Liputan6.com, Tokyo - Solo Nishikawa tutup usia pada 18 September 2016, dua hari kemudian menyusul Nobuo Yamaki. Hidup mereka berakhir pada usia 88 tahun. Keduanya adalah pasien Rumah Sakit Oguchi, Yokohama, Jepang, dirawat di lantai yang sama.
Meski tutup usia saat menjalani perawatan, mereka meninggal dunia secara tak wajar. Hasil otopsi menunjukkan terdapat racun dalam tubuh mereka.
Awalnya, penyidikan hanya fokus pada kasus kematian Nishikawa dan Yamaki. Namun ternyata ada 46 pasien lain yang juga meninggal saat dirawat di lantai yang sama di rumah sakit tersebut, sejak Juli 2016.
Advertisement
Seperti dikutip dari The Guardian, Senin (3/10/2016) hasil investigasi menemukan sebuah lubang kecil pada infus yang diberikan kepada salah satu dari mereka. Cairan infus diduga telah dicampur dengan disinfektan.
Pekan lalu, staf rumah sakit menemukan bekas tusukan pada 10 dari 50 botol infus yang belum terpakai dan disimpan di dekat ruang suster di lantai yang sama. Meski demikian, hingga kini polisi belum berhasil mengidentifikasi tersangka atau motif dari tindakannya.
"Dua kasus kematian belum lama ini kemungkinan disebabkan oleh seseorang dengan keahlian medis yang memiliki akses ke rumah sakit," sebut media Jepang, Kyodo mengutip sumber yang dekat dengan proses penyidikan.
Yamaki dan Nishikawa tewas selama libur umum yang berlangsung tiga hari pada pertengahan September lalu. Ketika itu rumah sakit yang berkapasitas 85 tempat tidur tersebut tengah minim kehadiran staf.
Namun pihak rumah sakit menegaskan bahwa pintu masuk terkunci dan penjaga keamanan bertugas sepanjang malam.
Media lokal melaporkan, staf rumah sakit lambat untuk mengetahui penyebab kematian karena mereka menangani banyak pasien lanjut usia dan menderita penyakit parah. Dugaan bahwa penyebab kematian 'luar biasa' akibat pneumonia atau infeksi yang didapat dari rumah sakit lain telah dikesampingkan.
Sementara itu, pihak kepolisian mengaku bahwa tidak mungkin mereka menentukan satu per satu penyebab kematian korban. Karena rata-rata jenazah telah dikremasi.
Penyelidikan ini terjadi dua bulan setelah insiden penusukan di fasilitas penyandang cacat yang dilakukan oleh Satoshi Uematsu. Tragedi pembunuhan massal yang disebut terburuk pasca-Perang Dunia II itu menewaskan 27 orang termasuk di antaranya pasien dan staf.
Uematsu (26) merupakan mantan karyawan di fasilitas penyandang cacat itu yang berlokasi di Kota Sagamihara Prefektur Kanagawa itu. Sebelumnya, ia sempat menulis surat kepada ketua majelis rendah parlemen Jepang agar pemerintah mengeluarkan izin untuk menyuntik mati penyandang cacat.
Setelah berhasil ditangkap, kepada polisi ia mengatakan, "Akan lebih baik jika orang-orang cacat lenyap".