Liputan6.com, Guantanamo Bay - Hambali atau Encep Nurjaman alias Riduan Ismuddin adalah tokoh pemimpin Jemaah Islamiah tertinggi di Asia Tenggara. Ia adalah sosok 'otak' bom bali pada 2002. Saat itu 202 nyawa melayang. Kepemimpinannya di JI juga miliki hubungan dengan Al Qaeda.
Ia ditangkap oleh CIA di Ayutthaya, Thailand pada Agustus 2003. Dan selama 3 tahun kemudian, agen mata-mata AS itu menyembunyikan keberadaan dirinya. CIA menyebut ia ditahan di 'situs hitam' dan pada 4 September 2006 ia ditransfer ke penjara Guantanamo, Kuba.
Baca Juga
Semenjak penangkapan dan penahannya, pemerintah RI meminta AS untuk memberi akses menemui Hambali. Tapi tidak pernah terlaksana hingga saat ini. Pun Hambali, ditangkap tanpa disidangkan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Advertisement
Pada Kamis 25 Agustus lalu, pertama kalinya setelah 13 tahun, pria asal Bogor itu tampil di muka publik di persidangan di tahanan Guantanamo. Sidang itu menentukan apakah ia diperbolehkan meninggalkan sel tahanan di penjara Pentagon Guantanamo atau tidak.
Dalam persidangan selama 10 menit, Hambali wajib mendengarkan laporan peninjauan periodik. Selama itu, pria kelahiran Sukabumi itu dilarang berbicara.
Hambali tak menggunakan kacamata gagang tanduk warna gelap seperti khasnya. Berat badannya menyusut dibanding saat kali pertama ia ditangkap.
Matanya lebih cekung dan jenggotnya panjang awut-awutan. Selama 10 menit tanpa ekspresi ia mendengar apa kata hakim. Saat itu pertama kalinya, wartawan di AS melihat sosoknya. Demikian seperti dilansir dari Miami Herald, Selasa (30/8/2016).
Salah seorang anggota militer AS membantu Hambali agar ia dibebaskan. Dalam pernyataannya, Hambali dideskripsikan sebagai sosok yang hormat kepada orang lain, dan bersemangat.
Militer AS yang tak bernama itu menyebut Hambali telah belajar bahasa Inggris. Ia semangat mengikuti program pelajaran dari lembaga Rosetta Stone.
"Saat program itu dimulai, Hambali menunjukkan semangatnya untuk mempelajari bahasa Inggris," kata petugas itu tentang kehidupan Hambali di lapas Camp 7 Guantanamo.
"Hambali juga mengeluarkan pernyataan bahwa ia tak lagi memiliki keinginan jahat terhadap AS," lanjut petugas itu.
"Ia percaya Amerika Serikat memiliki keberagaman dan demokrasi yang jauh lebih baik dari pada kediktaktoran. Ia tak menginginkan apapun selain keberlanjutan hidupnya dengan damai."
Namun menurut pengujian dari intelijen AS -- yang juga datang di pengadilan itu-- mengatakan Hambali masih menjadi ancaman keamanan. Tim menyebutnya, "Hambali mampu mengumpulkan kekuatan ekstremis dan kebenciannya terhadap AS belum selesai. Ia akan mencari jalan untuk terhubung kembali dengan jaringannya di Indonesia dan Malaysia, untuk membuat kelompok dan pengikut baru jika ia dibebaskan dari Guantanamo."
Kini, tinggal 61 tahanan di Guantanamo.
Hambali sama sekali tidak disidangkan setelah 13 tahun tertangkap. Selama di Guantanamo, pria berusia 60 tahun itu tidak pernah melakukan aksi kriminal apapun. Padahal tahun 2009 hingga 2010, gugus tugas pemerintahan Obama telah merekomendasikan untuk sidang.
Usai sidang, panel hakim akan memutuskan apakah Hambali akan dibebaskan dengan syarat tetap dipantau atau menjadi tahanan selamanya.
Data intelijen menduga, Hambali tampaknya mampu mengumpulkan kekuatan dengan pengaruh dan kharismanya selama ia ditahan di Camp 7.
"Kami mendengar ia mempromosikan jihad kekerasan ketika memimpin menjadi imam salat dan ceramah," ungkap petugas intelijen.
Butuh 30 hari atau lebih untuk mengetahui hasil panel. Anggota hakim diwakili oleh 6 agen keamanan nasional.
Sementara itu, di Indonesia, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Arrmanatha Nasir mengatakan AS tak mungkin mengembalikan Hambali ke Indonesia. "Terkait Hambali, untuk AS sendiri Hambali adalah termasuk ancaman mereka," ucap Tata di kantor Kemlu, pada Maret lalu.
"Kalau enggak salah ada 91 tahanan di sana dan 17 di antaranya ancaman tinggi. Hambali ancaman tinggi itu," sambung dia.
Tata menambahkan, akibat alasan tersebut, maka diyakini jika Guantanamo jadi ditutup maka AS tak mungkin membawanya kembali ke Indonesia. "Kita belum tahu gimana ke depannya, tapi kalau ancaman tinggi itu kemungkinan besar akan tetap ditahan di sana," papar Tata.