Liputan6.com, Jakarta Sungguh menyenangkan bisa berada dalam bidang di mana imajinasi Anda dikaryakan menembus batas ruang dan waktu. Termasuk fesyen. Mari sebut satu ikon mode dunia sepanjang masa: Marie Antoinette. Ratu Prancis yang bertahta pada tahun 1774 – 1792. Jemput ia ke masa kini. Jadikan dirinya bagian dari Indonesian high society yang kerap bertemu sapa di berbagai peragaan busana. Lalu tanyakan padanya, "Busana rancangan siapa yang akan Anda kenakan untuk gala esok malam, Madame Antoinette?"
Tak cukup mengejutkan bila nama Sebastian Gunawan diajukan sebagai salah satu jawabannya. Terkhusus tentang koleksi terbaru 'A Lady’s Portrait' dari label Sebastianred dan Sebastiansposa yang ditampilkan pada 5 Oktober 2015, di hotel Ritz Carlton, Pacific Place. Jangan kaget jika salah satu pilihannya jatuh pada long-dress putih beraksen flare di bagian lutut ke bawah dengan bordir membentuk pola bunga terjulur dari leher ke kaki. Atau mungkin gaun hitam panjang model cut-out di atas pinggang.
Baca Juga
Busana itu memang jauh dari gambaran masyarakat umum tentang sosok Antoinette yang lekat dengan gaun-gaun besar. Tapi satu sikap mode dalam kehidupannya membuat eksperimen pemikiran tadi menjadi tak mustahil. Pada satu fase, wanita yang dinikahkan dengan Louis Auguste (pada tahun 1774 menjadi Raja Louis XVI) di usia 14 tahun ini berontak dari tradisi aristokrasi Prancis. Lukisan `Marie Antoinette en chemise` yang dibuat oleh Louise Elisabeth Vigee Le Brun menjadi kontroversi masyarakat. Oleh para lawan politiknya, potret diri Antoinette yang hanya mengenakan muslin dress terbuat dari katun dianggap melenceng dari tradisi kerajaan.
Advertisement
Di zaman itu, muslin dress adalah garmen yang digunakan di bagian dalam. Alhasil lukisan di tahun 1783 itu mengantar Antoinette mendapat cap tak sopan. Dengan lukisan itu pula, ia telah mengaburkan batas antara wanita biasa dengan wanita bangsawan yang terciri dengan gaun-gaun paniers besar berbahan sutra. Dari sosok yang dipuja karena pesonanya, Antoinette kemudian dipandang sebagai Ratu Prancis yang mencoreng kewibawaan negri itu sendiri. Tapi gaulle atau chemis a la Reine, sebutan bagi muslin dress seperti dikenakan Antoinette, lantas menjadi tren di Prancis dan negara Eropa lainnya. Ini adalah era pudarnya budaya Rococo (berarti `Late Baroque`), sebuah genre dari perlawanan atas budaya Baroque yang grandeur dan dramatis).
Butuh telaah sejarah mendalam tentang keputusan mode dari Antoinette itu, wanita yang nafasnya berakhir di pisau guillotine sehubungan dengan Revolusi Prancis dan berubahnya negara kerajaan menjadi republik. Akan tetapi, di atas apapun yang menyulut sikap fesyen itu – baik itu tekanan kehidupan istana, problem seksual, atau mungkin perlawanan politik maupun kultural – satu hal yang perlu disadari ialah bahwa Antoinette punya kendali sendiri atas pilihan busananya, dan perubahan yang ia lakukan menunjukkan bagaimana ia membuka diri bagi kemungkinan-kemungkinan baru dalam berpakaian. Bahwa ia pernah drastis mengambil gaya busana berbeda dengan yang dipesannya dari Rose Bertine, busana-busana haute couture yang terbilang lavish dan decorative.
Berangkat dari paparan tersebut, bukan satu hal surprising pabila long sleeves midi-dress bahan lace nuansa emas gaya 1960an atau yang berbalut outerwear nan elegan juga menjadi pilihan Antoinette saat dihadapkan dengan koleksi terbaru Sebastian Gunawan. Bahkan bila imaginary scene ini dieksploitasi lebih lanjut, Antoinette mungkin akan terlihat mencoba sesuatu yang lebih chic, yakni dress grafik geometris hitam-putih tanpa lengan berukuran selutut dengan aksen volume bagian pinggang yang membentuk kuncup. Atau juga high-waisted jumpsuit putih-hitam dengan bagian kaki berdesain flare 1970an dimana kesan klasik hadir di model lengan dan contemporary touch oleh aksen cut out di perut.
Akan menarik melihat potret Antoinette dengan busana-busana dari koleksi terbaru Sebastian Gunawan yang tadi dipaparkan – belum lagi mengira-ngira isu apa yang berhembus, sebagaimana terjadi pada lukisan kontroversialnya saat mengenakan muslin dress dulu. Namun itu semua hanya titik-titik kecil dari keseluruhan karya terbaru desainer lulusan Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo dan Istituto Marangoni, Italia.
Mayoritas dari lebih 80 karya itu berisi rancangan-rancangan “khas” Sebastian Gunawan yang saat melihatnya terasa seperti deja vu. Bukan pekerjaan keras untuk mengidentifikasi koleksi ini dengan karya-karyanya yang lalu. Apakah Antoinette akan menyukainya? Mungkin. Bagimana dengan kliennya yang lain? Lebih mungkin. Akan tetapi, demi Antoinette maupun masyarakat fesyen secara umum, hal semacam ini sangat disayangkan.
Tanpa bermaksud menafikan aspek bisnis dari dunia fesyen, soal jelajah dan eksperimentasi desain adalah poin krusial fesyen yang tak boleh dibiarkan stagnan. Fesyen adalah salah satu wujud apresiasi keindahan, dan meneruskan tindak eksplorasi estetika yang menghasilkan kebaruan desain adalah bentuk penghargaan atas kemampuan artistik manusia dalam memodifikasi mode. Hal itu pula lah yang menandai keberlangsungan hidup dari aspek sartorial peradaban manusia. Sesuatu yang menjadi nilai spesial spesies ini dibanding warga lainnya di alam. Merayakan fesyen berarti merayakan manusia itu sendiri.
Round-neck coat palet baby blue dengan motif floral berwarna-warni lembut yang membalut pink pakaian di dalamnya menjadi salah satu karya sweet yang ada di A Lady’s Portrait. Lainnya dibuat dari bahan brocade berwarna dasar emas dengan royal motifs bentuk bunga. Antoinette yang jadi inspirasi, pemilihan warna, penggunaan bahan, dan elemen-elemen lain dari koleksi terbaru Sebastian Gunawan ini sangat potensial untuk diolah menjadi rancangan-rancangan di luar perkiraan.
Seandainya saja jumpsuit, gaun-gaun yang lebih clean cut, maupun penggunaan corak geometris yang minor di koleksi ini mendapat porsi garapan lebih besar dengan suntikan interpretasi kreatif fesyen era Marie Antoinette, potret wanita pengguna rancangan-rancangan Sebastian Gunawan tentu akan lebih kaya dan tidak membosankan.
(bio/igw)