Liputan6.com, Baghdad - Kawasan Timur Tengah saat ini dilaporkan tengah menghadapi gelombang panas terekstrem yang pernah terjadi. Para ahli bahkan memperingatkan peningkatan suhu tersebut dapat mengancam kelangsungan hidup manusia.
Seperti dikutip dari News.com.au, Senin (15/8/2016), selama satu bulan terakhir, suhu di Kuwait dan Irak melonjak menjadi 54 derajat Celsius. Sementara di Baghdad, suhu sehari-hari selama dua bulan terakhir adalah 43 derajat Celsius dan dilaporkan terus meningkat.
Di Uni Emirat Arab dan Iran, suhu panas tercatat 60 derajat Celsius. Ini yang tertinggi sepanjang sejarah.
Advertisement
"Ketika keluar rumah, rasanya seperti berjalan ke dalam api. Seperti semua bagian di tubuh Anda terbakar, kulit, mata, hidung...," ujar seorang mahasiswa asal Basra, Irak, Zainab Guman, kepada The Washington Post.
Kondisi ini sebenarnya telah diperingatkan oleh para ilmuwan. Tahun lalu mereka merilis sebuah studi yang meramalkan bahwa gelombang panas ekstrem yang melebihi daya tahan manusia akan terjadi jika tidak ada yang dilakukan terkait dengan perubahan iklim.
Dalam studinya, mereka juga meramalkan bahwa gelombang panas ekstrem akan terjadi jauh lebih intens di planet ini setelah 2070. Gejalanya sudah dapat dirasakan beberapa waktu belakangan ini.
Menurut Profesor Elfatih Eltahir, salah seorang penulis studi tersebut, gelombang panas yang tengah terjadi saat ini menjadi alasan kuat bahwa planet ini perlu mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Kami berharap informasi seperti ini dapat membantu negara-negara di kawasan untuk memastikan minat mereka terhadap isu pemanasan global," ujar Profesor Eltahir.
"Mereka memiliki kepentingan vital dalam mendukung langkah-langkah yang akan membantu mengurangi CO2 di masa depan," imbuhnya.
Menurut laporan PBB, populasi gabungan dari 22 negara-negara Arab diperkirakan akan bertumbuh dari 400 juta menjadi sekitar 600 juta pada 2050. Sementara itu pada saat yang bersamaan, populasi keseluruhan di dunia akan mencapai 9,7 miliar.
Meski isu pemanasan global semakin gencar digaungkan dalam beberapa tahun terakhir, banyak pihak yang masih meragukan keabsahan terkait studi tersebut. Namun para ahli tak ragu mengatakan bahwa gelombang panas bisa berakibat fatal pada tingkat massal.
Sarah Perkins-Kirkpatrick, seorang peneliti di Pusat Penelitian Perubahan Iklim UNSW mengatakan bahwa kebanyakan orang tidak menyadari bahwa gelombang panas telah membunuh lebih banyak orang dibanding bencana alam mana pun. Saking banyaknya sehingga dijuluki "silent killer".
Peneliti itu juga menjelaskan bahwa suhu panas yang terjadi di Timur Tengah bukanlah sesuatu yang mengejutkan mengingat kawasan itu tercatat sejarah pernah mengalami situasi serupa. Namun faktanya, belakangan ini kondisi tersebut intens terjadi.
Bencana mengerikan bagi umat manusia
Menurut Sarah, ternyata yang paling terkena dampak dari gelombang panas ini adalah kalangan menengah ke bawah, yakni orang-orang yang bekerja di luar ruangan dan tidak memiliki akses terhadap pendingin ruangan.
"Orang-orang di Timur Tengah terbiasa dengan panas. Ini bagian dari kebudayaan. Mereka memiliki pengalaman dengan suhu tinggi sebelumnya. Namun jika ini semakin intens, maka orang-orang dari kalangan tertentu akan semakin menderita," jelas Sarah.
Sebelumnya, pada awal tahun ini suhu di India pun melonjak ke angka 51 derajat Celsius, yang tertinggi dalam sejarah negara itu. Dampaknya mematikan, di mana terdapat ratusan orang tewas akibat kelaparan karena tanaman tak dapat tumbuh.
Media lokal melaporkan, peristiwa ini memicu tingginya tingkat bunuh diri di kalangan petani. Sebagian besar dari mereka terlilit hutang sehingga yang sudah miskin menjadi lebih miskin.
Pakistan juga dihadapkan pada situasi yang kurang lebih sama tahun lalu. Suhu sejumlah kawasan di negara itu mencapai 45 derajat Celsius dan menurut otoritas lokal, gelombang panas telah menewaskan 700 orang.
Sejauh ini, belum ada laporan resmi korban tewas akibat gelombang panas di Irak. Namun rasanya akan sulit mendapat data statistik terkait hal ini mengingat di negara itu suhu panas tidak terdaftar sebagai penyebab resmi kematian.
Selain kematian, gelombang panas juga memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian sebuah negara. Seorang ekonom Irak mengatakan, produk domestik bruto negeri itu telah turun 10-20 persen akibat cuaca ekstrem.
"Ada hubungan yang sama antara panas dan perekonomian negara di Australia. Transportasi publik berjalan lambat, orang-orang terlambat bekerja atau memilih tidak keluar rumah sama sekali. Sementara bagi petani, panen gagal. Jika pertanian rusak, ini akan mempengaruhi semuanya. Orang-orang akan kehilangan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi," ujar Sarah Perkins-Kirkpatrick.
Ia juga memperingatkan bahwa dari waktu ke waktu, gelombang panas dapat menyebabkan migrasi massal. Ini akan berimplikasi terhadap seluruh dunia. Sarah mengambil contoh warga Fiji yang terpaksa pindah karena rumah mereka terancam oleh naiknya permukaan air laut.
Peneliti itu pun menegaskan ada satu hal yang cukup sederhana yang dapat dilakukan pemerintah, yakni membantu masyarakat lebih adaptif terhadap perubahan. Sementara di sisi lain, otoritas berwenang di seluruh dunia harus bergerak cepat mengurangi emisi karbon.