Liputan6.com, Jakarta Naomi Arimoto, seorang wanita penyandang disabilitas berusia 40 tahun melihat banyak sekali sampah plastik berserakan di pesisir pantai. Ia pun terpikirkan ide brilian dari mengkombinasikan sampah dan hobinya, seni kuku.
Dilansir dari Japan News, Arimoto didiagnosis dengan HTLV-1-associated myelopathy (HAM) pada 2014, dan sekarang menggunakan kursi roda.
Advertisement
Baca Juga
Virus menyebabkan peradangan di sumsum tulang belakang, merusak saraf dan mengakibatkan kelumpuhan progresif pada kaki, di antara gejala lainnya. Diperkirakan ada sekitar 3.000 orang di Jepang dengan penyakit ini, yang telah ditetapkan pemerintah sebagai penyakit yang sulit disembuhkan.
Advertisement
Awalnya, Arimoto berhenti dari pekerjaannya di fasilitas kesejahteraan dan berhenti bepergian karena penyakit itu. Ia kemudian menemukan pekerjaan di perusahaan lokal setelah didorong oleh suami dan tiga anaknya untuk menjadi ibu pengguna kursi roda yang keren.
Namun, ia berhenti dari pekerjaan itu setelah satu tahun karena ia tidak merasa nyaman di fasilitas itu dan merasa pesimis karena menjadi penyandang disabilitas.
Selama masa-masa sulit itu, Arimoto menemukan hiburan dalam hobinya — seni kuku. Dia bertekad untuk meningkatkan keterampilan terkait kuku dan membuka salonnya sendiri. Arimoto mewujudkan mimpinya pada tahun 2018 dengan pembukaan salonnya, Plumeria Nail, di Chigasaki, Prefektur Kanagawa.
Setelah berpikir bahwa “pasti ada penyandang disabilitas yang ingin pergi ke salon kuku”, ia membuat salonnya ramah disabilitas.
Mendapat Pencerahan Dari Pantai
Sampah plastik di laut dan di tempat lain berbahaya bagi ekosistem. Diperkirakan bahwa Jepang menghasilkan sekitar 20.000 hingga 60.000 ton sampah plastik setiap tahun. Saat berpartisipasi dalam pembersihan pantai lokal untuk pertama kalinya pada bulan Maret tahun lalu, sembari dirinya mengendarai kursi roda yang dirancang khusus untuk dikendarai di pantai berpasir, Arimoto melihat banyak sekali potongan sampah plastik, termasuk pecahan kontainer.
Saat itulah ia memiliki ide untuk menggunakan plastik untuk membuat kuku palsu, sehingga mengubah sampah yang ia kumpulkan menjadi sesuatu yang lain. Arimoto mendekorasi puing-puing plastik dengan menggambar pola untuk membuat jenis kuku palsunya yang "pertama di dunia".
Advertisement
Mulai Menjual Kuku Palsu
Arimoto mulai menjual kuku pesanannya pada bulan Mei dan berharap inisiatifnya akan memberikan “kesempatan bagi lebih banyak orang untuk memikirkan pekerjaan bagi penyandang disabilitas dan pelestarian lingkungan.”
Harga untuk set kuku palsu Arimoto mulai dari 8.800 yen (Sekitar Rp939 ribu, termasuk pajak).
Budaya Plastik Di Jepang
Dikutip dari Voyapon, Jepang adalah produsen sampah plastik per kapita terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat. Pada tahun 2018, produksi plastik nasional tahunan adalah 9,4 juta ton.
Tapi memang sulit untuk pergi berbelanja tanpa juga menimbun plastik. Daging dan ikan dikemas dalam nampan plastik atau polistirena, ditutup dengan plastik.
Beberapa buah dan sayuran, seperti mangga, melon, dan bahkan wortel atau paprika, terkadang dibungkus satu per satu. Pir, kesemek, persik, dan buah jeruk sering bahkan dilindungi oleh jaring poliester di atas nampan dan bungkus plastik.
Budaya Jepang yang menganggap kemasan hampir sama pentingnya dengan isinya, kemasan plastik, melambangkan kualitas pelayanan dan memberikan sentuhan mewah pada produk. Alasan lain penggunaan plastik adalah karena terjamin kebersihannya. Perawatan kebersihan sangat penting di Jepang. Semakin banyak dan semakin baik produk dibungkus, semakin baik perlindungannya. Plastik murah, kokoh, dan higienis.
Advertisement