Kilas Balik Peran Uni Soviet dalam Pembebasan Irian Barat

Uni Soviet punya peranan dalam mendukung Indonesia membebaskan Irian Barat dari Belanda.

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 27 Jan 2017, 06:27 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2017, 06:27 WIB
Merah Putih Raksasa Berkibar di Puncak Gunung Papua
Ilustrasi: Tim Rescue mitra Polda Jatim bersiap melakukan upacara pengibaran bendera Merah Putih di Gunung Batok, kawasan wisata gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu 16 Agustus. (Antara/Paramayuda)

Liputan6.com, Jakarta Uni Soviet ternyata punya peranan penting dalam membantu pembebasan Irian Barat atau sekarang lebih dikenal dengan Papua. Campur tangan positif Soviet terlihat dalam beberapa bantuan yang diberikannya kepada Pemerintah Indonesia ketika itu.

Seorang peneliti dan ahli Indonesia yang tinggal di Den Haag, Belanda, Clarice Van Den Hengel bercerita pada media Rusia, Russian Beyond The Headline (RBTH), Presiden Pertama Indonesia, Sukarno menjelaskan, saat Indonesia merdeka dan kemerdekaan diakui Belanda hanya tinggal Irian Barat yang belum mendapat pengakuan sebagai bagian NKRI.

Sukarno pun mulai bergerak untuk membebaskan Irian Barat. Upaya ia mulai dengan melakukan negosiasi dengan Belanda. Namun, langkah itu gagal.

Setelah itu, Sukarno mencoba menggalang dukung melalui PBB. Hasilnya ternyata sama saja.

Tak patah arang, sang proklamator, memutuskan mengunjungi Moskow. Di sana, dirinya bersama pemimpin Soviet ia membahas permasalahan Irian Barat.

Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan Afrika, dengan cepat mengumumkan dukungannya terhadap Indonesia.

Dukungan Moskow ditunjukan dengan mempersenjatai angkatan bersenjata Indonesia.

Dari medio 1950-an hingga akhir era Orde Lama, Soviet menyuplai Indonesia  satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom.

“Situasi benar-benar berubah ketika Indonesia dipersenjatai oleh Soviet.  Belanda sudah kalah perang dengan rakyat Indonesia dan tidak siap untuk berurusan dengan tentara Indonesia yang dilengkapi dengan senjata modern," jelas Van Den Hengel seperti dikutip dari RBTH, Kamis (26/1/2017).

Dipasoknya senjata dari Uni Soviet membuat Indonesia terlibat konforntasi dengan Belanda pada 1960.

Fase akhir konfrontasi ini pun akhirnya tak cuma melibatkan RI-Belanda. AS dan NATO akhirnya turun tangan.

Melihat kondisi seperti itu, Menlu Indonesia Subandrio memilih terbang ke Soviet untuk kembali bertemu Khrushchev.

Pemimpin Soviet ini pun bertanya pada Subandrio soal seberapa besar kemungkinan RI-Belanda mencapai kesepakatan.

Subandrio menjawab kemungkinan tidak terlau besar. Ia memperkirakan, "Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang yang, pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja'," ucap Subandrio ketika itu.

Subandrio akhirnya memberi tahu hasil pembincaraannya pada AS. Negeri Paman Sam akhirnya mengambil keputusan besar yang sangat terkait dengan keinginan mereka menghindari potensi pecahnya kembali perang dunia.

"Ini menjadi momen berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat. Selain ingin menghindari konfrontasi langsung dengan Uni Soviet, AS tidak ingin terlihat bahwa negaranya tampak mendukung penjajah Eropa melawan negara dunia ketiga yang baru merdeka," jelas Van Den Hengel.

Akhirnya di bawah tekanan AS, pada Agustus 1962, Belanda sepakat menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Di 1963, wilayah Irian Barat akhirnya diserahkan kepada Indonesia.

Setelah referendum 1969, atau yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat dengan suara bulat memilih bergabung dengan Indonesia. Meskipun dibantah oleh beberapa pengamat Barat, hasil referendum diterima oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, serta 81 anggota PBB lainnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya