langkah kedua yaitu komitmen untuk membangun sektor kesehatan yang inklusif disabilitas yang akan memfasilitasi akses universal terhadap layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Kemudian langkah ketiga dan palinng kritis adalah tentang mengambil tindakan.

Semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, organisasi multilateral, sektor swasta, dan mitra lainnya, harus berkolaborasi dalam mengambil pendekatan inklusif disabilitas. Kita harus merancang program yang adil, termasuk layanan kesehatan, untuk memastikan penyandang disabilitas mencapai standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai, seperti yang diminta oleh Majelis Kesehatan Dunia pada tahun 2021.

Mempromosikan komitmen tersebut akan menjadi inti dari KTT Disabilitas Global 2022, seperti dikutip dari WHO. KTT ini akan menjadi platform dan kesempatan yang kuat untuk menyatukan komunitas internasional untuk berkomitmen pada inklusi disabilitas.

Infografis 6 Cara Dukung Anak dengan Long Covid-19 Kembali ke Sekolah. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 6 Cara Dukung Anak dengan Long Covid-19 Kembali ke Sekolah. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya