Kala Bush 'Terjebak' Teror 9/11 dan di Ambang Perang Nuklir...

Situasi di Air Force One panik bukan kepalang. Pesawat kepresidenan diduga kuat jadi target teroris 9/11. Lalu, telepon dari Rusia masuk...

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 12 Sep 2016, 20:42 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2016, 20:42 WIB
Situasi genting melanda Air Forvce One saat Teror 9/11 terjadi
Situasi genting melanda Air Forvce One saat Teror 9/11 terjadi (George W. Bush Presidential Library and Museum)

Liputan6.com, Washington DC - Meski terkejut bukan kepalang, Presiden Amerika Serikat George W Bush berusaha tetap tenang setelah kepala staf Gedung Putih, Andy Card menyampaikan kabar buruk.

"Satu lagi pesawat ditabrakkan ke menara kedua (World Trade Center). Amerika sedang diserang," itu yang dibisikkan ke telinganya.

Tabrakan kedua menyingkirkan anggapan bahwa kejadian pesawat pertama menabrak WTC adalah sebuah kecelakaan.

"Saya mengambil beberapa langkah mundur agar Presiden tak bisa bertanya lagi, saya senang beliau tidak menunjukkan rasa takut," cerita Card kepada majalah Politico seperti dikutip dari Daily Mail, Senin (12/9/2016).

Setelahnya, Bush terus duduk selama tujuh menit, masih sempat menyimak pembacaan buku 'The Pet Goat' oleh murid-murid kelas dua sekolah dasar Emma E. Booker Elementary School di Sarasota, Florida.

Setelah melontarkan pujian untuk kemampuan membaca para murid, Bush kemudian dievakuasi dari sekolah yang ia kunjungi pada pukul 09.35.

Terkuak, Momen Menegangkan di Air Force One Saat Kabar 9/11 Tiba (White House/Herald Tribun)

Sementara itu, panik melanda di pesawat kepresidenan Amerika Serikat. Ada sejumlah protokol tertulis bagaimana menghadapi serangan nuklir, serangan kimia, namun tak ada menyoal perkara serangan teroris berupa pembajakan pesawat dan menggunakannya untuk menghantam target.

Dan Air Force One kala itu diperkirakan sebagai salah satu target. Pesan pun diterima pesawat kepresidenan AS itu. "Angel is next," demikian bunyinya. Itu berarti kapal terbang tersebut terancam.

Angel adalah kode rahasia untuk Air Force One kala itu.

Untungnya tak ada insiden berarti saat Bush dilarikan ke Air Force One dengan pengawalan ketat. Namun, setelahnya, adu argumen terjadi, apakah Bush akan kembali ke Washington DC atau dibawa ke tempat lain demi menyelamatkan sang presiden.

Saat itu kondisi benar-benar tak terkendali. Komunikasi canggih seperti saat ini belum ada, saluran televisi di sana pun tiba-tiba tak bisa diakses secara baik.

Kemudian Bush mengambil keputusan. Ia memerintahkan untuk kembali ke Washington DC.

Situasi pun semakin sulit. Sebab, Card ingat bahwa bahan bakar di Air Force One hanya cukup untuk delapan jam terbang.

Kondisi makin ruwet setelah kabar markas Departemen Pertahanan AS di Pentagon diserang. Apalagi, tiba-tiba Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld tak bisa dihubungi.

Keputusan Bush untuk kembali ke ibu kota pun mulai dipertanyakan beberapa staf dekatnya termasuk salah satu penasihat senior Bush, Karl Rove. "Kami lepas landas dan seperti berada di roller coaster," sebutnya.

Secret Service pun meminta pesawat didaratkan ke Pangkalan Udara Barksdale di Louisiana.

Suasana tegang begitu terasa di udara. Komunikasi dengan pihak darat untuk mengetahui keadaan, juga tidak stabil.

Parahnya, ada kabar mengatakan terdapat 6 pesawat tak dikenal di udara AS, mereka berpotensi bisa menembakkan rudal ke pesawat kepresidenan itu.

Untuk kali pertamanya dalam sejarah, kala itu, pasukan bersenjata dikerahkan agar awak pers di kabin tak bisa mendekati sang presiden.

Dan, telepon dari Presiden Rusia, Vladimir Putin bikin suasana lebih teruk...

Di Ambang Perang Nuklir...

Awalnya, Presiden kedua dari Dinasti Bush pun direncanakan untuk diamankan di wilayah Camp David.

