Liputan6.com, Boston - Aksesori dan pernak-pernik fashion gagasan Pamela Paquin memang terlihat menarik. Namun jika mengetahui asal usulnya, orang-orang bisa bergidik.
Paquin membuat syal leher bulu, penghangat kaki, topi, tas tangan, dan berbagai pernak-pernik fashion dari hewan-hewan tertabrak mobil dan ditinggalkan menjadi bangkai. Paquin lebih suka menyebutnya sebagai 'bulu kecelakaan'.
Baca Juga
Advertisement
Pemilik Petite Mort Furs, perusahaan lokal Boston yang sudah berdiri selama dua tahun, menyatakan ia menawarkan alternatif untuk industri fashion bulu. Selama ini, kulit hewan yang digunakan untuk pakaian dan aksesori diambil dari hewan liar yang ditangkap secara besar-besaran. Tak jarang buruan mereka adalah hewan yang sudah hampir punah atau dari pertanian.
"Bulu-bulu ini sudah tak terpakai," ungkap Paquin dikutip Huffington Post, Rabu (16 Desember 2015). "Jika bisa dimanfaatkan, kita tak perlu lagi membunuh hewan untuk diambil kulitnya.
Reaksi yang diterima Paquin atas idenya ini bermacam-macam. Keith Kaplan, ketua Fur Information Council of America, mengatakan bahwa grupnya anggap semua bulu dari Amerika Utara sudah melalui regulasi secara etik dan bagi lingkungan hidup.
Baca Juga
"Produksi bulu di Amerika Utara diatur ketat dengan kebijakan yang sudah ditetapkan, melibatkan jutaan dolar serta penelitian ilmiah selama bertahun-tahun," ungkapnya.
"Faktanya, populasi spesies yang digunakan untuk industri saat ini lebih banyak, jauh lebih banyak dari abad lalu."
Berbagai komentar juga diterima Paquin dari kelompok aktivis hak hewan.
"Kami menganggapnya selera yang buruk," ungkap Kara Holmquist dari Massachusetts Society for the Prevention of Cruelty to Animals, menolak untuk memberi penjelasan.
Lisa Lange, wakil ketua senior People for the Ethical Treatment for Animals (PETA) menyatakan bahwa 'tak ada alasan' mengenakan bulu. Namun menurutnya, 'jauh lebih baik" jika mengenakan bulu dari hewan yang mati karena alasan selain diburu untuk pakaian.
Lainnya hanya khawatir produk Petite Mort Furs didirikan hanya untuk memperkaya industri bulu yang mereka ingin kalahkan.
"Bisnis yang mempromosikan bahwa mengenakan bulu sungguhan sebagai aksesori mode dan dapat diterima masyarakat bisa saja menciptakan permintaan yang lebih banyak dari semua industri bulu. Ini juga bisa menjadi 'perisai' bagi para pemakai dari kritikan," ungkap Virginia Fuller, dari organisasi Citizens to End Animal Suffering and Exploitation (CEASE) daerah Boston.
Sedangkan Paquin membela diri dengan menyatakan bahwa stigma seputar bulu sudah mereda di beberapa tahun terakhir.
Produksi bulu hewan sungguhan di China, Rusia, dan negara-negara lain, bersama penggunaan bulu sintetis semakin popular. Menurut Paquin, permintaan itu menjadi alasan untuk terjun ke industri itu, meski tanpa latar belakang fashion atau desain, dan bekerja untuk organisasi lingkungan dan pelestarian alam.
Dilaporkan Fur Information Council of America, AS menghabiskan US$ 1,5 juta untuk penjualan bulu pada 2014. Secara global, dunia bulu merupakan industri yang bernilai US$35 miliar.
"Jelas tak ada pembelaan," ujar Paquin. "Sebuah alternatif harus ditemukan. Menggunakan hewan yang akan dibuang pada akhirnya merupakan keputusan yang bijak."
Heidi Forbes Öste, penduduk San Fransisco yang membeli penutup telinga bulu rubah pada musim panas lalu, menyatakan ia terkejut atas protes dari aktivis hak hewan.
"Mereka tak jeli," ucapnya. "Kita seharusnya mendukung orang-orang membeli bulu yang bersifat ramah lingkungan. Hewan-hewan itu sudah mati."
Produk dari Petit Mort, yang artinya 'kematian kecil' dalam bahasa Prancis, dan juga slang untuk orgasme, merupakan produk mewah. Harganya mencapai US$ 800 - 2.000 atau Rp 11 juta hingga Rp 28 juta, tergantung produk dan jenis bulu yang digunakan.
Produk bisa dibeli online dan di Newbury Streey, Boston, di mana perusahaan menyewa display di pasar barang buatan sendiri. (*)