Ternyata, 'Patah Hati' Ditinggal Pasangan Dapat Sebabkan Kematian

Tak hanya menderita secara emosi, ternyata patah hati karena ditinggal pasangan juga dapat menyebabkan kematian.

oleh Citra Dewi diperbarui 06 Apr 2016, 19:47 WIB
Diterbitkan 06 Apr 2016, 19:47 WIB
Ilustrasi (Foto: gsb.stanford.edu).
Ilustrasi (Foto: gsb.stanford.edu).

Liputan6.com, Kopenhagen - Patah hati yang disebabkan karena meninggalnya pasangan hidup tentunya membuat suami atau istri yang ditinggal mengalami sedih berkepanjangan. Berdasarkan penelitian, ternyata hal tersebut tak hanya menyebabkan sakit secara emosional, namun juga mempengaruhi kesehatan fisik.

Para ilmuwan asal Denmark menemukan bahwa 30 hari setelah kematian pasangan, orang yang ditinggalkan mempunyai kecenderungan mengalami detak jantung tak teratur sebesar 41 persen.

Seperti yang dikutip dari Los Angeles Times, Rabu (6/4/2016), kematian pasangan secara mendadak juga menyebabkan risiko mengalami detak jantung yang tak teratur, semakin tinggi.

"Stres sudah lama dikaitkan dengan penyakit aritmia di jantung, dan stres akut yang dialami karena kehilangan pasangan merupakan salah satu penyebab terbesar dari stres secara psikologis yang pernah dialami," ujar ilmuwan dan ketua penelitian dari Departemen Kesehatan Masyarakat Aarhus University Denmark, Simon Graff.

Kondisi yang dikenal dengan nama fibrilasi atrium (AF) tersebut, memang dapat meningkatkan kemungkinan stroke maupun gagal jantung. Mereka yang menderita AF biasanya merasakan jantung berdebar, napas pendek, dan rasa tak nyaman di dada.

Fibrilasi Atrium atau yang biasa disingkat AF, merupakan suatu kondisi tubuh di mana ritme atau detak jantung menjadi tak normal. Hal tersebut merupakan jenis aritmia paling umum.

Para peneliti mengumpulkan data dari hampir 89.000 orang yang didiagnosa mengidap AF pada tahun 1995 hingga 2004 dan membandingkan dengan rekam medis 886.000 orang sehat.

Dari data tersebut, diketahui bahwa 17.478 orang yang menderita AF dan 168.940 orang sehat mengalami kehilangan atas kematian pasangannya.

Berdasarkan studi yang dipublikasi di jurnal Open Heart tersebut, diketahui bahwa orang yang tinggal maupun tidak berada di satu rumah dengan pasangannya, dapat mengalami kesempatan yang sama untuk menderita AF setelah kematian orang terkasihnya itu.

Kematian pasangan dapat menyebabkan orang yang ditinggal beresiko tinggi terkena fibrilasi atrium (Foto: Reuters).

Dari data penelitian, diketahui bahwa orang yang ditinggal pasangannya dengan umur di bawah 60 tahun memiliki risiko 2 kali lebih tinggi untuk terkena AF.

Resiko tersebut juga meningkat ketika pasangan meninggal secara mendadak, dibandingkan dengan mereka yang sudah mengetahui bahwa pasangannya memang sudah menderita dari suatu penyakit.

"Meningkatnya risiko tersebut semakin tinggi untuk mereka yang masih muda dan memiliki pasangan sehat... Rasa kehilangan diketahui meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, penyakit mental, dan kematian," ujar ilmuwan dari Aarhus Univeristy di Denmark.

Seperti yang dikutip dari Daily Mail, Rabu (6/4/2016), perawat senior bagian jantung di British Heart Foundation menambahkan, "Kehilangan pasangan merupakan kejadian besar dalam hidup semua orang, namun efeknya akan lebih buruk jika (pasangan) meninggal mendadak atau terlalu cepat."

Penelitian tersebut juga menduga bahwa seiring dengan waktu, risiko terkena AF akan menurun, karena kondisi detak jantung yang tak teratur biasanya muncul pada 8 hingga 14 hari setelah kematian pasangan dan secara perlahan hal itu akan membaik.

Dukungan orang terdekat dibutuhkan oleh orang yang baru kehilangan pasangan (Foto: Reuters).

Para peneliti tidak melakukan studi mengenai mekanisme secara psikologis mengenai hubungan antara AF dengan kehilangan pasangan, namun mereka memiliki beberapa dugaan.

Graff menjelaskan, "Kematian pasangan dapat mempengaruhi proses hormon dasar yang dapat mengubah detak jantung. Misalnya saja hormon adrenalin dengan jumlah terlalu banyak dalam jangka waktu panjang dapat mengganggu ritme jantung."

"Stres akut juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan di bagian sistem saraf pusat yang mengontrol detak jantung dan jalur elektris menuju jantung," tambahnya.

Graff dan timnya juga berharap bahwa ada lebih banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan lain antara kesehatan jantung dan stres emosional.

Sementara itu, mereka berharap bahwa para kerabat dan dokter dapat menjaga dan memberi dukungan untuk orang-orang yang baru kehilangan pasangannya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya