Liputan6.com, Minsk - Pasca-bencana Chernobyl yang terjadi sekitar 30 tahun lalu, Belarus kini membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertamanya. Tak sedikit pihak yang khawatir dengan hal itu, termasuk negara tetangga, Lithuania.
Seperti dilansir The Guardian, Rabu (10/8/2016) pembangunan PLTN itu telah meningkatkan kekhawatiran Lithuania. Ibu kotanya, Vilnius hanya berjarak 50 km dari situs PLTN. Isu keamanan menjadi sumber kekhawatiran. Apalagi, serangkaian kecelakaan dilaporkan terjadi di lokasi bernama Astravets itu.
Baca Juga
Stasiun TV Belsat Independent pada April lalu melaporkan, kerangka struktur gedung PLTN itu runtuh. Menurut pengawas, hal itu terjadi karena pekerja menuangkan terlalu banyak beton menyusul tuntutan agar pembangunan segera selesai.
Advertisement
Namun peristiwa itu disangkal sebagai sebuah kecelakaan. Dan akhirnya pada Mei lalu, pihak Kementerian Energi Belarus mengonfirmasi bahwa telah terjadi "insiden", meski demikian situasi dapat diatasi.
Pada Juli lalu, media lokal mengabarkan cangkang reaktor nuklir terjatuh ketika sedang dipindahkan. Seorang warga, Nikolai Ulasevich, yang merupakan anggota oposisi Partai Persatuan Sipil mengklaim, cangkang reaktor nuklir seberat 330 ton jatuh dari ketinggian 2 - 4 meter dalam persiapannya untuk dinstal.
Dua pekan kemudian, Kementerian Energi Belarus mengumumkan "keadaan darurat" di lokasi pembangunan situs itu. Menurut mereka terjadi insiden di fasilitas gudang sementara reaktor telah dipindahkan.
Perusahaan milik Rusia, Rosatom, yang merupakan kontraktor utama PLTN itu membantah terjadi kerusakan pada cangkang reaktor nuklir. Menurut mereka, seharusnya cangkang itu sudah terpasang sebagaimana telah direncanakan namun terkendala izin yang tertunda dari supervisor.
Meski pihak Rosatom menjamin keamanan, namun Wakil Menteri Energi Belarus, Mikhail Mikhadyuk menjelaskan, pemasangan cangkang reaktor nuklir tengah ditangguhkan demi menunggu pemeriksaan keamanan lebih lanjut. Sementara itu, komentar cukup keras datang dari Lithuania.
Menteri Luar Negeri Lithuania, Linas Linkevicius menegaskan sikap tidak transparan para pejabat Belarus tak dapat diterima.
"Insiden ini terjadi dari waktu ke waktu, kurangnya transparansi. Kita belajar bahwa biasanya kita akan menyesalinya saat sudah terlambat. Ini adalah insiden terakhir ketika sebuah reaktor nuklir dapat menimbulkan kerusakan yang sangat berbahaya," kata dia.
Presiden Belarus, Alexander Lukashenko, berinvestasi dalam pembangkit tenaga nuklir itu dengan harapan dapat membebaskan negaranya dari "cengkeraman" ketergantungan energi pada Rusia. Saat ini sekitar 90 persen gas Belarusia diimpor dari Negeri Beruang Merah.
Pembangunan PLTN di Astravets ditangani oleh perusahaan-perusahaan asal Rusia dan pembiayaannya melibatkan kedua negara. Setidaknya dana proyek tersebut diperkirakan mencapai US$ 5 hingga US$ 22 miliar.
Satu unik konstruksi disebut mulai dapat beroperasi pada 2018 mendatang. Dua unit disebut akan selesai pada 2020 sementara dua lainnya pada 2025.
Deja Vu Rusia
Kurang lebih 30 tahun lalu kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah terjadi di Chernobyl, sebuah kota tak berpenghuni di Ukraina utara, tepatnya di Oblast Kiev dekat dengan perbatasan Belarusia. Insiden itu menyebabkan seperempat wilayah Belarus terkontaminasi.
Lukashenko pun mengingatkan, dalam insiden mengerikan yang terjadi pada 1986 itu tak ada transparansi informasi yang diberikan sepanjang 10 hari pasca-ledakan awal.
Yury Varonezhtsau, seorang ahli fisika dan mantan wakil ketua parlemen mengatakan seolah ia mengalami deja vu terkait hal ini.
"Bagi saya, ini murni deja vu, seolah-olah saya melakukan perjalanan kembali dalam sebuah mesin waktu seperempat abad yang lalu ketika kami tengah menyelidiki penyebab bencana Chernobyl. Bedanya dulu itu adalah negara totaliter Uni Soviet sementara sekarang 'pelakunya' pemerintah Belarus yang demokratis," tutur Varonezhtsau.
Sejumlah kritikus mengatakan, pemerintah Belarus telah gagal melaksanakan studi dampak-lingkungan terhadap Astravets di mana PLTN itu akan menarik air untuk pendinginan reaktor dari Sungai Nevis. Sungai itu adalah pemasok air minum di Lithuania.
"Kami semua, benar-benar tidak puas dengan proses ini dan kami percaya bahwa ini bukan sekadar urusan bilateral, ini adalah isu regional dan kami akan berusaha menginternasionalisasinya sebanyak mungkin," tegas Menlu Lithuania, Linas Linkevicius.
Presiden Lithuania Dalia Grybauskaite mengatakan pada Juli lalu, pihaknya akan bekerja sama dengan masyarakat internasional untuk memblokir pengoperasian situs ini jika Belarus gagal menempuh langkah-langkah demi memastikan standar keamanan internasional.
Lithuania telah setuju untuk menutup fasilitas nuklir miliknya, Ignalina. Langkah itu merupakan bagian dari perjanjian aksesi 2004 dengan Uni Eropa.
Sementara itu Direktur Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Yukiya Amano menegaskan, organisasi yang dipimpinnya telah bekerja sama dengan Belarus dalam setiap aspek proyek PLTN ini dan bantuan akan terus ditawarkan.
"Dengan dua reaktor yang tengah dalam tahap pembangunan, Belarus adalah salah satu negara paling maju dari kalangan 'pendatang baru' di IAEA," imbuhnya.