5 Inspirasi Kerukunan Umat Beragama yang 'Hangatkan' Hati Anda

Prasangka menguji persatuan kita sebagai manusia. Namun, ada banyak kisah kerukunan umat beragama yang menerbitkan kagum.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 09 Des 2016, 13:48 WIB
Diterbitkan 09 Des 2016, 13:48 WIB
Restoran Muslim Gratiskan Makanan Bagi Warga yang Rayakan Natal
Pemilik restoran ini seorang muslim dan memberikan hidangan gratis bagi orang-orang yang merayakan Natalnya sendirian

Liputan6.com, Jakarta - Perayaan Natal 2016 menjelang. Namun, tak semua orang bisa menikmati kebersamaan keluarga dan makanan hangat yang terhidang di atas meja. Terutama, para tunawisma yang tak punya tempat berteduh. 

Seorang pemilik restoran di London, Inggris, yang beragama Islam, menawarkan tiga hidangan gratis bagi para tunawisama dan lansia.

Dengan tagline, "No One Eats Alone On Christmas Day", sang pemilik berharap tidak ada dari mereka yang kelaparan pada hari Natal.

Untuk mempromosikan tawaran tersebut, Shish Restaurant di Sidcup, Inggris, meminta warga setempat membantu menyebarkannya. Mereka bahkan memasang poster yang bertuliskan, "Kami ada di sini untuk duduk bersama Anda pada tanggal 25 Desember," demikian seperti dikutip dari Daily Mail. 

Sontak penawaran tersebut menjadi viral di media sosial dan banyak menuai pujian.

"Ini adalah sikap yang paling tanpa pamrih yang pernah saya lihat. Dan mereka sepatutnya diakui sebagai salah satu pilar masyarakat," tulis Vicky Lanfera dalam status Facebooknya.

Status lainnya datang dari Suzannah Harris."Sungguh sikap yang sangat mulia. Sebuah restoran memberikan sesuatu pada masyarakat, bukan melihat Natal sebagai ajang untuk mencari keuntungan saja. Saya pasti akan mengunjunginya pada tahun baru bila sedang berada di sana," katanya.

Tindakan sang pemilik restoran juga menjadi inspirasi kerukunan umat beragama di Inggris.

"Yang saya tahu ini adalah sebuah aksi nyata yang dilakukan seorang muslim pada hari Natal dengan kemurahan hati," kata Sally Barnes.

Belakangan, persatuan antarwarga masyarakat sedang diuji dengan prasangka rasial. Pun dengan kerukunan antarumat beragama -- di tengah munculnya gerakan-gerakan fasis dan ekstrem.

Namun, selalu muncul kisah-kisah inspiratif di mana orang-orang yang berbeda latar belakang saling mengulurkan tangan, menyadari bahwa di atas segala berbedaan ada banyak hal yang sejatinya menyatukan sesama manusia. 

Berikut 5 kisah inspirasi kerukunan antarumat beragama yang bisa menghangatkan hati: 

1. Salat Jumat di Katedral

Ada yang tak biasa dalam ibadah Salat Jumat pada tanggal 14 November 2014. Sejumlah umat muslim menggelar sajadah di Katedral Nasional Washington, salah satu gereja yang terkenal di Amerika Serikat. 

Sajadah dibentangkan secara diagonal, agar jemaah menghadap kiblat tanpa melihat salib atau simbol-simbol Kristen di dalam rumah ibadah itu.

Seperti dikutip dari VOA Indonesia, Pendeta Gina Campbell menyambut para jamaah, menyatakan Katedral Nasional Washington adalah 'tempat ibadah bagi semua orang'.

Para penyelenggara, yang berlatar dua keyakinan mengatakan, tujuan Salat Jumat tersebut adalah untuk menebarkan pesan perdamaian dan menentang penggunaan ajaran agama secara ekstrem -- untuk membenarkan kebencian dan perselisihan.

Salat Jumat di Katedral Washington Amerika Serikat (VOA)

 

Sementara, Duta Besar Afrika Selatan untuk Amerika yang seorang Muslim, Ebrahim Rasool memuji kebebasan beragama di AS dan mengecam ekstremisme.

Duta Besar Rasool, salah seorang penggagas acara shalat Jumat di Katedral, adalah warga Afrika Selatan keturunan Indonesia. Rasool adalah salah seorang keturunan ulama besar Afrika Selatan, almarhum Syekh Yusuf, yang berasal dari etnis Bugis, Sulawesi Selatan.

Rasool mengatakan kegiatan tersebut juga merupakan simbol bagi tiga juta Muslim di AS agar merasa diterima di negara yang mayoritas Kristen, serta bagi Muslim di negara-negara dimana mereka mayoritas, untuk menunjukkan kebaikan bagi pemeluk agama minoritas.

2. Indahnya Toleransi dari Gereja yang Bertetangga dengan Masjid

Keindahan toleransi terpancar dari Skotlandia, Inggris. Gereja Episkopal St John di Aberdeen yang kuno dan megah terletak bersebelahan dengan Syed Shah Mustafa Jame Masjid yang berukuran lebih mungil. Saking kecilnya, masjid tersebut tak mampu menampung ratusan jemaah. Hingga luber ke jalanan.

Saat cuaca ramah, tak jadi masalah. Namun kala musim dingin yang disertai angin kencang, para jemaah terpaksa beribadah di tengah cuaca membekukan, di atas trotoar yang kasar.

Melihat kondisi tersebut, Gereja St John membuka pintunya lebar-lebar bagi umat muslim yang ingin menunaikan ibadah salat. Lima kali dalam sehari. Dan terutama saat Salat Jumat.

Toleransi dari gereja yang bertetangga dengan masjid (Daily Mail)

Pastur Isaac Poobalan menyerahkan sebagian aula gereja kepada Imam Ahmed Megharbi. Agar salat berjamaah bisa dilakukan. Pastur tersebut mengatakan, jika ia tutup mata atas kesulitan yang dialami saudara umat muslim, imannya belumlah sejati.

"Ibadah, dengan cara apapun, tak pernah salah. Adalah kewajibanku untuk mendorong orang-orang beribadah, sesuai dengan keyakinan," kata pastur Poobalan, seperti dimuat Daily Mail pada 2013.

"Masjid itu selalu penuh setiap saat. Orang-orang terpaksa salat di luar, dalam kondisi hujan dan angin bertiup kencang."

Padahal, Injil mengajarkan, umat Kristiani harus memperlakukan tetangganya dengan baik. "Saat aku bicara pada jemaat gereja tentang situasi itu, seseorang mengatakan, itu bukan urusan kami. Namun apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri adalah persoalan yang terpampang nyata."

Poobalan merasa miris saat umat muslim berdoa di luar, saat salju pertama turun di musim dingin. Luar biasa membekukan. "Sulit bagiku untuk melihat, umat muslim beribadah dengan tangan dan kaki telanjang di atas trotoar yang kasar," kata dia.

Hembusan nafas para jemaah yang melakukan salat bahkan terlihat jelas di tengah udara dingin. "Aku merasa salah, apalagi, gereja hanya terletak di sebelah masjid. Berupa bangunan besar dan kosong pada Jumat siang, saat umat muslim membutuhkan waktu untuk melaksanakan Salat Jumat."

 

Poobalan mengaku ingin menjembatani umat Kristen dan Islam, meski ada sejumlah pertentangan atas langkahnya itu. "Ini adalah langkah dasar yang fundamental. Tak ada kaitan dengan agama -- dasarnya adalah saling membantu sesama manusia," kata dia. "Agama yang memisahkan kita menjadi golongan-golongan, tak seharusnya memisahkan kita sebagai sesama manusia."

Ia mengaku, awalnya ketika berbicara dengan imam masjid, ada sejumlah keraguan. Apalagi hal seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya. "Namun, mereka mengambil tawaran kami. Dan ini menjadi awal dari hubungan yang positif."

Sementara Sheikh Ahmed Megharbi, salah satu imam Syed Shah Mustafa Jame Masjid mengatakan, kondisi yang terjadi pada jemaahnya adalah istimewa.

"Namun, tak ada salahnya ditiru di seluruh negeri," kata dia. "Hubungan yang kami jalin adalah persahabatan dan saling menghormati," kata dia.

Hubungan antara St John dan masjid di dekatnya memang telah terjalin sejak beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2011, gereja dan masjid bekerja sama untuk memperingati ulang tahun ke-10 serangan teror 9/11 di Amerika Serikat. Ayat Alquran dan Injil dibacakan untuk memperingati mereka yang meninggal dunia.

3. Aksi Demonstrasi Membela Masjid

Ketenangan Bendigo di negara bagian Victoria, Australia, terkoyak pada 2015 lalu. Sejumlah demonstran mempertontonkan kekerasan dengan merusak barikade polisi, melayangkan tinju, dan melemparkan molotov dalam aksi menentang pendirian masjid di kota mereka.

Kelompok ultra sayap kanan United Patriots Front (UPF) bahkan menjadikan Bendigo sebagai lokasi protes kedua pada Oktober 2015 lalu. Demonstrasi anti-masjid juga digelar di sejumlah kota di negara bagian Victoria dan New South Wales.

Saat itulah Margot Spalding muncul. Perempuan pebisnis itu menggelar aksi tandingan, memimpin perjuangan melawan 'intoleransi dan kebencian' di Bendigo.

Warga Bendigo, Australia menggelar kampanye toleransi, dukung pendirian masjid di kota mereka  (ABC.net.au)

 

Ia ingin mengembalikan nama baik kotanya. "Reputasi Bendigo hancur. Lekat dengan imej demo mengandung kekerasan," kata dia seperti dikutip dari News.com.au.

Ia mengatakan, demonstrasi anti-masjid harus dihentikan, sebelum itu menyebar ke seluruh Negeri Kanguru.

"Saya sungguh yakin bahwa protes anti-masjid bisa dihentikan dari sini, dari Bendigo," kata perempuan yang pernah mendapat gelar Telstra Business Woman of the Year itu kepada Australian Story.

Menyusul protes anti-masjid Agustus lalu, Spalding mengumpulkan sejumlah tokoh masyarakat, pebisnis, dan pemuka agama. Dari pertemuan tersebut muncullah gagasan kampanye 'Believe in Bendigo'.

"Orang-orang yang datang dari luar ke Bendigo dan menggelar protes menentang pendirian masjid di sini membuat warga heran," kata Pendeta John Roundhill, Dean dari Gereja Anglikan Bendigo.

"Masyarakat sama sekali tak mengharapkan ekspresi kemarahan dan kebencian seperti yang kami saksikan hari itu."

Kampanye 'Believe in Bendigo' juga menggelar piknik yang dihadiri ribuan orang. Di area tempat demonstrasi sebelumnya digelar. Tak ketinggalan, program edukasi keberagaman dan makan bersama anggota masyarakat diselenggarakan.

Ada sekitar 300 warga muslim di Bendigo. Beberapa dari mereka adalah dokter, dokter gigi, perawat, pekerja pabrik, dan mahasiswa. Mereka menggelar ibadah di ruangan sempit dan sesak di kampus La Trobe University.

Pihak pemerintah City of Greater Bendigo menyetujui pembangunan masjid pada Juni tahun lalu. Namun, keputusan tersebut ditentang sekelompok kecil warga yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Sipil dan Administrasi Victoria atau Victorian Civil and Administrative Tribunal (VCAT). Hasilnya, gugatan ditolak.

4. Ibadah Ramadan di Dalam Gereja di Gaza

Untuk Mahmoud Khalaf, itu adalah pengalaman baru yang aneh. Warga Gaza, Palestina itu salat lima waktu di dalam gereja. Awalnya canggung, namun ia tak punya pilihan lain. Menghadap ke arah Kabah dan melantunkan ayat suci Alquran, pria 27 tahun itu membayangkan ia sedang berada di dalam masjid.

Di dalam rumah ibadah umat Kristen itu lah, Mahmoud dan keluarganya mengungsi, setelah serangan udara Israel meluluhlantakkan lingkungan rumahnya di Shaaf.

Sejak perang melanda Gaza, seiring dimulainya Operasi 'Protective Edge' Israel pada 8 Juli 2014, penduduk wilayah tepi Laut Tengah itu dicekam teror roket dan invasi darat militer negeri zionis. Mereka tak bisa menjalankan ibadah Ramadan dengan tenang. Bahkan tak ada yang bisa menjamin, nyawa mereka masih menyatu dengan raga hingga Idul Fitri tiba.

"Mereka (umat Kristiani) mengizinkan kami beribadah. Itu mengubah pandanganku tentang mereka, yang sebelumnya tak begitu aku kenal. Kini mereka menjadi saudara kami," kata Mahmoud, seperti Liputan6.com kutip dari The Daily Star pada 2014.

Mahmoud tak sendirian, ia bersama lebih dari 500 muslim lain yang juga mengungsi dalam gereja. "Kami sesama muslim beribadah, salat berjamaah tadi malam. "Di sini kasih antara umat Islam dan Kristen berkembang."

Bahkan, seiring banyaknya pengungsi di Gereja Saint Porphyrius, ucapan salam 'marhaba' digantikan dengan 'Assalamualaikum'.

Sementara, pastor dan jemaat gereja berusaha menghormati tamu mereka yang beragama Islam selama Ramadan. "Umat Kristen tentu saja tidak berpuasa, namun mereka tidak makan, merokok, atau minum di depan kami," kata Mahmoud, yang mengaku tak menjalankan ibadah puasa. Teror serangan Israel membuatnya ketakutan dan sangat tegang. Namun, pria itu tetap menjalankan salat 5 waktu.

Ramadan akan berakhir Senin dengan perayaan Idul Fitri. Namun, di tengah pemboman yang sedang berlangsung, di mana 1.000 lebih orang tewas, hari yang biasanya diliputi kegembiraan itu tak lagi ada.

Korban jiwa kembali berjatuhan di Gaza. Sebanyak 87 warga dilaporkan tewas dalam sehari, pada Minggu 20 Juli 2014, akibat diserang Israel. Jumlah korban jiwa saat ini mencapai lebih dari 400 orang.

 

"Umat Islam dan Kristen mungkin akan merayakan Idul Fitri di sini," kata Sabreen al-Ziyara, muslimah yang bekerja sebagai petugas bersih-bersih di gereja.

"Namun, tak ada suka cita Lebaran tahun ini, yang ada peringatan untuk para syuhada," kata dia, dengan penuh rasa hormat pada mereka yang gugur.

Seperti halnya masjid-masjid yang hancur oleh Israel. Gereja Saint Porphyrius juga tak lantas aman dari Bom. Pemakaman Kristen yang letaknya berdekatan terkena mortir Selasa lalu.

Umat Kristen di Gaza berjumlah sekitar 1.500 orang, yang hidup di antara 1,7 juta warga muslim.

Serangan Israel yang membabi buta, perasaan senasib merasakan teror negeri zionis justru rasa persaudaraan.

"Yesus berkata, kasihilah sesamamu, bukan hanya keluarga Anda, tetapi kolega Anda, teman sekelas Anda - Muslim, Syiah, Hindu, Yahudi," kata relawan Kristen, Tawfiq Khader. "Kami membuka pintu untuk semua orang."

5. Prasangka Anti-Islam yang Dibalas dengan Cinta

Kasus pembunuhan sadis yang menimpa seorang tentara Inggris, Lee Rigby, di jalanan Kota Woolwich, London menimbulkan kemarahan warga. Juga melecut sentimen anti-Islam, yang ditunjukkan salah satunya melalui aksi demonstrasi massa English Defense League (EDL), ke sejumlah masjid. Salah satunya ke Masjid York pada 2013 lalu.

Namun, alih-alih menanggapi dengan kemarahan atau kekhawatiran berlebih, para jemaah masjid kecil itu berkumpul, menyambut para demonstran dengan senyuman tulus. Termasuk seorang anak kecil yang membawa poster bertuliskan, "Masjid York mengucapkan selamat datang pada siapapun yang mengutuk kekerasan ekstrem."

Jemaah masjid juga menyediakan teh, biskuit krim custard untuk para demonstran. Massa yang protes diundang masuk. Setelah berdialog 30-40 menit, pihak EDL akhirnya memenuhi undangan tersebut.

Seperti dilaporkan Guardian, yang dilansir kembali oleh CBC News, ketegangan sontak mengendur kala itu. Bahkan potensi bentrok yang dikhawatirkan, berujung pada pertandingan persahabatan, jemaah masjid dan para demonstran main bola bareng. Sungguh indah!

Demonstrasi yang dibalas cinta dan senyuman jamaah masjid di Inggris (Guardian)

 

Salah satu demonstran, Leanne Staven mengatakan, massa EDL datang tidak untuk bikin masalah, hanya untuk menyampaikan aspirasi.

"Mengenai apa yang terjadi pada tentara di Woolwich, harus ada larangan bagi orang untuk mempelajari perilaku ekstremis," kata dia.

Jemaah Masjid York pun sepakat. "Ada banyak aliran politik dalam Islam. Tak sepatutnya menyalahkan semua muslim untuk apa yang dilakukan satu atau dua oknum," kata Ismail Miah, pemimpin masjid.

Ia pun mengecam perbuatan sadis yang dilakukan dua pemuda terhadap seorang tentara yang tidak memanggul senjata. "Apa yang pelaku lakukan di London adalah tanggung jawab mereka. Sejatinya tak ada alasan pembenaran dalam pandangan Islam."

Saat pesan protes yang dilayangkan EDL sampai pada para jemaah, alih-alih tersinggung, orang yang dituakan, sekaligus dosen University of York , Mohamed El-Gomati, menyerukan dialog.

"Kami, umat muslim, telah mengutuk pembunuhan sadis itu, dengan kalimat yang paling keras. Semua orang yang berpikiran waras di Britania Raya pasti marah, namun tak sepantasnya kemarahan itu dilampiaskan pada tetangga Anda, pada orang lain," kata dia, bijak. "Kemarahan itu sepatutnya ditujukan pada pelaku."

Mohamed El-Gomati menambahkan, pihaknya mengundang para demonstran untuk duduk bersama, membuka dialog.

"Sebab, orang yang duduk bersama akan bisa saling bertukar pikiran, ketimbang saling berteriak dari kejauhan dan tak mendengar dengan baik apa yang dikatakan lawan bicara."

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya