Liputan6.com, Jakarta - Sinyal eksekusi mati sudah menguat Kamis pagi, 28 Juli 2016, saat iring-iringan 17 ambulans yang mengangkut peti jenazah tiba di Dermaga Wijayapura untuk diseberangkan ke Pulau Nusakambangan-- Alcatraz Indonesia.
Pasukan eksekutor siap bertugas. Sekitar seribu aparat keamanan pun disiagakan. Area Nusakambangan dan sekitarnya disterilkan, keluarga 14 terpidana mati kasus narkoba ketar-ketir menanti saat eksekusi. Di tengah sorotan dan kritik dunia internasional, Indonesia tetap melaksanakan hukuman mati, atas nama penegakan hukum.
Namun, eksekusi mati yang dilaksanakan Jumat dinihari pukul 00.45 berlangsung di luar dugaan.
Pertama, soal cuaca. Untuk kali pertama sejak eksekusi mati trio Bom Bali pada 2008 yang menyita perhatian dunia, kondisi udara di Kota Cilacap, khususnya di Nusakambangan, tak pernah seburuk itu.
Hujan deras mengguyur, disertai angin kencang yang merobohkan tenda tempat eksekusi mati di di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan, Nusakambangan. Kala itu regu tembak dan para terpidana mati belum dibawa ke lokasi.
"Kejutan" yang lain, akhirnya hanya empat dari 14 terpidana mati yang dieksekusi.
Freddy Budiman dan tiga warga Nigeria:Â Seck Osmane, Humphrey Jefferson Ejike Eleweke alias Doctor, dan Michael Titus Igwen bin Echere dieksekusi mati pada pukul 00.45 Waktu Indonesia Barat.
Baca Juga
Ricky Gunawan, pengacara Humphrey, mengaku ia harus menanti kabar duka kliennya dalam gelap. Pertanyaan besar terbesit dalam benaknya, mengapa eksekusi tidak berjalan seperti yang direncanakan.
"Saya bisa mengatakan bahwa eksekusi dinihari tadi sungguh kacau," kata dia kepada AFP, seperti dikutip dari Channel News Asia, Jumat (29/7/2016).
"Tak ada informasi jelas yang disampaikan soal waktu eksekusi dan mengapa hanya empat yang dieksekusi? Apa yang terjadi pada 10 lainnya?" kata dia.
Ricky menambahkan, 10 dari 14 terpidana mati yang ada dalam daftar eksekusi mati berasal dari Afrika. Pada akhirnya dari empat yang dieksekusi, tiga di antaranya juga dari Benua Hitam.
"Mereka merasa jadi target pemerintah Indonesia, hanya karena berasal dari Nigeria, Afrika, dan bahwa pemerintah mereka tak melakukan apa pun untuk membantu," kata Ricky menirukan dugaan para terpidana mati. "Mereka merasa jadi target mudah untuk dieksekusi."
Advertisement
Di sisi lain, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmat menjelaskan Kejaksaan hanya mengeksekusi empat terpidana mati dengan berbagai pertimbangan kajian mendalam.
"Kajian kami dengan tim yang ada sementara ini empat dulu yang dieksekusi. Ada banyak pertimbangan yang harus diambil," ujar Noor di Dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah.
"Salah satu pertimbangan, yaitu perbuatan (empat terpidana mati yang dieksekusi), termasuk secara masif dalam mengedarkan narkoba," ucap Noor.
Freddy Budiman merupakan warga negara Indonesia (WNI) yang dipidana mati atas kasus impor 1,4 juta butir ekstasi.
Sementara itu, tiga terpidana lainnya yang telah dieksekusi mati--Michael Titus (34) warga Nigeria, dengan barang bukti 5.223 gram heroin;Â Humprey Ejike alias Doktor (40) warga Nigeria dengan barang bukti 300 gram heroin; dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34) warga Afrika Selatan dengan barang bukti 2,4 kg heroin.
Seruan Dunia
Seruan Dunia
Ini adalah kali ketiga eksekusi mati dilaksanakan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Tahun lalu, pemerintahan Jokowi, yang menyatakan perang terhadap narkoba, mengeksekusi 14 terpidana mati. Eksekusi kali itu menimbulkan kontroversi global khususnya di Australia. Di Benua Kangguru itu, dua warga negaranya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dieksekusi.
Eksekusi kali ini memang tak menarik perhatian media sedahsyat sebelumnya. Namun, keputusan pemerintah Indonesia memicu komentar dari Uni Eropa, Badan HAM PBB, Pemerintah Australia dan lembaga lain.
Beberapa jam sebelum pelaksanaan eksekusi mati, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Ban Ki-moon meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan eksekusi mati.
Agar pemerintah Indonesia menghentikan eksekusi sejumlah terpidana atas tuduhan kejahatan narkoba...", imbau Ban Ki-moon dalam sebuah pernyataan dari juru bicaranya seperti dikutip dari The Straits Times, Jumat (29/7/2016).
Selain itu, Sekjen PBB "juga mendesak Jokowi untuk mempertimbangkan mendeklarasikan moratorium penggunaan hukuman mati di Indonesia".
Sepucuk surat juga datang dari presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie yang menolak hukuman mati terhadap salah satu narapidana Zulfiqar Ali, asal Pakistan.
"Beliau menolak atas dasar, menurut beliau, bahwa hak prerogatif Tuhan itu mati, lahir, itu di tangan Allah. Itu yang Bapak percayai dan menulis surat itu," kata Direktur Eksekutif Habibie Center Ima Abdulrahim.
Advertisement