Belajar Toleransi dari Lucknow di India

Sisa-sisa peninggalan era itu, Sungai Ganga-Jamuni masih bisa menawarkan pelajaran dalam toleransi antar 2 agama.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 23 Jan 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2017, 18:00 WIB
Kota Lucknow, India. (Harrison Akins)
Kota Lucknow, India. (Harrison Akins)

Liputan6.com, Uttar Pradesh - Lucknow, kota di India ini disebut-sebut sebagai teladan soal toleransi. Meski berbeda keyakinan, penduduk di sana hidup berdampingan dengan rukun. 

"Ganga dan Yamuna, dua sungai besar dari India, bertemu dan mengalir bersama-sama menuju laut," tutur Najma Seth, bercerita soal toleransi di kampung halamannya, sembari secangkir chai. 

Dua sungai legendaris yang melintasi Lucknow menjadi gambaran bagaimana umat beragama Hindu dan Muslim hidup rukun dan harmonis.

Dilansir dari BBC, Senin (22/1/2017), toleransi yang unik antar-agama adalah kesan yang menonjol dari Lucknow yang populasinya saat ini terdiri atas 70 persen warga beragama Hindu, hampir 30 persen Muslim, sedikit Sikh, dan Kristen yang kurang dari 1 persen. 

Sementara, demografi nasional India terdiri atas hampir 80 persen pemeluk Hindu dan 15 persen Muslim. 

Sejauh ini, Lucknow adalah salah satu kota besar India yang tak mengalami masalah besar antara dua komunitas umat beragama itu.

Meski demikian, Lucknow tetap harus terus berupaya meredakan sinyal-sinyal ketegangan antarumat beragama. 

Berawal dari Abad ke-18 dan 19

Mengutip BBC Travel, gaya hidup kosmopolitan di kota itu mengakar sejak kekuasaan nawabs atau para pangeran dari Kerajaan Awadh pada Abad ke-18 dan 19.

Awadh -- meliputi wilayah Uttar Pradesh yang didirikan pada 1722 ketika Nawab Saadat Ali Khan berkuasa --telah menjadi sebuah provinsi dari Kekaisaran Mughal sejak pertengahan Abad ke-16.

Salah satu daerah yang paling sejahtera di bagian utara India ini memiliki wilayah yang subur, dengan perekonomian berbasis pertanian yang berkembang pesat.

Pada 1775, para nawabs mendirikan ibu kota mereka di Lucknow.

Ibukota politik yang baru dibentuk itu dengan cepat menjelma jadi kota budaya di utara India, di bawah perlindungan nawabs Muslim Syiah kaya keturunan sebuah dinasti di Persia.

Lantas, Lucknow menjadi bak lentera bagi para pelajar, artis, penyair, arsitek, musisi, penyulam, pengrajin, dan praktisi seni lainnya dari berbagai latar belakang budaya dan agama.

Kisah budaya Lucknow melegenda di seluruh benua, dikenal melalui film, puisi dan seni. Seringkali digambarkan sebagai sebuah karikatur dari keberadaban dan kemerosotan periode Mughal: seorang nawab yang kaya berbaring di atas bantal, menggunakan gaun Sherwani dan perhiasan indah, sambil mengunyah paan --sejenis daun sirih-- sambil bermalas-malasan mendengarkan pembacaan puisi Urdu.

Sekarang, kota ini dipenuhi dengan usaha kreatif para penduduknya. Banyak monumen menara, masjid, dan gedung lain dari periode tersebut yang menunjukkan campuran pengaruh India, Persia, Arab, dan Turki yang harmonis.

Para nawabs membudayakan bahasa Urdu yang halus. 

Bahkan saat ini, para penutur bahasa Urdu di Lucknow sangat sopan dalam berbicara sehari-hari dan dikenal dengan kelembutan sikap dan sifatnya.

 

Akulturasi 2 Agama

Najma Seth mengisahkan bahwa Nawab Mir Jafar Abdullah -- seorang keturunan dari nawabs yang berkuasa -- adalah sosok yang mewujudkan kesopanan dan pemurnian budaya.

Ia menceritakan saat-saat bertemu dengannya.

Dengan menggunakan pakaian kurta (semacam tunik) putih dengan cincin bermata batu di jarinya, Nawab Mir Jafar Abdulla  menekankan komitmen nawabs terhadap nilai-nilai sekularisme.

"Banyak yang dia katakan kepada saya, merujuk pada perdana menteri Hindu dan membangun kuil untuk subyek Hindu mereka. Dia menceritakan sebuah kisah Nawab Asaf-ad-Daula yang pernah mengatakan satu sisi dirinya merupakan Muslim dan lainnya Hindu," tutur Najma.

Bangunan di India dengan perpaduan budaya Persia, Arab dan Turki. (Harrison Akins)

Selama berada di Lucknow, Najma mengaku bertemu dengan banyak orang yang masih berkomitmen terhadap keserasian antara dua keyakinan tersebut.

Sebagai contoh, Kuil Hindu Purana Hanuman yang menaruh bulan sabit simbol Islam di atas kubahnya. Hal itu sebagai tanda penghormatan terhadap nawabs yang telah membangun kuil itu.

Warga Muslim lokal juga seringkali membantu komunitas peziarah Hindu, terutama dalam festival -- dengan mendirikan kios bunga dan air.

Sementara penganut Hindu akan melakukan hal yang sama bagi Muslim selama Muharram, bulan suci di kalender Islam.

Dan kedua komunitas itu seringkali bertukar salam sesuai agama mereka, salaam alaikum (bagi Muslim) dan namaste (untuk Hindu) -- dengan penuh hormat.

 

Integrasi Ekonomi

Produk penting lain yang menggambarkan pengaruh nawabs adalah integrasi ekonomi dari dua komunitas, terutama di industri bordir.

Awalnya kegiatan itu dikembangkan untuk melengkapi kebutuhan para nawabs dan kelas elite dalam menciptakan pakaian elok. Pekerjaan padat karya itu pun lantas menjadi jantung perekonomian Lucknow dan dipromosikan meluas.

Hal itu membuat masyarakat Hindu dan Muslim saling tergantung secara ekonomi.

Setiap kekerasan komunal akan membuat proses produksi berhenti dan secara ekonomis menjadi bencana untuk seluruh kota.

Banyak pergolakan politik di tingkat nasional sejak kemerdekaan India, bagaimanapun, telah secara konsisten menantang budaya terpadu ini.

Setelah Perpisahan India-Pakistan pada tahun 1947, bahasa Urdu dinyatakan sebagai bahasa resmi Pakistan.

Banyak budaya Urdu di Lucknow kian terhimpit karena dikaitkan dengan Pakistan dan Muslim.

Pembagian bahasa terkait politik -- Urdu untuk Muslim Pakistan dan Hindi untuk Hindu India -- tak sejalan dengan budaya toleransi yang dijalankan dari generasi ke generasi.

Terkait hal tersebut, Urdu dan budayanya dengan cepat berkembang justru dianggap menjadi musuh India.

Dan bahkan jika budaya Lucknow mampu bertahan dari tantangan politik, ia tetap menghadapi bahaya seiring berjalannya waktu.

Dunia modern semakin menghadirkan tantangan-- industri bordir chikan, misalnya, sedang ditantang dengan mesin buatan impor dari China yang biaya industrinya lebih murah -- sehingga banyak anak muda berpaling dari tradisi.

Ada upaya untuk menghentikan pemusnahan budaya tersebut, seperti pembentukan lembaga bahasa Urdu baru untuk melestarikan budaya nawabi. Pemerintah bahkan menunjuk kota itu sebagai zona warisan negara.

Meski Najma optimistis tentang upaya untuk melindungi budaya lama masa kecilnya, ia sedikit khawatir, "Anda tidak dapat menghidupkan kembali apa yang telah mati."

Era nawabs telah usai dan Lucknow hari ini menghadapi masalah modern yang berkaitan dengan kemiskinan, kejahatan, dan korupsi.

Namun, sisa-sisa peninggalan era itu, Sungai Ganga-Jamuni masih bisa menawarkan pelajaran dalam toleransi antaragama. Dengan memperhatikan pelajaran dari masa lalu, India mungkin menemukan mekanisme untuk menyelesaikan masalah hari ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya