Pelaku Penusukan di Jepang Ingin Lenyapkan Penyandang Disabilitas

Pelaku bekerja di panti dari Desember 2012 hingga Februari lalu. Ia mengundurkan diri karena memiliki masalah kepribadian.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 26 Jul 2016, 16:35 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2016, 16:35 WIB
20160725-Pria Berpisau Serang Sarana Difabel di Jepang, 19 Tewas-Tokyo
Petugas kepolisian memblokade lokasi serangan penusukan sarana difabel Tsuki Yamayuri-en di Sagamihara, barat Tokyo, Selasa (26/7). 19 orang tewas dalam serangan yang dilakukan seorang pria dengan menggunakan pisau. (REUTERS/Issei Kato)

Liputan6.com, Sagamihara - Kota Sagamihara Prefektur Kanagawa adalah wilayah perumahan yang tenang dan nyaman. Di kawasan yang cukup elite itu, terdapat sebuah fasilitas khusus untuk para difabel milik pemerintah. Terdapat 149 penghuni panti yang berusia 19 hingga 75 tahun dengan kondisi disabilitas yang beragam.

Fasilitas bernama Tsukui Yamayuri En (Tsukuui Lily Garden) merupakan salah satu pusat untuk penyandang cacat yang tenang dan damai yang terletak 40 kilometer dari Tokyo. Namun, ketenangan berubah menjadi mimpi buruk pada Selasa 26 Juni 2016 pukul 02.10 waktu setempat. Saat itu, Satoshi Uematsu, mantan pegawai fasilitas masuk menerebos lewat jendela kaca yang pecah.

Di tasnya terdapat berbagai jenis pisau.

Niatnya cuma satu: melenyapkan para penghuni panti dari muka Bumi.

Dilansir dari The Guardian, Selasa (26/7/2016), Uematsu adalah mantan pekerja di fasilitas itu. Menurut Kepala Divisi Kesehatan Prefektur, Shinya Sakuma, pelaku berusia 26 tahun. Ia memasuki panti pukul 02.10 dengan memecahkan kaca jendela di lantai satu.

Satu persatu, pria itu membantai para disabilitas dengan pisau. 19 orang tewas dan merupakan pembunuhan massal terburuk di Jepang semenjak Perang Dunia II.

Tiga puluh menit kemudian, Uematsu dengan mobil datang ke kantor polisi dan mengatakan, "aku telah melakukan pembunuhan." Di tangannya terdapat pisau dapur dan pisau-pisau lainnya yang berlumuran darah.

Sakit Jiwa

Uematsu keluar dari fasilitas itu pada bulan Februari 2016 setelah bekerja dari Desember 2012. Tak lama sesudah mengundurkan diri karena 'masalah kepribadian'. Ia memberikan surat kepada majelis rendah parlemen Jepang untuk meminta pemerintah memberikan eutanasia kepada difabel.

"Tujuanku dalam dunia ini adalah jikalau ada kesulitan bagi para disabilitas dengan kondisi yang parah untuk bisa tinggal di rumah atau di fasilitas, mereka boleh di-eutanasia setelah pertimbangan keluarga dan saya mampu melakukannya (pembunuhan)." Demikian suratnya.

Atas suratnya itu, ia dirawat di rumah sakit jiwa pada 19 Februari karena dianggap mengkhawatirkan orang banyak. Tak lama kemudian, pada 2 Maret, ia dinyatakan sembuh.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan duka cita dan akan melakukan tindakan yang diperlukan atas tragedi itu. Sementara itu, Gubernur Kanagawa Yuji Kuroiwa meminta maaf dengan tulus dan berduka kepada keluarga. Ia bersumpah insiden ini tak akan terulang lagi pada masa yang akan datang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya