Liputan6.com, Jakarta Perempuan dengan gangguan jiwa acap kali menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan dalam beberapa kasus, kekerasan yang dialami berujung pada kehamilan yang tak diinginkan.
Jika kasus seperti ini dibiarkan begitu saja, maka dampak jangka panjang akan dialami ibu dan bayi yang dilahirkan.
Baca Juga
Maka dari itu, menurut koalisi Save All Women and Girls (SAWG), perempuan korban kekerasan seksual sepatutnya diberi pilihan untuk melakukan aborsi aman atau tetap melanjutkan kehamilannya.
Advertisement
Dalam temu media bersama SAWG, psikolog Ninuk Widyantoro mengatakan bahwa keputusan untuk aborsi aman atau melanjutkan kehamilan ada di tangan orang yang mengalami kehamilan itu sendiri.
“Pada 1980-an aborsi itu boleh, asal tidak lebih dari 10 minggu. Memang banyak korbannya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Hak korban (untuk aborsi atau tidak) harus diutamakan dan dihormati,” ujar Ninuk dalam temu media di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 2 Juni 2023.
Jika ada kesulitan dalam meminta pendapat dari korban, mengingat gangguan mentalnya, maka diperlukan peran pendamping.
“Di sini perlu juga kerja sama antara dokter atau profesi medis dengan profesi yang lain yang mempunyai pengetahuan, seperti psikolog dan psikiater,” tambah Ninuk.
Profesi psikolog dan psikiater ini dapat dimintai keterangan dari sisi ahli atau keterangan expertise guna membantu dalam penentuan keputusan aborsi legal.
Keputusan Aborsi Ada di Tangan Korban
Senada dengan Ninuk, Koordinator Jaringan SAWG, Ika Ayu menyampaikan bahwa keputusan aborsi berada di tangan korban. Terlepas korbannya menyandang disabilitas atau tidak.
“Keputusan melanjutkan atau menghentikan kehamilan itu ada pada orang yang sedang mengalami kehamilan (korban kekerasan seksual). Nah, soal situasi khusus seperti gangguan kejiwaan, dibutuhkan pendamping yang mengetahui di situasi seperti apa korban bisa diajak bicara,” kata Ika dalam kesempatan yang sama.
“Tetapi (meski didampingi) yang berhak menentukan memberhentikan kehamilan tetap yang sedang hamil. Kehamilan itu adalah hak dari yang hamil dalam situasi apapun,” tambahnya.
Advertisement
Akses Aborsi Legal bagi Disabilitas Korban Kekerasan Seksual
Ika juga menyampaikan bahwa aborsi legal atau aborsi aman adalah hak para perempuan korban kekerasan seksual.
Sayangnya, sejauh ini tidak ada akses aborsi aman bagi korban kekerasan seksual yang menyandang disabilitas.
“Akses aborsi bagi penyandang disabilitas selama ini, tidak ada. Banyak sekali yang coba mencari akses, tapi bahkan memikirkan untuk aborsi atau tidak pun sudah kesulitan. Karena stigma pada aborsi ini kuat sekali. Aborsi masih dianggap sebagai tindakan yang sangat berbahaya.”
Bagian Esensial dari Layanan Kesehatan
Ika tak memungkiri bahwa memang ada praktik aborsi yang tidak aman dan membahayakan, tapi sebetulnya ada pula aborsi yang prosedurnya aman.
“Kita hanya berkutat pada stigma, dianggap tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan, tindakan pembunuhan, kita perlu cek lagi ini adalah satu bagian esensial dari sebuah layanan kesehatan.”
“Aborsi selalu diasosiasikan dengan hak hidup, tapi korban yang harus menanggung kehamilan dan membesarkan bayi yang dilahirkan itu tidak dipikirkan,” ujar Ika.
Salah satu layanan yang hingga hari ini tidak pernah tersedia adalah pemulihan kesehatan seksual dan reproduksi bagi korban kekerasan seksual.
Padahal, ini telah diatur dalam berbagai aturan seperti Peraturan Pemerintah (PP) 61/2014, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 3/2016, serta aturan turunan lainnya.
Adanya peningkatan kasus kekerasan seksual di tiap tahunnya, perlu disikapi dengan penyediaan layanan yang terkoordinasi dan terintegrasi. Mengingat, sebagian besar korban kekerasan seksual tidak memiliki akses ke dukungan psikososial, hukum, dan kesehatan yang mereka butuhkan untuk menavigasi kejadian traumatis yang dialami.
Advertisement