Liputan6.com, Jakarta Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi dinilai mengabaikan otonomi perempuan penyandang disabilitas. Khususnya mereka yang memiliki disabilitas mental dan/atau intelektual.
“Meskipun peraturan ini bertujuan mendukung akses kesehatan reproduksi bagi penyandang disabilitas, terdapat ketentuan yang berpotensi membatasi hak mereka dalam mengambil keputusan terkait tubuhnya sendiri,” kata Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Jonna Aman Damanik dalam keterangan pers dikutip Kamis (13/3/2025).
Baca Juga
Khususnya, Pasal 62 ayat (4) dan (5) yang cenderung mengedepankan pendekatan medis dalam menentukan kecakapan perempuan penyandang disabilitas tanpa mekanisme supportive decision-making sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).
Advertisement
“Ketentuan tersebut dapat bertentangan dengan hak kesehatan reproduksi perempuan penyandang disabilitas. Sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,” tambah Komisioner KND lainnya, Fatimah Asri Mutmainnah dalam keterangan yang sama.
Ia juga menyoroti pentingnya partisipasi bermakna perempuan penyandang disabilitas dalam proses perumusan kebijakan agar tidak menciptakan regulasi yang berpotensi diskriminatif.
Merespons polemik ini, KND berencana menyurati Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk berdiskusi dan menemukan solusi atas pasal-pasal yang berpotensi melanggar hak penyandang disabilitas dalam rangka memastikan kebijakan yang lebih inklusif.
Proses Penyusunan PMK Dinilai Tak Libatkan Difabel
Isu ini telah dibahas pula oleh Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi.
Secara substansi, PMK No.2 Tahun 2025 ini bertentangan dengan Pasal 28 ayat 4 UU Kesehatan No.17 Tahun 2023, yang mengamanatkan Negara–baik Pemerintah Pusat maupun Daerah–wajib menyediakan layanan kesehatan primer dan lanjutan bagi masyarakat rentan dengan prinsip inklusif non-diskriminatif.
Kelompok ini mencakup individu yang termarjinalisasi secara sosial, baik berdasarkan agama/kepercayaan, ras atau suku, disabilitas, orientasi seksual dan identitas gender, serta individu yang tinggal di wilayah tertinggal, terpencil, dan perbatasan.
Aliansi ini menilai, proses penyusunan PMK dan turunan aturan lain dari UU 17 tahun 2023 tentang Kesehatan sejak awal tidak melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok terdampak.
Advertisement
Dinilai Diskriminatif
Kementerian Kesehatan dinilai cenderung mengabaikan pengalaman hidup kelompok rentan, padahal yang diatur dalam PMK ini adalah tubuh tiap individu.
Mekanisme konsultasi yang ada tidak transparan dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi organisasi penyandang disabilitas, perempuan, serta kelompok rentan lainnya untuk menyampaikan pandangan dan pengalaman mereka secara substansial.
Proses penyusunan aturan ini menunjukkan kegagalan Kementerian Kesehatan dalam melibatkan partisipasi bermakna masyarakat sipil. Kemenkes nyatanya masih menggunakan pendekatan yang menempatkan masyarakat hanya sebagai objek kebijakan, bukan sebagai subjek dengan hak penuh untuk menentukan kebijakan yang memengaruhi hidup mereka.
Akibatnya, aturan ini tidak hanya diskriminatif tetapi juga berpotensi memperburuk ketidakadilan struktural yang sudah lama dialami oleh kelompok masyarakat.
Hal-Hal yang Dianggap Keliru dalam PMK No. 02 Tahun 2025
Aliansi ini kecewa mendapati PMK No. 02 Tahun 2025 masih memiliki problem kritis dalam menempatkan orang dengan disabilitas.
Kementerian Kesehatan terang-terangan menunjukan perspektif ableismenya melalui aturan ini. Alih-alih melindungi hak otonomi tubuh perempuan disabilitas, aturan ini justru secara gamblang menghilangkan kecakapan orang dengan disabilitas terutama disabilitas mental dan disabilitas intelektual.
Melalui Pasal 62 Ayat (5) “…orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya.” Ketentuan ini merampas hak penyandang disabilitas untuk menentukan keputusan terkait tubuhnya sendiri, termasuk dalam layanan aborsi.
“Mestinya daripada mencabut hak pengambilan keputusan dari orang dengan disabilitas, negara seharusnya menyediakan mekanisme supportive decision-making yang memungkinkan mereka membuat keputusan dengan berbagai dukungan yang menghormati hak dan otonomi mereka, bukan malah mencabut hak tersebut,” jelas Aliansi Masyarakat Sipil untuk Layanan Kesehatan Adil dan Inklusi di laman Yayasan Kesehatan Perempuan.
Selain itu, penggunaan istilah “cacat” dalam regulasi ini memperkuat stigma diskriminatif. Aturan ini seharusnya berlandaskan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 yang meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas serta Undang-Undang No. 8 Tahun 2016.
Sejalan dengan itu, pendekatan medical model yang menempatkan disabilitas sebagai sesuatu yang harus “diperbaiki” harus ditinggalkan. Dan kebijakan kesehatan harus beralih ke human rights-based approach yang menghormati kemandirian, martabat, serta hak penuh penyandang disabilitas dalam mengambil keputusan atas hidup mereka sendiri.
Advertisement
