Di Balik 'Rahasia' Nuklir Kim Jong-un dan Donald Trump

Seperti Kim Jong-un, Donald Trump membuat Asia lebih berbahaya dari sebelumnya soal nuklir

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 11 Apr 2016, 10:48 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2016, 10:48 WIB
Di Balik 'Rahasia' Nuklir Kim Jong-un dan Donald Trump
(Kiri) Donald Trump dan Kim Jong-un (Kiri). (Reuters)

Liputan6.com, Jakarta - Sosok Donald Trump dan Kim Jong-un kerap menuai kontroversi dalam berbagai hal, termasuk kepemimpinannya. Bahkan keduanya disebut-sebut memiliki persamaan.

Kendati demikian, seperti dilansir dari The Economist, Senin (11/4/2016), secara moral Donald Trump tidak seperti Kim Jong-un. Dia tidak mengirim anak-anak ke gulag -- tempat kerja paksa -- seperti petinggi Korea Utara (Korut) itu.

Belakangan mengemuka bahwa taipan itu disebut-sebut memiliki beberapa kesamaan dengan Jong-un seperti kebiasaan memuji diri sendiri, tampil sesuai dengan kenyataan serta membatasi diri dengan negara sekitar mereka.

Keduanya juga sama-sama kerap memperdebatkan tentang proliferasi nuklir di timur laut Asia.

Ketika Korut pertama kali memperoleh bom sepuluh tahun silam, banyak yang takut negara tetangga akan segera menyusul terkait kepemilikan berbahaya itu. Korea Selatan (Korsel), Jepang dan Taiwan yang mahir teknologi tak ayal merasa terancam.

Namun tak satu pun dari ketiga negara itu memutuskan untuk kontra-nuklir. Mereka terus menahan diri, meskipun Jong-un telah menguji apa yang ia klaim sebagai bom hidrogen.

Sementara Trump menyarankan Jepang dan Korsel harus membuat bom mereka sendiri untuk meringankan Amerika dari beban membela mereka.

Dalam buku terbaru bertajuk "Asia's Latent Nuklir Powers", Mark Fitzpatrick dari International Institute for Strategic Studies atau Institut Internasional untuk Studi Strategis, berpendapat bahwa dari tiga negara di atas, Korsel adalah yang paling mungkin untuk memperoleh senjata nuklir -- meskipun tak disetujui.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa hampir dua-pertiga warga Korsel memiliki kemampuan di bidang nuklir.

Beberapa politisi setuju. Salah satunya adalah Chung Mong-joon, dari dinasti konglomerat raksasa Hyundai dan calon presiden pada tahun 2012.

Setelah uji coba nuklir terbaru, Mong-joon menyerukan Korsel untuk mundur dari Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dan mengatakan bom itu sebagai satu-satunya cara memaksa Korut untuk melakukan perundingan nuklir.

Dalam tulisan pada blog-nya, ia menggambarkan itu sebagai 'pelajaran perang dingin'.

Ledakan bom nuklir Tsar Bomba. (El C/Wikimedia)

Selama lebih dari dua dekade menggertak, menyuap dan membujuk Korut untuk melakukan perundingan nuklir, semua itu tak juga membuahkan hasil. Meski kontra-nuklir, Korsel menunjukkan India dan Pakistan menyatakan memiliki kekuatan nuklir sejak tahun 1998 tanpa perang atau menjadi ancaman internasional.

Bahaya nuklir bagi Korsel yang terlihat jauh lebih besar daripada manfaat, membuat Amerika menentang keras, mengancam aliansi yang menggantungkan keamanan kepada Korsel.

Korsel akan rentan terhadap sanksi ekonomi. Lainnya seperti Jepang, juga berkeinginan menerapkan nuklir seperti itu. Dan Korea Utara akan bereaksi keras terkait Korsel yang membuat bom sendiri -- beberapa ahli memperkirakan memakan waktu 18 bulan.

Beberapa lainnya berdebat senjata nuklir lebih kepada efek dari kebijakan praktis Amerika untuk menegaskan kembali 'payung nuklir' dan membuat China menekan Korut.

Doktrin Trump

Beberapa faktor yang membuat program nuklir penting hari ini bermula dari Guam pada tahun 1969, ketika Presiden Richard Nixon mengumumkan kebijakan pergeseran membela sekutu Amerika untuk sekutu itu sendiri.

Berkampanye untuk presiden pada tahun 1976, Jimmy Carter berjanji untuk menarik pasukan Amerika dari Korsel. Lalu Amerika beralih ke pengakuan diplomatik dari Taipei ke Beijing pada tahun 1979 memperingatkan Taiwan dan sekutu lainnya.

Ketiga negara itu menyerah berkecimpung di bidang nuklir karena mereka kemudian meyakinkan tentang komitmen Amerika untuk keamanan mereka.

Apapun yang terjadi dalam pemilihan presiden AS bulan November, Trump telah merusak kepercayaan dengan menunjukkan bahwa seorang politisi Amerika bisa unggul suara dengan mengatakan orang asing bisa dikerjai.

Pernyataan itu memperkuat argumen China, terkait geografi di Asia, bahwa Amerika ada karena pilihan, dan mungkin suatu hari akan pergi, dan akan memicu panggilan dalam demokrasi Amerika-sekutu untuk pencegahan nuklir mereka sendiri.

Seperti Kim,  Donald Trump juga membuat Asia lebih berbahaya dari sebelumnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya