Bom Barrel Hantam Rumah Sakit di Aleppo, 2 Pasien Tewas

Serangan udara yang dilancarkan Rusia dan Suriah di timur Aleppo menyebabkan sebuah rumah sakit besar berhenti beroperasi dan 2 orang tewas.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 02 Okt 2016, 11:48 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2016, 11:48 WIB
Derita Aleppo Setelah Dibom, 1,75 Juta Warga Hidup Tanpa Air
Derita Aleppo Setelah Dibom, 1,75 Juta Warga Hidup Tanpa Air (Reuters)

Liputan6.com, Damaskus - Serangan udara yang dilancarkan Rusia dan Suriah di bagian timur Kota Aleppo menyebabkan dua pasien rumah sakit tewas.

Tak hanya itu, serangan tersebut juga memaksa penutupan sebuah rumah sakit besar. Menurut The Syrian American Medical Society, rumah sakit itu dihantam bom barrel.

Peristiwa pengeboman itu tepatnya terjadi pada Sabtu 1 Oktober waktu setempat di sebuah rumah sakit utama yang menangani pasien trauma, M10. Rumah sakit tersebut dibom sebanyak tiga kali.

"Rumah sakit saat ini tak beroperasi. Terdapat kerusakan parah pada dinding, infrastruktur, peralatan dan generator. Kini tak ada lagi penjaga atau staf yang tersisa. Benar-benar gelap total," ujar seorang radiologis, Mohammad Abu Rajab kepada Reuters dan dikutip BBC.

Manajer rumah sakit Abu Rajan mengatakan bahwa 10 pasien terluka dalam serangan bom barrel dan bom klorin yang dijatuhkan dari helikopter. Sementara sejumlah pasien lainnya telah dipindahkan ke fasilitas alternatif.

Juru bicara Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengutuk serangan tersebut. Ia menyebutnya "sama sekali mengabaikan" nasib petugas medis dan pasien.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Marc Ayrault juga mengutuk pengeboman. Ia menegaskan penyerangan terhadap fasilitas medis merupakan kejahatan perang dan pelaku harus dimintai pertanggungjawaban.

Laporan lain menyebutkan bahwa pasukan Suriah yang didukung Rusia juga melancarkan serangan terhadap sebuah Kota Tua bersejarah. Bentrokan antara pihak pro-pemerintah dan pemberontak pun dikabarkan terjadi di sejumlah titik.

Dikutip dari BBC, Minggu (2/10/2016) Rusia dan Suriah memulai kembali serangan di timur Kota Aleppo, sebuah kawasan yang dikuasai pasukan pemberontak pada 19 September pasca-gagalnya gencatan senjata.

Jumlah korban tewas yang terus bertambah mendorong terjadinya protes internasional. Di sisi lain, AS menuding Rusia telah mendorong pemberontak moderat menjadi kelompok jihad bersenjata.

Sebagai kota pusat komersial dan perdagangan, Aleppo telah terbagi dua sejak 2012. Wilayah timur dikuasai pemberontak sementara Barat dikendalikan oleh pasukan pemerintah.

PBB memuat dalam laporannya setidaknya, 400 warga sipil di Aleppo termasuk di antaranya anak-anak terbunuh akibat serangan udara yang diduga dilancarkan oleh Suriah dan Rusia.

Perang Kata-kata

Pasukan Suriah mengklaim ini serangan dilancarkan pihak pemberontak. Namun hal ini langsung dibantah.

"Mereka menembaki Kota Tua setelah gagal mendapat kemajuan. Sejumlah pasukan di pihak mereka tewas," ujar Abu Hamam dari kelompok Failaq al-Sham.

Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, sebuah kelompok pemantau yang berbasis di Inggris, juga melaporkan serangan bom barrel dan jet juga terjadi di daerah Ghouta di luar Damaskus pada Sabtu 1 Oktober waktu setempat.

Washington dan Moskow, dua negara yang memainkan peran penting dalam perang saudara di Suriah hingga saat ini terus masih terus melakukan perang kata-kata. AS menolak tuduhan Rusia bahwa Negeri Paman Sam melindungi kelompok anti-pemerintah yang berusaha menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov mengatakan, AS melanggar perjanjian untuk memisahkan Jabhat Fateh al-Sham (sebelumnya dikenal sebagai al-Nusra) dan sejumlah kelompok ekstremis lainnya dari pemberontak yang lebih moderat. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Mark Toner menyebut tudingan Rusia itu "tak masuk akal".

Menurut Toner, AS tidak menargetkan al-Nusra selama berbulan-bulan karena mereka bercampur dengan kelompok lain dan juga warga sipil.

Setidaknya 250.000 orang dilaporkan tewas sejak perang dimulai pada Maret 2011. Namun kelompok pemantau mengestimasikan jumlah mencapai sekitar 430.000 jiwa.

"Lebih dari 4,8 juta orang telah melarikan diri ke luar negeri dan diperkirakan 6,5 juta lainnya telah menjadi pengungsi dalam negeri," sebut laporan PBB.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya