Liputan6.com, Jakarta - Tak dapat disangkal jika ilmu pengetahuan memberikan kontribusi besar bagi peradaban manusia. Sadar akan hal itu, banyak negara maju berlomba untuk terus berinovasi menciptakan hal-hal baru demi menyejahterakan masyarakatnya.
Ilmuwan merupakan sosok yang tak dapat dipisahkan jika kita berbicara soal inovasi. Negara maju seperti Amerika Serikat memiliki 5.000 peneliti per 1 juta penduduk, sedangkan menurut data LIPI jumlah peneliti di Indonesia saat ini hanya 90 per satu juta penduduk.
Baca Juga
Tidak sampai di situ, jika dilihat lebih dalam kesenjangan gender di dunia sains juga masih cukup tinggi. Di Indonesia sendiri, jumlah ilmuwan perempuan baru mencapai 30 persen. Padahal baik perempuan maupun laki-laki seharusnya memiliki kesempatan untuk berkarir di segala bidang, termasuk menjadi peneliti.
Advertisement
Sejumlah upaya pun dilakukan oleh pemerintah maupun swasta untuk menambah jumlah perempuan peneliti, salah satunya adalah dengan memberikan pendanaan dalam riset yang mereka lakukan.
Bekerjasama dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU Kemdikbud), L’Oréal Indonesia kembali menganugerahkan penghargaan National Fellowship Awards For Women in Science 2016 kepada empat orang ilmuwan perempuan.
Dalam acara yang diadakan di Gedung A Komplek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 3 November 2016, Ketua Harian KNIU Kemdikbud Arief Rachman menyebut bahwa ilmuwan perempuan sudah terlalu lama terabaikan dan tidak menjadi sosok yang dipertimbangkan.
"Kalau ada perempuan yang ingin menjadi peneliti, orangtuanya banyak yang masih mempertimbangkan dengan berat hati," ujar Arief Rachman. Ia juga menambahkan, semua pihak perlu berjuang bersama-sama, untuk meningkatkan sorotan bagi para ilmuwan perempuan.
Hal senada juga dinyatakan oleh Presiden Direktur L’Oréal Indonesia, Umesh Phadke. Dirinya berkata bahwa kita harus mendobrak batasan dan mendorong ilmuwan perempuan muda, serta meyakini bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengubah dunia.
Pada acara tersebut, L’Oréal-UNESCO For Women in Science 2016 memberikan penghargaan bagi keempat ilmuwan perempuan yang akan mendapatkan dana yang digunakan untuk melakukan penelitian mereka.
Untuk kategori Life Science, dua ilmuwan perempuan yang mendapat penghargaan tersebut adalah Dr. nat. tech. Andriati Ningrum, STP, M.Agr dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Dr. Azzania Fibriani, M.Si., M.Sc dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sedangkan dalam kategori Material Sciences, Engineering and Mathematics, dua ilmuwan perempuan yang mendapat penghargaan itu adalah Fitri Khoerunnisa, Ph.D dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) serta Dr. Yenny Meliana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dalam acara tersebut juga dilakukan penandatangan nota kesepahaman antara L’Oréal-UNESCO For Women In Science dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) untuk mendukung kegiatan di bidang penelitian, pendidikan dan pengabdian masyarakat.
Liputan6.com berkesempatan untuk mewawancarai dan mendengar kisah hebat dari dua pemenang National Fellowship Awards FWIS 2016, yakni Azzania Fibriani dan Fitri Khoerunnisa.
Membangun Sistem Penyeleksi Obat Anti HIV
Dr. Azzania Fibriani merupakan peneliti sekaligus salah satu staf pengajar di Institut Teknologi Bandung. Perempuan yang menyelesaikan kuliah tingkat doktoral di bidang Biologi Molekuler di Universitas Erasmus, Belanda, itu sedang melakukan penelitian untuk membangun sistem untuk menyeleksi obat anti HIV baru dari Indonesia.
"Untuk tahu atau tidak, biasanya virus HIV dikultur di laboratorium. Cara seperti itu susah dilakukan di Indonesia, karena tidak semua laboratorium di Indonesia punya fasilitas untuk mengkultur virus HIV, karena tidak bisa ditanam di semua laboratorium. Kalo adapun fasilitasnya akan terbatas dan harganya mahal," ujar Azzania.
"Saya mencoba membuat sistem screening yang bisa digunakan di laboratorium yang masih sederhana. Sistem ini menggunakan teknologi rekayasa genetika mikroba," jelas perempuan yang meraih gelar magister di bidang Bioteknologi di ITB pada 2005.
