Kisah Haru Pemain Piano Pengungsi Suriah

Melalui penampilan di hadapan penonton warga Jerman, seorang pemusik pengungsi Suriah berharap dapat menyurutkan ketakutan yang ada.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 16 Mei 2016, 20:18 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2016, 20:18 WIB
Kisah Haru Pengungsi Suriah Pemain Piano
Aeham al-Ahmad, pemain piano pengungsi Suriah. (Sumber DPA via The Local)

Liputan6.com, Berlin - Seorang musisi pengungsi Suriah mendapatkan kembali kesempatan untuk melakukan kecintaannya bermain piano, satu tahun setelah ISIS membakar habis piano miliknya di Damaskus. 

"Piano, inilah hidup saya. Ini ada di dalam hati saya," kata Aeham al-Ahmad sang pianis.

Dikutip dari The Local pada Senin (16/5/2016), Ahmad tampil memukau di depan publik Jerman. Ia memainkan sejumlah arpeggio pada alat musik yang berkilau tersebut.

Dalam konser itu, ia menyuguhkan sejumlah lagu tentang air yang dilantunkan dalam bahasa Arab. Lalu tentang pegunungan di dekat ibukota Suriah, demikian juga dengan "mimpi yang dirampas" dari para penduduknya.

 

Pianonya di Damaskus adalah "benda yang paling aku senangi." Ahmad menggelandang piano itu ke jalan-jalan di tengah kamp pengungsi Palestina di puing-puing kota Yarmuk. Anak-anak berdiri mengelilinginya dan bernyanyi bersama tentang pengharapan di tengah peperangan, kelaparan, dan hujan bom

Sayangnya, pada 17 April tahun lalu, ISIS memusnahkan alat musik itu menjadi debu. Tanggal itu adalah tanggal ulang tahunnya

"Ketika para budak ISIS itu membakar pianoku, aku memutuskan untuk pergi," katanya sambil menceritakan perjuangannya di antara kapal padat pengungsi sebelum akhirnya mencapai Eropa. Ia bahkan meninggalkan istri dan dua anaknya di Suriah.

Musik memang mengalir di dalam darah Ahmad. Ia mulai belajar piano di usia 5 tahun. Ayahnya, seorang tuna netra, adalah pemain biola sekaligus pembuat alat musik. Keduanya kemudian melakukan pertunjukan bersama dan menggelar konser di tengah-tengah reruntuhan kota Yarmuk.

Ahmad mengikuti kursus formal piano selama 4 tahun di sebuah universitas di Homs. Pendidikannya terhenti karena peperangan.

Ia tiba di Jerman pada September 2015 bersama dengan puluhan ribu pengungsi lainnya dari Suriah. Sejak saat itu, ia tinggal di tempat penampungan pengungsi di kota Wiesbaden dekat Frankfurt bersama dengan seorang pamannya.

Dengan tersenyum ia berujar, "Yah, memang tidak sempurna, tapi kami punya sebuah kamar dan orang-orang membantu dengan makanan dan uang."

Ia berbicara bahasa Inggris dengan aksen Arab yang kental. Tapi, ketika ia bicara tentang Jerman, ia menggunakan kata Doutschland untuk menyebut negara Jerman.

"Aku senang melakukan sesuatu bagi Doutschland karena apa yang telah dilakukan bagiku," katanya.

Setelah suatu latihan pendek untuk konser malam itu, ia berbicara tentang mimpinya datang ke Jerman, jauh sebelum peperangan.

"Karena Jerman adalah negara musik. Selama ini kami mendengarkan, Bechstein, Steinway. Inilah negeri pembuatan piano."

"Dan ada sangat banyak sekali pemain piano yang bagus di Doutschland. Dulu aku berpikir, setelah selesai universitas, aku perlu ke Doutschald, ke Universitas Cologne. Itulah mimpiku, baik ada perang ataupun tidak," kata pemuda 28 tahun itu.

Sejak tiba di Jerman, ia menghadirkan hiburan kepada para penghuni pusat pencari suaka, termasuk anak-anak, melalui permainan piano yang disumbangkan oleh penyanyi pop Jerman, Herbert Groenemeyer.

Ahmad bangga dengan sejumlah tempat konsernnya selama di Jerman. Ia mengaku telah mendapatkan sejumlah tawaran dari Prancis, Italia, dan bahkan dari Amerika. Tapi ia dilarang meninggalkan Jerman sebelum permohonan status pengungsinya disetujui.

Melalui penampilan di hadapan penonton warga Jerman, ia berharap dapat menyurutkan ketakutan yang ada.

"Banyak orang mengkaitkan Suriah dengan ISIS. Tapi mereka sekarang bisa menyaksikan seorang Suriah di panggung yang menggemari Beethoven dan bisa memainkan Mozart," ujar Ahmad.

Ahmad mengatakan gedung-gedung pertunjukkannya selalu penuh dan ia bahkan mendapatkan penghargaan dari kota Bonn pada Desember lalu untuk karyanya selama ini. Penghargaan yang dimaksud adalah Piagam Beethoven bagi orang-orang karena upayanya demi HAM dan kebebasan.

Ketika ditanyai tentang ketenarannya, pemusik muda ini mengatakan, "Aku bukan seorang bintang. Aku adalah seorang pengungsi!"

Dan ketika ditanya tentang masa depan, ia membayangkan wajah-wajah istri dan dua putranya, dengan harapan dapat membawa mereka.

Dikutip dari The Local pada Senin (16/5/2016), ia memainkan sejumlah arpeggio pada alat musik yang berkilau tersebut. Tidak lupa, ia menyuguhkan sejumlah lagu tentang air yang dilantunkan dalam bahasa Arab. Lalu tentang pegunungan di dekat ibukota Suriah, demikian juga dengan "mimpi yang dirampas" dari para penduduknya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya