Kepala Lapan: Matikan Lampu 6 Agustus Malam, Lalu Tataplah Langit

Kepala Lapan menyebut, perlu ada kampanye langit gelap untuk kembali menikmati indahnya malam bertabur bintang.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 04 Agu 2016, 12:06 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2016, 12:06 WIB
Malam bertabur bintang di Hungaria. (tdjamaluddin.wordpress.com)
Malam bertabur bintang di Hungaria. (tdjamaluddin.wordpress.com)

Liputan6.com, Jakarta - Langit malam yang gelap (dark sky) saat ini menjadi pemandangan langka di banyak wilayah perkotaan dunia. Penyebabnya adalah polusi cahaya yang kian parah.

Polusi cahaya, alias hamburan cahaya lampu perkotaan, menyebabkan langit tampak terang, sehingga mengalahkan cahaya bintang.

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan, galaksi kita--yang memiliki banyak nama, Sungai Perak atau Gingga dalam bahasa Jepang, Jalur Susu atau Milky Way dalam bahasa Inggris, atau Selendangnya Bima--Bima Sakti dalam bahasa Indonesia--adalah gugusan ratusan miliaran bintang yang redup namun indah.

"Yang hanya bisa dilihat dari daerah yang jauh dari perkotaan. Polusi cahaya membuat mereka menghilang dari langit malam," kata Thomas Djamaluddin dalam akun Facebooknya, yang dikutip Liputan6.com, Kamis (4/8/2016).

Astronom terkemuka Indonesia itu menambahkan, rasi bintang terang pun banyak yang tak tampak lagi. "Hanya beberapa bintang yang sangat terang, seperti Antares di rasi Kalanjengking (Scorpio) dan Betelgeuse di rasi Orion, serta beberapa planet terang seperti Venus dan Jupiter, yang masih terlihat di beberapa kota," kata dia.

Untuk mengembalikan keindahan langit malam bertabur bintang dalam hidup kita, Thomas menambahkan, perlu ada sebuah gerakan. 

Ia dan Lapan menggagas kampanye langit gelap untuk kembali menikmati indahnya malam bertabur bintang.

Ada dua gagasan untuk mewujudkannya. Pertama, mengadakan kegiatan tahunan "Malam Langit Gelap" setiap 6 Agustus, yang bertepatan dengan Hari Keantariksaan.

Pemilihan tanggal 6 Agustus selain memperingati Hari Keantariksaan, juga terkait dengan musim kemarau pada bulan Agustus, sehingga berpeluang besar untuk mengamati langit yang cerah bertabur bintang kalau gangguan polusi cahaya diminimalkan.

"Caranya, pada malam itu semua lampu di luar ruangan, sedapat mungkin termasuk lampu jalan dimatikan. Cukup satu jam saja, pukul 20.00–21.00. Saat itu ketika langit mulai gelap total (karena matahari sudah jauh terbenam dan cahaya senja sudah menghilang) dan aktivitas di luar ruangan mulai berkurang, kita matikan semua lampu luar," ucap Thomas melalui tulisan di blog-nya.

Ilustrasi Andromeda dan Galaksi Bima Sakti di langit malam (NASA)

"Kita bersama-sama keluar ruangan untuk menyaksikan langit. Kalau kita berhasil meminimalisasi polusi cahaya selama satu jam, kita bisa melihat Galaksi Bima Saksi dengan ratusan miliar bintang membentang dari Utara ke Selatan," imbuh Kepala Lapan itu.

Selain itu, Thomas juga menuturkan bahwa bisa juga dilihat rasi Angsa (Cygnus) di langit Utara dengan Segitiga Musim Panas (Summer Triangle), tiga bintang terang di sekitar rasi Angsa: Vega, Deneb, dan Altair. Di langit Selatan pun terlihat rasi Layang-Layang atau Salib Selatan (Crux), yang sering digunakan sebagai penunjuk arah Selatan.

"Hampir di atas kepala kita saksikan rasi Kalajengking (Scorpio) dengan bintang terang Antares. Mematikan lampu luar selama satu jam, juga sekaligus mengkampanyekan hemat energi seperti Earth Hour," jelas Thomas.

Membuat Kawasan Bebas Polusi

Gagasan kedua, menurut Thomas, bisa menjadikan daerah tertentu sebagai kawasan bebas polusi cahaya yang biasa disebut Taman Langit Gelap (Dark Sky Park).

Lapan mengusulkan kawasan sekitar Observatorium Nasional yang akan dibangun di Kupang sebagai kawasan Taman Langit Gelap.

"Beberapa kawasan di Nusa Tenggara Timur sangat potensial, untuk dijadikan Taman Langit Gelap," ujar pria lulusan Kyoto University itu.

Kondisi cuaca yang kering, memungkinkan jumlah malam cerah paling banyak. Kawasan seperti ini bisa menjadi daya tarik turis untuk wisata astronomi yang menarik.

"Apalagi Indonesia yang berada di wilayah ekuator, memungkinkan kita mengamati langit Utara dan langit Selatan. Di Amerika, Jepang, dan Eropa pengamat astronomi lebih banyak mengamati langit Utara," papar dia.

Sejauh ini pengamat di Australia lebih banyak mengamati langit Selatan. Di Indonesia, kata Thomas, kita bisa menikmati bintang-bintang di langit Utara dan Selatan lebih leluasa.

Di kawasan Taman Langit Gelap, penggunaan lampu sangat dibatasi, hanya boleh untuk di dalam ruangan yang tidak memancar ke luar.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya