Liputan6.com, London - Rusia menyebut terjadi provokasi oleh sebuah penyelidikan di Inggris yang mengatakan Presiden Vladimir Putin mungkin menyetujui pembunuhan mantan mata-mata KGBÂ di London.
Dalam laporan terkait kematian Alexander Litvinenko, para penyelidik mengemukakan sejumlah alasan mengapa mereka menyimpulkan 'ada kemungkinan elemen-elemen negara ingin membunuhnya'.
Litvinenko meninggalkan Rusia dan bekerja sama dengan dinas intelijen Inggris ketika diracun dengan polonium tahun 2006 lalu di London.
Advertisement
Duta besar Rusia untuk Inggris, Alexander Yakovenko, mengatakan Moskow tidak akan pernah menerima temuan dari sebuah penyelidikan yang berlangsung tertutup.
"Kami mempertimbangkan kasus Litvinenko, dan caranya diungkapkan, merupakan provokasi dari pihak berwenang Inggris," kata Yakovenko seperti dilansir dari BBC, Jumat (22/1/2016).
"Yang kedua kami tidak pernah menerima sesuatu yang diambil secara rahasia dan didasarkan pada bukti-bukti yang tidak diuji di pengadilan terbuka," tambah Yakovenko.
Baca Juga
Sementara juru bicara Putin mengatakan hal tersebut bisa makin memperburuk hubungan antara Rusia dan Inggris. Inggris menuduh Rusia melanggar undang-undang internasional sebagai tanggapan atas pembunuhan Litvinenko.
Litvinenko merupakan mantan anggota KGB. Namun, tiba-tiba dia berubah menjadi pengkritik keras Kremlin.
Pada 23 November 2006, Litvinenko meregang nyawa, 3 pekan usai bertemu dan minum teh bersama dua koleganya, Andrei Lugovoi dan Dmitri Kovtun.
Diduga kuat, teh yang diminum Litvinenko telah dimasukan racun polonium yang sangat berbahaya.
Polonium tersebut diduga dicampurkan di tehnya di sebuah restoran. Racun yang sama diduga digunakan untuk menghabisi nyawa pemimpin Palestina, Yasser Arafat.
Arafat meninggal dunia pada 11 November 2004. Ia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Militer Percy, Prancis pada usia 75 tahun. Kala itu, kematiannya disebut akibat penyakit misterius.