Liputan6.com, Jakarta Supron Ridisno adalah mahasiswa difabel Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung (RIL) pertama yang berhasil meraih gelar doktor. Tepatnya di Program Studi (Prodi) S3 Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Pascasarjana.
Supron menjalani ujian promosi doktor pada Jumat 28 Februari 2025 di Ruang Sidang Lantai 2 Gedung Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung. Disertasi berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Guna Pemberdayaan Penyandang Disabilitas di Provinsi Lampung,” mengantarkannya pada gelar yang ia perjuangkan selama ini.
Baca Juga
Sebagai penyandang disabilitas netra, ia dinilai berhasil menyoroti implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pemberdayaan penyandang disabilitas di Provinsi Lampung. Supron mengulas bagaimana regulasi daerah dalam pendidikan inklusi dan ketenagakerjaan diterapkan, serta tantangan yang dihadapi dalam implementasinya.
Advertisement
Menurutnya, peran pemerintah daerah dalam mendorong keterlibatan sektor swasta sangat penting untuk meningkatkan peluang kerja bagi kelompok ini.
Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, penelitian ini mengungkap bahwa meskipun ada kebijakan yang mendukung, hambatan seperti keterbatasan tenaga pendidik profesional, akses media pendidikan, serta minimnya pelatihan kerja masih menjadi kendala utama.
Rektor UIN Raden Intan Lampung, Prof H Wan Jamaluddin Z MAg PhD, yang juga bertindak sebagai Ketua Sidang, memberikan apresiasi atas capaian Supron.
Ia menekankan pentingnya ketekunan dan kepercayaan diri dalam meraih prestasi, termasuk bagi penyandang disabilitas.
Beri Kesempatan Setara
Wan menyatakan, pihaknya berupaya memberikan kesempatan yang setara bagi semua mahasiswa.
“Kampus ini berkomitmen memberikan kesempatan yang setara bagi semua, dan pencapaian Supron menjadi bukti bahwa keterbatasan bukan halangan untuk meraih gelar akademik tertinggi,” ujarnya.
Selain itu, Wan mendorong para akademisi untuk terus menghasilkan penelitian yang memberikan solusi nyata bagi masyarakat, terutama dalam bidang pemberdayaan penyandang disabilitas.
Ia berharap hasil riset Supron dapat menjadi referensi bagi pemerintah daerah dalam merancang kebijakan yang lebih efektif dan aplikatif.
Setelah melalui sesi tanya jawab dengan tim penguji, Supron dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar Doktor ke-359 di UIN Raden Intan Lampung. Usaha Supron membuahkan hasil optimal dengan mendapat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang sangat baik.
Advertisement
Belum Semua Kampus Secara Resmi Terima Mahasiswa Difabel
Cerita Supron dan kampusnya adalah salah satu contoh baik. Sayangnya, belum semua universitas yang ada di Indonesia menerima mahasiswa penyandang disabilitas.
Menurut data yang disampaikan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, hanya ada 90 universitas atau 1,99 persen dari 4.523 perguruan tinggi di Indonesia yang secara resmi menerima mahasiswa penyandang disabilitas.
Sedangkan, perguruan tinggi yang memiliki pusat layanan disabilitas hanya 0,2 persen dari jumlah total perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan, hanya ada 8 perguruan tinggi yang menyediakan platform penerimaan khusus bagi mahasiswa difabel.
Data tersebut merupakan hasil riset awal yang dilakukan oleh Center for Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) UNU Jogja dan University of the West of England, Bristol, Inggris.
Riset yang merupakan bagian dari program UK-Indonesia Disability Inclusion Partnership Program ini mengemuka di seminar internasional “Developing Inclusive Policies and Practises for Greater Accessibility in Higher Education.”
Seminar ini digelar di kampus terpadu UNU Jogja, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY pada Selasa, 21 Januari 2025.
Praktik Pendidikan Inklusif di Inggris
Sebagai pembicara kunci, Tariq Umar dari University of the West of England (UWE) memaparkan tentang praktik pendidikan inklusif di Inggris.
Di negara itu, terdapat 14 persen mahasiswa penyandang disabilitas. Untuk itu, pendidikan inklusif diterapkan dengan memberikan kesetaraan dalam mengakses sumber daya dan kesempatan terhadap pendidikan.
“Universitas berperan penting dalam mendorong diversitas dan inklusivitas,“ ujarnya.
Selain adanya payung hukum, dukungan kampus kepada penyandang disabilitas juga diberikan melalui layanan aksesibilitas. Seperti adanya pendamping dan ketersediaan ruang fisik dan digital yang ramah difabel, serta adanya dukungan teknologi melalui software khusus dan bahan pembelajaran yang ramah difabel.
“UWE melakukan pendekatan proaktif dalam layanan disabilitas dan menginisiasi kurikulum inklusif,” imbuhnya.
Advertisement