Dengan judul proposal "Pengembangan Sistem High Throughput Untuk Menyeleksi Kandidat Obat Anti HIV Baru Dari Indonesia", Azzania bertujuan membangun sistem screening yang bisa melihat senyawa asli Indonesia yang berpotensi untuk dijadikan obat anti HIV. Dengan sistem tersebut, penyeleksian obat dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
Tak hanya menjelaskan soal riset yang sedang dijalankannya, Azzania juga juga membagi sedikit kisah tentang peran ganda yang harus dijalaninya, yakni menjadi peneliti sekaligus seorang ibu.
"Bukan hanya jadi peneliti, tapi profesi apapun harus selalu balance antara kehidupan keluarga dan karir. Tapi bagi seorang perempuan karena dia adalah pusat di rumah tangganya jadi lebih berat lagi," tutur dia.
Perempuan yang meraih gelar master keduanya di bidang Sains Biologi di Institut Teknologi Tokyo itu mengatakan, tantangan yang dihadapinya adalah soal skala prioritas.
"Sebisa mungkin menjadikan weekend sebagai hari keluarga, jadi kalau bisa tidak ada kerjaan yang saya kerjakan di rumah. Saya berusaha kalau pulang dari kantor menemani anak sampai mereka tidur, kemudian saya kerja lagi," ujar Azzania.
Dalam kesempatan itu ia juga memberikan pesan kepada para peneliti muda agar terus semangat.
"Untuk generasi muda tetap semangat, karena di dunia ini masih banyak hal bisa diungkapkan. Karena masih banyak misteri di alam ini yang belum bisa dijelaskan dengan logika. Oleh karena itu jangan berhenti belajar, jangan merasa puas dengan diri sendiri, terus berkarya," kata Azzania.
Advertisement
Langkah 'Nekat' untuk Mengejar Mimpi
Fitri Khoerunnisa, Ph.D merupakan salah satu penerima penghargaan National Fellowship Awards FWIS 2016 yang mengajukan proposal penelitian berjudul "Ultrafiltration Nanocomposite Membranes Based On Chitosan-PEG-MWCNT-Graphene Oxides: Study on Antibacterial and Antifouling Properties."
Dalam penelitian yang sedang dilakukannya, ia mengembangkan membran dari polimer alam, yakni kitosan yang dijadikan filter untuk mengatasi persoalan ketersediaan air bersih.
"(Membran) bisa digunakan berulang, secara cost lebih efisien, secara teknis juga mudah tidak perlu alat-alat yang ribet, dan bahannya bisa diperoleh dari cangkang," jelas Fitri.
Menurutnya, penggunaan bahan tersebut dapat menangani banyak masalah. Selain menambah persediaan air bersih, bahan yang digunakannya sebagai filter juga dapat membantu mengatasi masalah limbah lautan.
Dalam kesempatan itu, Fitri yang merupakan anak ke-13 dari 14 bersaudara itu juga menceritakan perjuangannya untuk mewujudkan cita-citanya sebagai peneliti.
"Ketika tiba giliran kuliah, ayah menyuruh saya untuk ke pesantren...tapi saya diam diam pinjam uang ke bibi saya untuk beli formulir UMPTN, Alhamdulillah lolos. Itulah salah satu pijakan yang mengubah jalan hidup saya," ujar perempuan yang menempuh pendidikan S1-nya di bidang kimia Universitas Pendidikan Indonesia.
Ia juga membagi kisah tentang ujian besar yang harus dihadapinya ketika dirinya menempuh pendidikan doktoral di Chiba University Jepang.
"Waktu saya harus ujian presentasi, ayah saya meninggal...berat memang jauh dari keluarga, tapi itu saya anggap sebagai cara Tuhan menyayangi saya," kenang Fitri.
"Kalau saya nggak bekerja keras, saya tidak menghasilkan sesuatu, saya sudah menyia-nyiakan meninggalnya orang yang sangat berharga, yang semua waktunya diarahkan untuk ke 14 anaknya. Kalo saya tidak membalas dengan hal ini mungkin sia-sia juga," imbuh dia.
Kepada Liputan6.com. perempuan asal Garut kelahiran 28 Juni 1978 itu mengungkapkan hal-hal yang memotivasi dirinya untuk terus berkarya menjadi seorang peneliti.
"Satu, saya harus membayar mahal perlawanan saya terhadap orang tua...dulu tidak boleh kuliah karena orangtua tidak punya uang," ungkap Fitri.
"Yang kedua, saya itu ibu, bagaimanapun saya harus bisa menginspirasi, minimal anak saya...saya pasti akan jadi role model, bagaimana bekerja bersungguh-sungguh, sebagai peneliti juga berdedikasi."
"Ketiga, saya itu dosen dan harus menginspirasi mereka agar mau berkarya...dan sara yang paling sederhana dan mudah adalah dengan menunjukkan prestasi," tuturnya.