Liputan6.com, London - Belum lagi usai konflik di Gaza, Palestina kekerasan meluas terjadi di Irak Utara. Kelompok ekstremis Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mendeklarasikan berdirinya 'kekhalifahan', sebuah negara Islam yang diklaim membentang di seluruh wilayah Bumi. Abu Bakr al-Baghdadi -- yang diduga mengenakan jam mewah dalam penampilan publik perdananya --diangkat sepihak sebagai khalifah.
ISIS menarik perhatian dunia karena menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya. Tak hanya mengeksekusi tentara Irak secara sadis dan menyebarkan gambarnya di dunia maya, belakangan kelompok militan tersebut menargetkan kelompok minoritas Yazidi, Kristen, juga muslim Syiah. Kepada yang tidak memeluk agama Islam, mereka mengultimatum, "pindah agama atau mati".
Minggu kemarin, Menteri HAM Irak mengklaim, setidaknya 500 warga Yazidi tewas dibantai ISIS. Sejumlah korban -- termasuk perempuan dan anak-anak -- bahkan dikubur hidup-hidup. Sementara, 300 wanita diculik untuk dijadikan budak.
Benarkan tujuan ISIS murni berlandaskan keyakinan?
Diana Darke, ahli Timur Tengah dari Oxford dalam artikel berjudul 'Oil and water, not religion, are fuelling Isis campaign to wipe out minorities' di situs The Sunday Times, berpendapat sebaliknya.
Menurut dia, adalah minyak dan air, bukan agama, yang menjadi alasan ISIS membantai kaum minoritas.
Menurut Darke, wilayah konflik di Irak di dekat Gunung Sinjar, sejak lama menjadi tempat hidup kelompok agama minoritas. "Di tanah yang dikenal sebagai 'bulan sabit yan subur' adalah tempat kelahiran agama-agama, bahkan peradaban itu sendiri. Tiga agama monoteistik besar dunia lahir di sini -- Yahudi, Kristen dan Islam," tulis dia.
Seperti Liputan6.com kutip dari situs Al Arabiya, Senin (11/8/2014), Darke berpendapat, serangan ke kelompok minoritas dilatarbelakangi motif ISIS untuk meningkatkan kekuatan ekonominya.
Penguasaan ISIS atas bendungan terbesar di Irak baru-baru ini, misalnya, membuat kelompok ekstremis itu memegang kendali luas atas pasokan air di negeri 1001 malam itu. Dengan itu, mereka bahkan bisa menciptakan banjir di ibukota Baghdad.
Tak cuma itu, kelompok tersebut juga terus mempertahankan sejumlah ladang minyak, menjual hasilnya di pasar gelap untuk membiayai operasi-operasinya.
Sementara itu, wilayah yang dikendalikan Kurdi di utara Irak, di mana kaum minoritas yang melarikan diri mencari perlindungan -- kian terancam. Awal pekan lalu, pejabat Kurdi mengatakan, pihaknya menghadapi 'ancaman eksistensial'.
Salah satu penentang ISIS adalah pejuang dari kelompok Sunni Kurdi yang sama-sama muslim dan sealiran dengan Daulah Islam Irak dan Syam itu.
"Ironi terbesar adalah bahwa semua kelompok agama yang berjuang untuk hidup berdampingan di wilayah ini percaya pada Tuhan yang sama, hanya memilih simbol berbeda -- merak, salib, matahari, atau hanya pola geometris abstrak. Ini adalah bukti, bahwa konflik di sana bukan soal agama, namun perang air, minyak, dan kekuasaan," demikian kutipan artikel yang dimuat Al Arabiya. (Tnt)
Energi & Tambang