Soal Isu Kesetaraan Gender, AS Kalah dari Aljazair

Mengejutkan, AS sebagai kekuatan utama ekonomi dunia berada di bawah Kazakhstan dan Aljazair dalam isu kesetaraan gender.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 12 Okt 2016, 08:00 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2016, 08:00 WIB
Manfaat Feminisme di Media Sosial
Masih panjang perjuangan kita untuk menjadi masyarakat bebas kesenjangan antar gender. Tapi setidaknya kita sudah punya media sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat (AS), kekuatan ekonomi terbesar di dunia, berada di bawah Kazakhstan dan Aljazair untuk urusan kesetaraan gender. Sementara Nigeria menduduki peringkat paling buncit.

Indonesia diketahui menempati posisi ke-73. Tingkat keterwakilan perempuan di parlemen RI cukup tinggi. Namun di sisi lain, isu perkawinan anak dan perempuan yang tak menyelesaikan sekolah setingkat SMA juga menonjol. 

Pernyataan ini merujuk pada laporan Save the Children tentang indeks kesempatan bagi perempuan di 144 negara. Dirilisnya data tersebut berkaitan dengan perayaan Hari Gadis Internasional atau International Day of Girl yang jatuh setiap 11 Oktober.

Seperti dilansir The Guardian, Selasa (11/10/2016), AS menduduki peringkat ke-32 menyusul rendahnya representasi perempuan di parlemen, tingginya tingkat kehamilan pada remaja, dan kematian pada ibu. Pada 2015, setidaknya 14 wanita di AS meninggal per 100 ribu kelahiran. Jumlah ini sama dengan yang terdapat di Uruguay dan Lebanon.

Kepala pembangunan inklusif Save the Children, Lisa Wise mengatakan, rendahnya posisi AS sungguh mengejutkan. Namun di sisi lain ia juga tak menduga bahwa isu kesetaraan gender di negara-negara berkembang bukan sesuatu yang asing.

Chad, Republik Afrika Tengah, Mali, dan Somalia diketahui berada pada peringkat terendah dalam indeks dari 144 negara. Menurut Wise, adalah sebuah kebetulan bahwa urutan terbawah dihuni oleh 20 negara-negara termiskin di dunia.

Laporan Save the Children juga menunjukkan kesenjangan antara pendapatan rumah tangga dengan hak-hak perempuan.

"Negara-negara (di peringkat terendah) ini memiliki proporsi gadis-gadis miskin yang tinggi. Anda yang telah berumah tangga dipaksa membuat keputusan yang sangat sulit. Ada campuran 'beracun' antara kemiskinan pendapatan dan seluruh indikator," ujar Wise.

Lantas, negara mana yang paling mendukung perkembangan perempuan? Swedia. Berturut-turut di urutan berikutnya adalah Finlandia, Norwegia, Belanda, Belgia, Denmark, Slovenia, Portugal, dan Swiss. Sementara Inggris berada pada urutan ke-15.

Bagi Nigeria yang bertengger pada posisi buncit, isu kesetaraan gender bergumul dengan sejumlah persoalan lainnya mulai dari kekeringan, pemberontakan, dan krisis pengungsi. Negara paling maju dalam indeks pembangunan manusia PBB ini memiliki angka pernikahan anak tertinggi di dunia.

Yang menarik, sejumlah negara miskin menantang tren, dengan menunjukkan perkembangan yang relatif baik. Sebut saja Rwanda--menduduki posisi ke-49 dalam indeks--di mana negara itu memiliki proporsi keterwakilan perempuan di parlemen yang tertinggi di dunia.

Setidaknya 64 persen anggota parlemen Rwanda adalah perempuan. Jika dilihat secara global, hanya 23 persen kursi parlemen diduduki oleh kaum hawa.

Ada pula negara-negara yang sama sekali tidak memiliki anggota parlemen perempuan. Mereka adalah Qatar dan Vanuatu.

Meski menduduki urutan ke-85, Nepal yang tergolong negara berpendapatan rendah memiliki 'lingkungan' yang jauh lebih baik bagi perkembangan perempuan. Karena angka perempuan yang menyelesaikan sekolah setingkat SMA sebesar 86 persen, setara dengan Spanyol.

Nepal juga memiliki anggaran khusus bagi perempuan, anak-anak, dan mereka yang berasal dari kasta terendah. Pemerintah juga melakukan tindakan afirmatif untuk meningkatkan jumlah guru perempuan. Pada Maret lalu, negara itu telah meluncurkan strategi untuk mengakhiri pernikahan anak di bawah umur.

Para gadis dianggap terlalu sering dipaksa menanggung beban kemiskinan.

"Mereka berhenti sekolah di tengah ketidakpastian ekonomi, dipaksa bekerja atau menikah dini. Banyak pengantin perempuan melahirkan sebelum tubuh mereka siap. Mereka menghadapi komplikasi kesehatan dan seringkali mendapat kekerasan serta pelecehan," ujar pemimpin kampanye internasional Plan International Inggris, Danny Vannucchi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya