Liputan6.com, Jakarta Salah satu alasan anak disabilitas kesulitan memiliki akses pada jaminan kesehatan seperti BPJS Kesehatan adalah tidak adanya akta kelahiran.
Seperti kasus yang terjadi pada anak perempuan berusia 15 di Maluku Utara. Anak yang tak disebutkan namanya mengalami kekerasan tapi saat hendak didaftarkan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) alami kendala. Pasalnya, belum memiliki akta kelahiran.
Baca Juga
Menurut Spesialis Perlindungan Anak Wahana Visi Indonesia (WVI) Satrio Rahargo yang sempat menangani kasus tersebut, sang anak tinggal di daerah terpencil atau rural. Dia tak pernah dibuatkan akta kelahiran.
Advertisement
“Dia dari awal tidak dirasakan kehadirannya sehingga akta kelahirannya tuh enggak ada, tidak dibuatkan. Sehingga, ketika anak ini mengalami kekerasan dan kemudian kami meminta untuk mendapatkan jaminan kesehatan, nah itu harus ada akta kelahirannya,” kata Satrio kepada Disabilitas Liputan6.com dalam peringatan hari ulang tahun WVI ke-25 di Jakarta, Kamis 16 November 2023.
Satrio menambahkan, sepatutnya, orangtua atau keluarga tetap memberi akses dan memenuhi hak anak disabilitas dalam mendapat akta kelahiran untuk kepentingan sang anak.
Pemetaan Data Disabilitas Tak Berjalan
Hal senada disampaikan oleh Direktur Nasional WVI Angelina Theodora. Ia mengatakan, salah satu alasan terjadinya masalah pada penyandang disabilitas secara umum adalah tak berjalannya pemetaan.
“Masalah kasus ini sebetulnya karena pemetaan disabilitas di Indonesia tidak berjalan. Sebetulnya disabilitas ini kan spektrumnya besar dan kalau di desa-desa biasanya yang dikatakan sebagai disabilitas tuh kalau memang sudah parah atau sangat terlihat disabilitasnya,” kata Angelina dalam kesempatan yang sama.
Dalam hal ini, pemetaan dini tidak terjadi sehingga rehabilitasi dini pun tidak terlaksana. Ini karena sistemnya tidak jalan dari hulu ke hilir.
Advertisement
Masalah Pemetaan Data Disabilitas Perlu Diselesaikan dari Hulu ke Hilir
Sebetulnya, lanjut Angelina, Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) punya panduan untuk memetakan data. Sayangnya, kader-kader posyandu tidak dilatih, sehingga mereka tak mengetahui cara membantu proses pemetaan.
“Dan kalau sudah dipetakan pun, menghubungkan dengan layanan publiknya ini (yang jadi tantangan).“
Misalnya di Lombok, tempat-tempat rehabilitasi adanya di Mataram. Artinya, orang yang dari desa harus menempuh jarak jauh ke Mataram. Hal ini tentu menyulitkan keluarga yang rentan dan yang kurang mampu untuk mengakses layanan rehabilitasi dan sebagainya.
“Jadi masalahnya adalah bagaimana kita menghubungkan dari hulu ke hilir, dari pusat sampai ke pelayanan publiknya juga,” jelas Angelina.
Masalah Keterlibatan Disabilitas dalam Pembangunan
Sebelumnya, Direktur Manajemen Strategi WVI Candra Wijaya juga menyampaikan soal masalah utama yang dialami oleh penyandang disabilitas di Indonesia.
“Masalah utama dari anak-anak maupun orang dewasa yang disabilitas adalah bagaimana mereka ikut terlibat di dalam proses perencanaan pembangunan,” kata Candra kepada Disabilitas Liputan6.com di acara yang sama.
Dia mengaku tak berpengalaman langsung menangani anak disabilitas. Namun, dia sempat terlibat dalam program HIV/AIDS. Meski begitu, ia melihat ada situasi yang sama antara isu disabilitas dengan HIV/AIDS.
“Dulu di program HIV/AIDS sering kali kita yang tidak terinfeksi HIV membuat program terkait HIV dan AIDS, intervensi, dan segala macam, tanpa melibatkan orang-orang dengan HIV.”
Tidak melibatkan orang-orang dengan HIV/AIDS dalam program yang bertujuan untuk merespons kondisi tersebut membuat program itu tak berjalan optimal.
“Sehingga kami belajar bahwa saudara-saudara kita yang HIV dan AIDS itu perlu ikut terlibat dalam program yang memang dilakukan untuk merespons HIV/ AIDS,” tambah Candra.
“Saya melihat kesamaannya dengan orang-orang yang berkebutuhan khusus, mereka perlu dilibatkan,” imbuhnya.
Candra memberi contoh, ketika hendak membuat akses sanitasi dan air bersih. Sering kali, program yang ada adalah membuat sarana sanitasi umum.
Hal ini bisa dikaji lebih dalam agar sarana sanitasi yang akan dibuat dapat diakses pula oleh penyandang disabilitas. Sehingga, sarana sanitasi umum itu menjadi lebih inklusif.
“Prinsipnya memang tantangan paling berat dan juga yang dibutuhkan adalah bagaimana melibatkan (penyandang disabilitas),” pungkasnya.
Advertisement