Namun, rencana tersebut gagal setelah pesawat komersial United Airlines Penerbangan 93 dikabarkan jatuh dekat tempat peristirahatan Presiden Amerika Serikat di luar Washington DC itu. Kapal terbang yang dibajak teroris itu diyakini mengarah ke Gedung Putih atau gedung parlemen Capitol.

Pada saat itu, Bush mulai terlihat cemas. Sebabnya, keluarganya sama sekali tidak bisa dihubungi. Untuk menonton televisi dari atas udara juga tak bisa dilakukan karena faktor sinyal yang buruk.

Melihat kemungkinan Air Force One jadi sasaran, maka dua pesawat tempur F11 segera dikerahkan dekat pesawat kepresidenan.

Setelah pesawat tempur dikerahkan, para penasihat Bush memutuskan untuk terbang dan mendarat di Louisiana untuk mengisi bahan bakar.

Terungkap, 16 Ekspresi George Bush Saat Kejadian 9/11 (Eric Draper/CNN)

Yang tak diketahui banyak orang, saat Al Qaeda menyebar teror di New York dan Washington DC, sekitar tiga lusin hulu ledak nuklir dimuat ke dalam jet tempur Angkatan Udara AS atau US Air Force di tiga pangkalan udara di North Dakota, Missouri, dan Barksdale -- dalam rangka simulasi.

Menhan Donald Rumsfeld telah meningkatkan status kondisi kesiapan pertahanan atau defense readiness condition (DEFCON) ke tingkat 3 atau kesiapan pasukan ditingkatkan melebihi kesiapan normal.

Jika status DEFCON dinaikkan ke level dua, itu berarti tahap menjelang perang nuklir. Meski hulu ledak nuklir segera dibongkar setelah menara WTC dihantam pesawat yang dikendalikan teroris, naiknya status menerbitkan pertanyaan dari pihak Rusia, yang berselisih dengan AS soal simulasi nuklir. Presiden Vladimir Putin pun menelepon.

Selama 30 menit, Putin menunggu Bush untuk merespons. Namun, sinyal dalam Air Force One demikian buruk hingga komunikasi tak bisa dilakukan.

Bush tak bisa menjelaskan pada Putin bahwa status DEFCON 3 bukan awal untuk perang nuklir. Pemimpin AS terjebak dua hal kala itu: negaranya yang diserang teroris dan nyaris di ambang perang nuklir.

Akhirnya, Condolezza Rice yang saat itu menduduki jabatan Penasihat Keamanan AS -- yang fasih Bahasa Rusia -- mengambil alih komunikasi untuk berbicara dengan Putin.

Ketika Rice berhasil berbicara dengan Putin, menjelaskan duduk persoalan, Air Force One kembali mengudara menuju ke Nebraska. Bush akhirnya bisa mengabari keluarganya bahwa ia masih dalam kondisi selamat.

Usai menelpon sang istri, diceritakan Juru Foto Gedung Putih, Ellen Eckret, Bush menyampaikan pernyataan mengejutkan.

"Dia mengatakan, dengar dan jangan berbicara dengan yang lain soal ini, saat ini satu-satunya pesawat yang berada di udara, mungkin ada tanda 'X' besar di ekor pesawat ini," ucap Eckret menirukan ucapan Bush.

Air Force One kala itu menjadi tempat paling aman sekalius paling berbahaya di tengah situasi teror.

"Itu sangat menyeramkan, saya segera ke kamar mandi dan menulis surat ke keluarga, kakak beradik saya enam orang dan kedua orang tua saya," papar Eckret.

Untungnya, semua pemikiran buruk yang ada di benak Bush dan beberapa stafnya sama sekali tidak terwujud. Pesawat kemudian berhasil mendarat di Nebraska.

Bush lalu kembali ke Washington DC menaiki helikopter yang melayang zig-zag demi menghindari serangan roket.

Pengalaman ini, kata Eckret, memunculkan kekaguman tersendiri terhadap Bush. Meski diliputi rasa cemas, sang pemimpin punya kepercayaan diri yang dapat menyingkirkan perasaan itu.

Perasaan serupa juga disampaikan Juru Bicara Gedung Putih, Ari Fleischer. Apalagi, saat turun dari heli Bush terlihat begitu berapi-api untuk menyatakan perang terhadap terorisme.

"Keluar dari heli, Bush memberi pandangan jelas kepada Pentagon, ia memberi tahu semua orang, gedung tergagah dunia telah terbakar, kita akan menghadapi perang di Abad ke-21," papar Fleischer.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya