Mengenal Hukum Syara: Pengertian, Jenis, Sumber, dan Penerapannya

Hukum syara adalah ketentuan Allah yang mengatur perbuatan mukallaf. Pahami jenis, sumber, dan penerapan hukum syara dalam kehidupan sehari-hari.

oleh Liputan6 diperbarui 07 Nov 2024, 10:13 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2024, 10:13 WIB
hukum syara adalah
hukum syara adalah ©Ilustrasi dibuat AI

Liputan6.com, Jakarta Hukum syara merupakan salah satu konsep penting dalam syariat Islam yang perlu dipahami oleh setiap muslim. Hukum syara mengatur berbagai aspek kehidupan umat Islam, mulai dari ibadah hingga muamalah. Memahami hukum syara dengan baik akan membantu kita menjalankan ajaran Islam secara komprehensif. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang pengertian, jenis, sumber, dan penerapan hukum syara dalam kehidupan sehari-hari.

Pengertian Hukum Syara

Hukum syara adalah ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun ketetapan. Secara bahasa, hukum berarti keputusan atau ketetapan. Sedangkan syara berarti jalan yang ditempuh atau yang dilewati. Jadi, hukum syara dapat diartikan sebagai ketetapan Allah yang harus diikuti oleh umat Islam dalam menjalani kehidupan.

Para ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum syara sebagai berikut:

خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء أو التخيير أو الوضع

Artinya: "Titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun wadh'i (ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang)."

Dari definisi tersebut, dapat dipahami beberapa hal penting terkait hukum syara:

  • Hukum syara bersumber dari Allah SWT sebagai pembuat syariat (asy-Syari')
  • Objek hukum syara adalah perbuatan orang mukallaf (baligh dan berakal)
  • Hukum syara dapat berupa tuntutan (perintah atau larangan), pilihan (boleh memilih), atau ketetapan
  • Tujuan hukum syara adalah untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan kehendak Allah

Memahami pengertian hukum syara dengan baik merupakan langkah awal untuk dapat menjalankan syariat Islam secara komprehensif. Sebagai muslim, kita dituntut untuk senantiasa mempelajari dan mengamalkan hukum-hukum syara dalam berbagai aspek kehidupan.

Jenis-Jenis Hukum Syara

Para ulama ushul fiqh membagi hukum syara menjadi dua jenis utama, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh'i. Masing-masing jenis hukum ini memiliki karakteristik dan pembagian tersendiri. Berikut penjelasan lengkap mengenai jenis-jenis hukum syara:

1. Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah hukum yang menuntut mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan, meninggalkannya, atau memilih antara melakukan dan meninggalkannya. Hukum taklifi terbagi menjadi lima macam:

  • Wajib: Perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa. Contoh: shalat lima waktu, puasa Ramadhan.
  • Sunnah: Perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Contoh: shalat tahajud, sedekah.
  • Mubah: Perbuatan yang boleh dikerjakan atau ditinggalkan tanpa mendapat pahala atau dosa. Contoh: makan, minum, tidur.
  • Makruh: Perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dikerjakan tidak berdosa. Contoh: makan bawang putih sebelum ke masjid.
  • Haram: Perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala. Contoh: mencuri, berzina, minum khamr.

2. Hukum Wadh'i

Hukum wadh'i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain. Hukum wadh'i terbagi menjadi tiga macam:

  • Sebab: Sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda adanya hukum. Contoh: tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat dzuhur.
  • Syarat: Sesuatu yang harus ada untuk sahnya suatu perbuatan, tetapi bukan bagian dari perbuatan itu sendiri. Contoh: wudhu sebagai syarat sahnya shalat.
  • Mani' (penghalang): Sesuatu yang menghalangi berlakunya suatu hukum atau sebab. Contoh: haid menjadi penghalang wajibnya shalat bagi wanita.

Memahami jenis-jenis hukum syara ini penting agar kita dapat mengetahui status hukum dari setiap perbuatan yang kita lakukan. Dengan demikian, kita dapat menjalankan syariat Islam dengan lebih baik dan terhindar dari perbuatan yang dilarang.

Sumber-Sumber Hukum Syara

Hukum syara bersumber dari wahyu Allah SWT yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW. Para ulama sepakat bahwa sumber utama hukum syara adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Selain itu, terdapat sumber-sumber lain yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum syara. Berikut penjelasan lengkap mengenai sumber-sumber hukum syara:

1. Al-Qur'an

Al-Qur'an merupakan sumber utama dan pertama hukum syara. Ia adalah kitab suci yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup umat manusia. Al-Qur'an memuat berbagai ketentuan hukum, baik yang bersifat global maupun terperinci. Contoh hukum yang bersumber langsung dari Al-Qur'an adalah kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji.

2. As-Sunnah

As-Sunnah atau Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). As-Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan perinci terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Contoh hukum yang bersumber dari As-Sunnah adalah tata cara shalat, puasa, dan haji.

3. Ijma'

Ijma' adalah kesepakatan para ulama mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terhadap suatu hukum syara. Ijma' menjadi sumber hukum yang kuat setelah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma' adalah kewajiban shalat tarawih 20 rakaat.

4. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan kasus yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan 'illat (alasan hukum). Qiyas digunakan untuk menetapkan hukum pada kasus-kasus baru yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Contoh penggunaan qiyas adalah mengharamkan narkoba dengan mengqiyaskannya pada khamr.

5. Istihsan

Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsna'i (pengecualian) karena ada dalil yang menyebabkannya mencela akal. Istihsan digunakan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar. Contoh penggunaan istihsan adalah kebolehan jual beli salam (pesanan) meskipun objek jual belinya belum ada saat akad.

6. Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash, namun tidak bertentangan dengan tujuan syariat. Metode ini digunakan untuk menetapkan hukum pada kasus-kasus baru yang belum ada ketentuannya dalam sumber-sumber hukum yang lain. Contoh penggunaan maslahah mursalah adalah penetapan undang-undang lalu lintas untuk kemaslahatan pengguna jalan.

7. 'Urf

'Urf atau adat istiadat adalah kebiasaan mayoritas masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan. 'Urf dapat dijadikan sumber hukum selama tidak bertentangan dengan nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Contoh penggunaan 'urf dalam penetapan hukum adalah kebolehan jual beli mu'athah (tanpa ijab qabul secara lisan) yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat.

Memahami sumber-sumber hukum syara ini penting agar kita dapat mengetahui dasar-dasar penetapan hukum dalam Islam. Dengan demikian, kita dapat lebih memahami dan menghargai proses ijtihad para ulama dalam menetapkan hukum syara.

Penerapan Hukum Syara dalam Kehidupan Sehari-hari

Hukum syara tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan hukum syara mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah, muamalah, hingga akhlak. Berikut beberapa contoh penerapan hukum syara dalam kehidupan sehari-hari:

1. Ibadah

Dalam aspek ibadah, hukum syara mengatur tata cara pelaksanaan ibadah mahdhah (murni) seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Contoh penerapannya:

  • Melaksanakan shalat lima waktu sesuai dengan ketentuan dan tata caranya
  • Menunaikan zakat fitrah dan zakat mal sesuai dengan nisab dan haulnya
  • Berpuasa di bulan Ramadhan dan menghindari hal-hal yang membatalkan puasa
  • Melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu sesuai dengan rukun dan syaratnya

2. Muamalah

Dalam aspek muamalah, hukum syara mengatur interaksi antar manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Contoh penerapannya:

  • Melakukan jual beli sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti menghindari riba dan gharar
  • Menerapkan sistem bagi hasil dalam kerjasama usaha (mudharabah)
  • Membayar upah pekerja secara adil dan tepat waktu
  • Menghindari praktik monopoli dan penimbunan barang

3. Keluarga

Hukum syara juga mengatur kehidupan berkeluarga, mulai dari pernikahan hingga perceraian. Contoh penerapannya:

  • Menikah sesuai dengan rukun dan syarat yang ditetapkan syariat
  • Memenuhi hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga
  • Mendidik anak sesuai dengan ajaran Islam
  • Menyelesaikan perselisihan keluarga melalui musyawarah dan tahkim

4. Makanan dan Minuman

Hukum syara mengatur hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Contoh penerapannya:

  • Mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib
  • Menghindari makanan dan minuman yang haram seperti daging babi dan khamr
  • Menyembelih hewan sesuai dengan syariat Islam
  • Menerapkan etika makan dan minum sesuai sunnah Nabi

5. Pakaian dan Aurat

Hukum syara juga mengatur cara berpakaian dan menutup aurat. Contoh penerapannya:

  • Menutup aurat sesuai dengan ketentuan syariat
  • Mengenakan pakaian yang sopan dan tidak berlebihan
  • Menghindari pakaian yang menyerupai lawan jenis
  • Menjaga kebersihan dan kesucian pakaian

6. Sosial dan Kemasyarakatan

Dalam aspek sosial, hukum syara mengatur interaksi antar individu dalam masyarakat. Contoh penerapannya:

  • Menjalin silaturahmi dengan kerabat dan tetangga
  • Melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar dengan cara yang bijak
  • Berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan
  • Menghormati hak-hak orang lain dan menjaga keharmonisan sosial

Penerapan hukum syara dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan pemahaman yang baik dan komitmen yang kuat. Sebagai muslim, kita dituntut untuk senantiasa berusaha menjalankan syariat Islam secara komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, kita dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat sesuai dengan tujuan diturunkannya syariat Islam.

Ijtihad dalam Penetapan Hukum Syara

Ijtihad memainkan peran penting dalam penetapan hukum syara, terutama untuk kasus-kasus baru yang belum ada ketentuannya secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ijtihad adalah upaya sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang mujtahid untuk mencapai kesimpulan tentang suatu hukum syara dari dalil-dalil yang ada.

Beberapa metode ijtihad yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan hukum syara antara lain:

  • Qiyas: Menyamakan suatu kasus yang belum ada hukumnya dengan kasus yang sudah ada hukumnya karena adanya persamaan 'illat (alasan hukum).
  • Istihsan: Meninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara dan mengambil hukum lain karena adanya dalil yang lebih kuat.
  • Maslahah Mursalah: Menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash, namun tidak bertentangan dengan tujuan syariat.
  • Istishab: Menetapkan hukum sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya.
  • Sadd adz-Dzari'ah: Menutup jalan yang mengarah pada kerusakan atau kemudharatan.

Ijtihad harus dilakukan dengan memperhatikan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan demikian, hasil ijtihad diharapkan dapat mewujudkan kemaslahatan bagi umat dan sesuai dengan spirit ajaran Islam.

Fleksibilitas Hukum Syara dalam Menghadapi Perubahan Zaman

Salah satu keistimewaan hukum syara adalah fleksibilitasnya dalam menghadapi perubahan zaman. Meskipun prinsip-prinsip dasarnya tetap, namun penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks dan kondisi yang ada. Beberapa contoh fleksibilitas hukum syara:

  • Adanya rukhshah (keringanan) dalam ibadah bagi orang yang memiliki udzur syar'i
  • Penggunaan teknologi modern dalam penentuan awal bulan qamariyah dan penentuan arah kiblat
  • Penyesuaian metode dakwah dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
  • Pengembangan instrumen keuangan syariah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi modern

Fleksibilitas hukum syara ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang relevan untuk segala zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan).

Kesimpulan

Hukum syara merupakan aturan Allah SWT yang mengatur berbagai aspek kehidupan umat Islam. Memahami dan menerapkan hukum syara dengan baik adalah kunci untuk menjalankan syariat Islam secara komprehensif. Sebagai muslim, kita dituntut untuk senantiasa mempelajari dan mengamalkan hukum-hukum syara dalam kehidupan sehari-hari.

Fleksibilitas hukum syara dalam menghadapi perubahan zaman menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang relevan untuk segala situasi dan kondisi. Namun, dalam menerapkan hukum syara, kita harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar dan tujuan syariat (maqashid syariah) agar tidak terjerumus dalam penyimpangan.

Dengan memahami dan menerapkan hukum syara secara benar, kita dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat sesuai dengan tujuan diturunkannya syariat Islam. Wallahu a'lam bishawab.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya