Pengakuan 2 Nelayan Myanmar yang Dijadikan 'Budak' di Indonesia

Untuk melepaskan dahaga, mereka hanya diperbolehkan minum air laut yang sudah direbus.

oleh Adanti Pradita diperbarui 21 Apr 2016, 05:00 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2016, 05:00 WIB
Kisah Dua Budak Nelayan Myanmar 'Disiksa' di Indonesia
Untuk melepaskan dahaga, mereka hanya diperbolehkan minum air laut yang sudah direbus.

Liputan6.com, Jakarta - Pada 2015 lalu, 2 nelayan asal Myanmar akhirnya bisa kembali ke pelukan keluarga mereka masing-masing, setelah sekian tahun lamanya dijadikan budak perusahaan penangkap ikan ilegal di wilayah perairan Indonesia Timur.

Ako, salah satunya, menjadi korban dari perdagangan manusia di Ambon. Ia kali pertama menginjakkan kaki ke Indonesia pada tahun 2004 dan sejak itu ia diperbudak.

“Dalam kurun waktu 11 tahun saya dipindahkan dari satu kapal ke kapal lainnya, dipaksa bekerja dan tidak pernah digaji,” ungkapnya melalui video conference dalam acara diskusi 'Penyelamatan Nelayan Korban Penyelundupan di Indonesia Timur' di @America, Pacific Place, Jakarta, Rabu (20/4 2016).

Senasib dengan Ako, Hlaing Min, salah seorang korban praktik perbudakan di Pusaka Benjina Resources, Maluku yang berhasil melarikan diri juga tidak dapat menikmati hasil kerja kerasnya.

“Saya mulai dipaksa bekerja sebagai ABK di Benjina tahun 2010. Saya bertahan hingga 29 bulan di mana saya tidak pernah mendapatkan gaji,” jelasnya.

Dalam video yang diputar di depan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Robert O blake Junior, Hlaing Min yang mengenakan kaos berkerah warna merah, sesekali tersenyum. Ia menjawab pertanyaan dalam Bahasa Indonesia.

Min menceritakan, ia dan korban-korban lainnya dipaksa untuk bekerja 18 hingga 20 jam per hari. ABK yang didapati sedang mengeluh seringkali kena hukuman cambuk.

Untuk melepaskan dahaga, para ‘budak’ hanya diperbolehkan minum air laut yang sudah direbus.

Pimpinan International organization for Migration (IOM), Mark Gretchell yang juga hadir dalam diskusi bersama dengan Dubes AS dan wartawan Associated Press -- yang menguak kasus itu -- menuturkan keprihatinannya.

“Uang dengan jumlah sebesar apapun tidak akan pernah bisa membayar atau menghapus trauma para korban dari kejahatan fisik dan mental yang dilakukan oleh para penjahat perdagangan manusia,” kata Gretchell.

Menurut Dubes AS Blake, Kejaksaan Agung Indonesia harus secepatnya menindaklanjuti kasus 5 kapal ilegal asal Thailand yang diketahui telah memperbudak ratusan warga Myanmar selama beberapa tahun.

“Pemerintah Indonesia juga harus membawa perusahaan Indonesia yang diduga membantu praktik ilegal tersebut ke ranah hukum,” tutup Dubes Blake.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya