Ditemukan, Jejak Ramuan 'Keabadian' dari Era Prasejarah Mesir

Orang Mesir prasejarah telah mendamba keabadian di kehidupan setelah mati. Mereka diduga melakukan eksperimen untuk mengawetkan jasad.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 14 Agu 2014, 12:02 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2014, 12:02 WIB
Kain mumi dari zaman prasejarah Mesir
Kain mumi dari zaman prasejarah Mesir (© Ron Oldfield and Jana Jones)

Liputan6.com, Bolton - Tiga ribu tahun sebelum jasad Firaun Tutankhamun atau King Tut digosok minyak pembalseman dan dibungkus linen, kemudian diistirahatkan di makam penuh harta karun emas, orang Mesir di zaman prasejarah telah mendamba keabadian di kehidupan setelah mati. Mereka diduga melakukan eksperimen untuk mengawetkan jenazah. Dengan ramuan mereka sendiri.

Para ilmuwan awalnya menduga pembuatan mumi dimulai di Mesir sekitar tahun 2600 Sebelum Masehi, selama era pembangunan kompleks Piramida Giza, atau zaman yang dikenal sebagai Kerajaan Lama.

Namun, kini para ahli mengatakan, mereka menemukan jejak pembalseman yang lebih tua pada kain kafan yang disimpan di sebuah museum selama 100 tahun, setelah benda tersebut digali dari lokasi di sepanjang Lembah Nil.

Linen tersebut dikupas dari jenazah yang terkubur di situs Badari dan Mostagedda di Mesir selama periode Neolitik dan Predinastik Akhir, antara 4500 SM dan 3100 SM. Para arkeolog kali pertama menemukan liang makam tersebut selama ekspedisi tim Inggris di wilayah itu pada tahun 1920-an.

Lingkungan yang keras mungkin memberi inspirasi proses mumifikasi. Karena Mesir merupakan tempat yang kering, jarang hujan, seringkali jasad yang dikubur menjadi mumi secara alami. Penduduk kala itu menyukai gagasan bahwa tubuh mereka akan terjaga selamanya dan mereka meyakini bahwa ini akan berguna di alam maut.

Namun, berdasarkan penelitian terbaru, yang dipublikasikan pada Rabu 13 Agustus 2014 dalam jurnal PLOS ONE, orang Mesir di era itu memasak ramuan pembalseman yang dibuat dari campuran lemak hewan, resin pohon dan ekstrak tanaman yang mengandung unsur antibakteri yang kuat. Bukan mumi alami.

"Studi terbaru menggarisbawahi potensi besar koleksi museum yang dikumpulkan seabad lalu, terkait potensinya memberi kita wawasan baru ke masa lalu," kata  Alice Stevenson, kurator Petrie Museum of Egyptian Archaeology di University College London seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Kamis (14/8/2014).

Resep Ramuan Mayat



Pemimpin studi Jana Jones dari Macquarie University di Sydney, Australia beserta para koleganya meneliti sekitar 50 sampel kain pembungkus mumi, yang kebanyakan diambil dari makam-makam di Mostagedda -- yang kini letaknya ada di Provinsi Asyuti, Mesir.

Para arkeolog kerap menjumpai tekstil-tekstil tersebut, yang kini disimpan di Bolton Museum, Inggris terlihat mencurigakan. Seperti ada lapisan lilin, seakan tertutup resin. Demikian kata peneliti Stephen Buckley, seorang ahli arkeologi kimia di University of York, Inggris.

Analisis kimia yang dilakukan mengungkap zat mengkilap tersebut adalah ramuan buatan, bukan cairan yang keluar dari jenazah.

Dalam sejumlah kasus, ramuan pembalseman mumi terdiri dari tiga perempat lemak hewani atau minyak, dicampur sejumlah kecil resin pinus, ekstrak tanaman beraroma, gula atau getah pohon, dan minyak bumi murni. Tim menemukan jejak pemanasan, menunjukkan bahwa ramuan tersebut diproses sebelum digunakan.

"Resep tersebut relatif konsisten, dari sejumlah sampel. Resepnya juga digunakan di era Firaun, cara klasik pembuatan mumi Mesir," kata Buckley.

Resin pohon dan ekstrak tanaman beraroma, khususnya, memiliki kandungan antibakteria yang kuat. Meski elemen-elemen tersebut tak menghentikan penguraian jenazah, namun, setidaknya bisa mencegah perkembangan bakteri.

Resep ramuan pembalseman juga menunjukkan bahwa warga orang-orang prasejarah memiliki jaringan perdagangan yang luas. Beberapa zat diimpor jauh dari jantung Mesir, termasuk resin pinus -- yang yang datang dari tenggara Anatolia, atau Turki di era modern.

Kehidupan Abadi

Orang Mesir di era prasejarah tak meninggalkan manual cara pembalseman atau pandangan mereka tentang kehidupan setelah mati. Namun, apa yang mereka lalukan mungkin mengispirasi metode pembalseman yang lebih rumit yang digunakan para penerusnya -- yang menggunakan natron, campuran garam dan soda yang dapat mengeringkan tubuh.

Mumifikasi buatan tak hanya ada di Mesir. Komunitas pembuat muni tertua adalah budaya Chinchorro di Chile utara dan Peru, pemilik jasad awet dari masa 6000 SM. Buckley mengatakan, sangat menarik bahwa budaya yang mempraktikan mumifikasi berada di area mirip: kering dan beriklim gurun.

Sayangnya, kain pembungkus mayat yang jadi obyek studi baru-baru ini ditemukan tanpa mayat. Pada saat penemuan tersebut digali, arkeolog Inggris lebih tertarik pada artefak -- pot-pot, perhiasan, kerang, dan barang lainnya yang ditempatkan di kuburan.

"Ada ketidaknyamanan berurusan dengan mayat saat itu, terus terang, jadi kita tidak tahu pasti di mana jenazah-jenazah tersebut berada," kata Buckley.

Para arkeolog Inggris yang melakukan ekskavasi di situs kuno di Mesir pada awal Abad ke-20 juga punya ketertarikan dengan tekstil.

"Apa yang terjadi adalah tekstil pembungkus mayat yang ditemukan dibawa ke Bolton Museum di barat laut Inggris karena ada kepentingan terkait industri tekstil," Buckley menjelaskan. (Tnt)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya