Liputan6.com, Paris - Selasa 14 Juli 1789 adalah hari ketika revolusi Prancis bermula, dari sebuah penjara bernama Bastille.
Bastille sesungguhnya adalah benteng kokoh Abad Pertengahan yang dibangun pada 1370, untuk mempertahankan Paris dari serangan Inggris dalam Perang 100 Hari.
Pada 1417, bangunan itu kemudian menjadi penjara. Pada masa kepemimpinan Raja Louis XVI, penjara itu digunakan untuk menahan mereka yang dianggap menentang penguasa -- banyak dari mereka yang ditahan tanpa diadili.
Salah satu tahanan paling terkenal adalah Voltaire, yang dipenjarakan atas tudingan penghasutan selama setahun pada 1717.
Namun, hanya ada tujuh orang yang ditahan pada tahun 1789: empat pemalsu, dua orang penderita sakit mental, dan seorang Count yang dikirim keluarganya ke Bastille karena terlibat dalam praktik seksual menyimpang.
Â
Baca Juga
Marquis de Sade -- penulis sekaligus sosok yang terkenal dengan karya-karya erotisnya soal seks menyimpang -- juga dipenjara di Bastille.
Beberapa hari sebelum penyerbuan berlangsung, ia dipindahkan ke sebuah rumah sakit jiwa setelah berteriak melalui jendela. "Mereka membantai para tawanan!," serunya.
Namun, Bastille bukan sekedar jeruji besi. Ia menjadi simbol kesewenang-wenangan raja dan penindasan kelas berkuasa terhadap kaum papa yang kelaparan.
Sekitar 300 kaum revolusioner mengepung bangunan batu itu, menuntut agar senjata dan bubuk meriam yang disimpan di sana diserahkan.
Advertisement
Para sipir tak sudi memenuhi tuntutan itu. Mereka bergeming. Kerumunan massa yang mengepung Bastille sama sekali tak mengesankan dari sisi jumlah.
Setelah menembaki massa dan membunuh sekitar 100 orang dari mereka, para penjaga penjara dipaksa menyerah satuan yang dikirim untuk mengamankan penjara, justru membelot dan bergabung dengan kaum revolusioner -- dengan imbalan meriam yang disimpan di Bastille.
Pertempuran terjadi dengan sengit. Gubernur militer, Bernard-Jordan de Launay akhirnya mengibarkan bendera putih. Menyerah.
Namun, massa revolusioner justru membunuhnya dan mengarak kepalanya. Malam harinya, mereka merobohkan dinding Bastille.
Penyerbuan Bastille adalah klimaks, sekaligus awal dari Revolusi Prancis. Juga permulaan dari periode kekerasan Reign of Terror.
Sebenarnya, sudah dua tahun rakyat bergolak. Pemerintahan kerajaan yang lemah, pajak yang mencekik, dan harga pangan yang membumbung tinggi sudah tak lagi bisa diterima.
Belum lagi perlakuan penguasa feodal. Kaum ningrat memperlakukan petani seperti pada masa Abad Pertengahan.
Momentum penyerbuan pada tahun 1789 di tengah kebangkrutan Dinasti Bourbon -- tak lama setelah Raja Louis XVI berniat kembali menaikkan pajak.
Lalu, bagaimana reaksi sang raja?
Sejumlah sejarawan menemukan buku harian Louis XVI. Pada hari itu, 14 Juli 1789 ia tak menuliskan apapun. Mungkin suami Marie Antoinette itu terlalu lelah setelah berburu.
Saat Duc de Liancourt memberitahukan soal penyerbuan di Bastille, sang raja bertanya pada penasihatnya itu.
"Apakah ada pemberontakan," tanya dia.
"Bukan Yang Mulia, yang terjadi adalah revolusi," jawab sang penasihat, seperti dikutip dari Telegraph, Rabu (13/7/2016).
Hingga kini, peristiwa penyerbuan Bastille terus dirayakan sebagai 'La Fête nationale'.
Sejumlah peristiwa penting juga terjadi selama momentum itu.
Pada tahun 2000, badai matahari 'Bastille Day' terjadi, mengakibatkan a sirkuit satelit memendek dan beberapa radio padam.
Sementara, pada 2002, Presiden Prancis Jacques Chirac lolos dari upaya pembunuhan di tengah perayaan Bastille Day.