Ketua KND Minta Penguatan Posisi Hukum Penyandang Disabilitas di RUU KUHP

Penyandang disabilitas acap kali mendapatkan ketidakpastian ketika berhadapan dengan masalah hukum.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 09 Sep 2022, 13:00 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2022, 13:00 WIB
dialog publik bertajuk revisi RUU-KUHP yang diselenggarakan oleh Kantor Staff Presiden (KSP) pada rabu 7 september 2022 di Grand Pullman Hotel Bandung, Jawa Barat.
Dialog publik bertajuk revisi RUU-KUHP yang diselenggarakan oleh Kantor Staff Presiden (KSP) pada rabu 7 september 2022 di Grand Pullman Hotel Bandung, Jawa Barat. Foto: KND.

Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas acap kali mendapatkan ketidakpastian ketika berhadapan dengan masalah hukum.

Hal ini membuat Ketua Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia (KND-RI) Dr. Dante Rigmalia, M.Pd. meminta kepada tim penyusun revisi RUU KUHP untuk memberikan penguatan posisi hukum terhadap penyandang disabilitas dalam proses peradilan pidana.

Ia menyampaikan permintaan ini saat mengikuti dialog publik bertajuk revisi RUU-KUHP yang diselenggarakan oleh Kantor Staff Presiden (KSP) pada rabu 7 september 2022 di Grand Pullman Hotel Bandung, Jawa Barat.

Menurutnya, penguatan posisi hukum bagi penyandang disabilitas wajib dijamin oleh perundang-undangan untuk mencerminkan rasa keadilan dari perspektif disabilitas.

“Kami meminta penyusun RUU KUHP untuk me-review kembali tentang pasal-pasal yang terkait dengan penyandang disabilitas baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku,” kata dia saat menyampaikan pandangannya mengutip keterangan pers, Jumat (9/9/2022).

Pasalnya, dalam berbagai kasus yang melibatkan penyandang disabilitas, tidak sedikit yang kasusnya berujung dengan ketidakpastian.

Contoh kasus yang sering muncul di antaranya keterangan korban penyandang disabilitas sensorik netra dan Tuli tidak dianggap sebagai keterangan alat bukti yang sah, karena terdapat interpretasi di dalam peraturan hukum pidana Indonesia (KUHP).

Pada peraturan tersebut dikatakan keterangan saksi yang sah adalah pihak yang melihat, mendengar, atau mengalami secara langsung suatu peristiwa pidana. Sehingga sangat sulit bagi korban disabilitas sensorik netra dan Tuli untuk melaporkan peristiwa yang menimpa mereka.

Permasalahan di Ruang Persidangan

Ketua Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia (KND-RI) Dr. Dante Rigmalia, M.Pd.
Ketua Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia (KND-RI) Dr. Dante Rigmalia, M.Pd. Foto: Dok pribadi.

Tak sampai di situ, permasalahan terus berlanjut ke tahap pemeriksaan di ruang persidangan. Data menunjukkan 82 persen perkara kekerasan seksual pada penyandang disabilitas tidak menghadirkan keterangan ahli selama proses persidangan berlangsung.

Padahal, keterangan ahli sangat penting terutama untuk memastikan kondisi fisik dan mental penyandang disabilitas. Selama memimpin persidangan, hakim dapat menyediakan akomodasi yang layak sesuai dengan kondisi korban yang menyandang disabilitas.

“Pemerintah perlu untuk membuat peraturan pelaksanaan dari RKUHP. Pasalnya, peraturan pidana Indonesia belum cukup komprehensif mengakomodasi keterangan penyandang disabilitas sebagai alat bukti yang sah,” jelas Dante.

Sangat diperlukan juga peraturan yang disajikan secara jelas untuk menambah pemahaman dan sensitivitas penegak hukum dalam memeriksa penyandang disabilitas.

Peraturan tersebut juga perlu mengatur aksesibilitas dan akomodasi yang layak baik dari segi fasilitas maupun pemahaman aparat penegak hukum terhadap penyandang disabilitas.

Penghapusan Hukuman bagi Disabilitas Intelektual

Dalam forum tersebut, Dante juga meminta penghilangan atau penghapusan hukuman untuk beberapa ragam disabilitas dengan berbagai pertimbangan.

Salah satu contoh pasal yang perlu ditelaah kembali adalah Pasal 39 yang tidak menyebutkan disabilitas intelektual ringan sebagai bagian yang dimasukkan dalam pasal ini.

“Saya ilustrasikan, kemampuan intelegensi disabilitas intelektual derajat ringan, rata-rata memiliki kecerdasan 50/55 -70/75. Dengan karakteristik perkembangannya memiliki kesulitan dalam bernalar dan adaptasi sosial.”

“Hal ini tentu membuat kelompok disabilitas intelektual ringan ini kesulitan untuk memahami  banyak hal yang memerlukan tingkat penalaran lebih tinggi,” jelas dia.

Terkait hal itu, kemudian ia meminta agar ragam disabilitas  intelektual agar dimasukkan kedalam Pasal 39 tentang penghilangan atau penghapusan hukuman bagi penyandang disabilitas intelektual mulai dari derajat ringan, sedang dan berat.

Penyesuaian Terminologi Istilah

Terminologi istilah yang digunakan dalam RUU KUHP  ini pun masih perlu banyak disesuaikan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Misalnya istilah "sakit jiwa" perlu diubah menjadi disabilitas mental. 

“Dan seyogyanya bukan hanya sebatas mengubah istilah, tetapi yang paling penting adalah pemahaman menyeluruh pembuat RUU KUHP ini terhadap setiap kondisi disabilitas serta akomodasi yang layak yang diperlukan bagi setiap ragam disabilitas yang juga spektrum atau derajatnya berbeda-beda.”

Lebih lanjut Dante mengatakan, berbagai kajian hukum mengungkapkan masih banyak pasal-pasal yang berpotensi menjadi masalah apabila tetap dibiarkan tanpa dikaji lebih dalam berdasarkan perspektif disabilitas.

“Demi rasa keadilan, kesetaraan, dan tanpa diskriminasi bagi Penyandang disabilitas dalam peradilan pidana. Harus ada diskursus publik yang intensif dan berkelanjutan baik skala nasional maupun daerah dengan melibatkan berbagai pakar.”

Mulai dari pakar hukum pidana, pemangku kepentingan yang paham perspektif disabilitas, penyandang disabilitas, organisasi penyandang disabilitas, dan aktivis penyandang disabilitas. Pasalnya, tidak jarang advokasi dari kawan-kawan di daerah pun terbukti cukup efektif dalam mengawal kasus-kasus hukum yang melibatkan penyandang disabilitas, ungkap Dante. 

 

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta
Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya