Perdana, WNI Raih Penghargaan Anti-Perdagangan Manusia di AS

Atas komitmen dan usahanya membantu korban perdagangan manusia di AS selama kurang lebih 17 tahun, WNI di San Francisco ini diapresiasi.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 28 Jan 2017, 12:36 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2017, 12:36 WIB
Hedia Utarti, WNI pertama yang mendapatkan penghargaan dari organisasi San Francisco Collaborative Against Human Trafficking (SFCAHT). (VOA News)
Hedia Utarti, WNI pertama yang mendapatkan penghargaan dari organisasi San Francisco Collaborative Against Human Trafficking (SFCAHT). (VOA News)

Liputan6.com, California - Warga Negara Indonesia (WNI), Hediana Utarti, di San Francisco, California belum lama ini dianugerahi penghargaan Modern Day Abolitionist Award for Direct Service to Survivors of Human Trafficking 2017. Apresiasi itu diberikan atas usahanya membantu para korban perdagangan manusia di AS.

Hediana menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh penghargaan yang dianugerahi oleh organisasi San Francisco Collaborative Against Human Trafficking (SFCAHT) di Amerika Serikat.

Menurut situs SFCAHT yang dikutip dari VOA News, Sabtu (28/1/2017), penghargaan ini diberikan kepada individu yang aktif memerangi perbudakan di era modern dan berkomitmen membangun komunitas lokal serta global yang menghargai kehidupan manusia.

Selama kurang lebih 17 tahun, lulusan S3 bidang politik dari University of Hawaii di Manoa ini bekerja di organisasi nirlaba Asian Women’s Shelter yang sudah beroperasi selama hampir 30 tahun. Dalam sepuluh tahun terakhir, Hediana menjabat sebagai Community Projects Coordinator, yang menangani program dan pelayanan di bidang anti-perdagangan manusia.

Sehari-hari ia membantu para korban kekerasan rumah tangga dan pemerkosaan yang memiliki keterbatasan bahasa Inggris, yang berasal dari berbagai negara. Kebanyakan dari para korban adalah imigran baru.

Saat ini, organisasi tempat Hediana bekerja memiliki 19 karyawan dan sekitar 50 penerjemah yang dua atau tiga diantaranya adalah orang Indonesia.

"Jadi komitmen besar dari organisasi saya ini adalah yang namanya language access," ujar Hediana Utarti.

"Tahun 1988, servis kami itu dilakukan dalam dua atau tiga bahasa, ada Mandarin, ada Laotian. Di tahun 2017, kami mempunya 40 bahasa, termasuk Indonesia, Hindi, Mongolia, sampai Arabic, Spanish, dan juga bahasa Rusia," tambahnya.

Para korban bisa menelpon dan meminta bantuan dengan rahasia, tanpa harus memberitahu mengenai latar belakang Selama ia bekerja di Asian Women’s Shelter.

Hediana banyak melihat perempuan Tanah Air di 'negeri orang' yang melarikan diri dari kekerasan rumah tangga dan meminta bantuan. "Saya membantu orang-orang Indonesia, tenaga kerja Indonesia yang menjadi korban eksploitasi atau labor trafficking," jelasnya.

Menurut Hediana, terkadang para korban sendiri tidak menyadari bahwa mereka adalah korban perdagangan.

"Jadi ada segerombolan orang Indonesia dibawa ke daerah Philadelphia. Katanya kerja di hotel. Tinggalnya di satu apartemen ramai-ramai. Apartemennya hanya dua kamar, tetapi diisi sepuluh orang."

"Tiap pagi dijemput jam 05.00 pagi, kerja sampai jam 12.00 malam, enggak pernah ke mana-mana. Tidak tahu kalau mau lari mau ke mana. Paspornya juga disimpan."

"Dalam kasus seperti itu ada beberapa kelompok yang lalu digrebek oleh FBI atau oleh Homeland Security. Tugasnya pemerintah itu juga mencarikan mereka pengacara," cerita Hediana.

Dari situ kemudian para pengacara menghubungi organisasi tempat Hediana bekerja, untuk meminta bantuan di bidang pelayanan sosial.

Dalam pekerjaannya, Hediana juga bekerja sama dengan Asian Pacific Islander Legal Outreach yang membantu di bidang hukum. Lalu ada juga organisasi nirlaba Mujeres Unidas yang juga menyediakan tempat penampungan bagi perempuan di AS.

Indonesian Community Outreach Committee

Di samping itu, bersama beberapa warga Indonesia lainnya, Hediana juga membentuk organisasi Indonesian Community Outreach Committee yang memang khusus membantu para korban perdagangan manusia dari Indonesia. Para anggotanya terdiri dari seorang pastor dan pemimpin kelompok pengajian di San Francisco.

"Acapkali kok ada situasi di mana orang itu tidak dibayar atau dipenjara, enggak boleh keluar dari rumah, mereka itu ceritanya ke ibu pengajian. Ibu pengajian lalu bilang ke saya."

"Dalam situasi seperti itu, saya bagaimana caranya bisa bicara dengan bapak-bapak atau ibu-ibu yang tidak boleh keluar dari rumah itu, untuk memberi informasi bahwa (tindakan) seperti itu dilarang di Amerika. Itu adalah tindakan kriminal," papar Hediana.

Bantuan yang diberikan oleh Indonesian Community Outreach Community tidak hanya mencarikan tempat penampungan bagi korban, namun juga mencakup bantuan di bidang kesehatan dan lainnya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Hediana saat membantu dua orang nelayan pria asal Indonesia, yang bekerja di perairan Hawaii dan San Francisco.

"Ternyata di kapal itu paspornya disimpan. Bekerjanya dari jam 05.00 pagi sampai 12.00 malam, tidak diberi pakaian untuk pengamanan. Setelah hampir dua tahun, salah satu dari mereka luka-luka (dan akhirnya mereka itu melarikan diri dari kapal itu)."

"Mereka itu sebetulnya takut lari dari kapal, karena visanya itu visa untuk bekerja di kapal. Kalau enggak salah malah kadang-kadang tidak usah pakai visa kalau mau kerja di kapal, tapi tidak boleh menginjak ranahnya Amerika," ujar Hediana.

Karena jarang ada tempat penampungan yang menerima korban pria, ia dan rekannya, pastor Tony Bastaman, kemudian mencari teman-teman asal Indonesia yang bisa menampung para korban untuk sementara.

Hediana juga membantu para korban dalam berkomunikasi, mengingat mereka tidak bisa bahasa inggris. Tidak hanya itu, ia juga membantu mereka menemui dokter dan tukang potong rambut.

"Mereka perlu tempat tinggal yang aman, makanan, dokter, mungkin juga perlu ke terapis, karena mereka ketakutan," tutur Hediana.

Hediana kemudian membantu mencarikan mereka pengacara yang lalu melaporkan kasus tersebut kepada FBI. Jika tidak ada pengacara yang membantu, ia menambahkan para korban bisa langsung dideportasi.

Jika terbukti bahwa mereka adalah benar korban, maka pemerintah dan agen sosial di AS bisa memberikan bantuan selama delapan bulan, juga bantuan dana sebesar 400-500 dolar AS untuk makan, dan bantuan asuransi kesehatan.

Dengan memiliki pengacara, para korban bisa mendaftar untuk memperoleh ijin tinggal T visa yang khusus ditujukan untuk korban perdagangan manusia, yang berlaku selama empat tahun.

Pemegang T visa juga diperbolehkan untuk bekerja di AS. Setelah empat tahun, mereka bisa mendaftar untuk mendapatkan Green Card atau menjadi penduduk tetap AS. Mereka juga diperbolehkan untuk pulang ke negara masing-masing.

Kepada orang Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri, Hediana pun berpesan untuk mencari keberadaan organisasi Indonesia di negara yang dituju. Lalu jangan mau diisolasi.

"Kalau bisa, kita itu harus punya kebebasan untuk bergerak. Kalau kita kerja di suatu tempat, terus kita enggak boleh keluar masuk. Termasuk kalau kita dalam hubungan intim, menikah dengan seseorang tapi kita keluar masuk dari rumah atau pergi-pergi harus ikut suami, itu agak-agak bahaya," pungkas Hediana.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya