Liputan6.com, Bogor - Setelah mendapat ancaman-ancaman kematian dari para militan Al-Shabab, Mohamed Dahir Saeed dan istrinya melarikan diri dari tanah air mereka di Somalia dengan rencana mengungsi ke Australia. Mereka tiba di Indonesia, diberitahukan bahwa "laut tertutup" untuk siapa pun yang berupaya melakukan perjalanan ke selatan.
Itu dua tahun yang lalu. Sekarang peluang lain mungkin hilang untuk Saeed dan ribuan pencari suaka lain yang ada di Indonesia, dan bermimpi untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negara lain.
Baca Juga
"Mayoritas orang di sini, ditampung oleh AS," ujar Saeed seperti dikutip dari VOA News, Rabu (1/2/2017).
Advertisement
"Sekarang AS mengatakan tidak boleh ada orang Somalia, Irak, Suriah, Iran, Sudan... Jadi mungkin kita akan pergi ke tempat lain. Saya harap begitu," ujarnya, duduk di luar rumahnya yang ada di atas Sungai Ciliwung.
Untuk ribuan pencari suaka dan pengungsi dari Irak, Somalia dan negara-negara yang terkoyak konflik lainnya, Indonesia seringkali menjadi tempat tinggal sementara selama bertahun-tahun sambil menunggu penerimaan dari Amerika Serikat atau negara lain.
Namun larangan perjalanan dari Presiden AS Donald Trump terhadap warga-warga negara tujuh negara mayoritas muslim, dan penangguhan program pengungsi telah membuat situasi yang sulit menjadi lebih tidak pasti.
Singgah di Indonesia
Menurut UNHCR, badan PBB untuk pengungsi, Indonesia saat ini menampung hampir 14.000 perempuan, laki-laki dan anak-anak yang berharap dimukimkan di negara-negara lain.
Sekitar 7.500 orang telah diakui sebagai pengungsi, membuat mereka mendapatkan kartu PBB yang lebih mendekatkan mereka pada mimpi kehidupan yang lebih baik. Namun tahun 2016 lalu, hanya 610 orang yang dimukimkan di negara-negara lain seperti AS, Kanada, Jerman dan Selandia Baru.
Sedikitnya 2.700 orang yang nasibnya masih terombang-ambing itu berasal dari negara-negara yang ada dalam daftar larangan imigrasi Trump: Iran, Irak, Sudan, Somalia, Yaman, Suriah, dan Libya.
Para pencari suaka pada umumnya terimbas penangguhan program pengungsi selama 120 hari, dan keputusan Trump untuk memangkas jumlah pengungsi yang diterima AS dalam tahun anggaran sekarang lebih dari setengahnya, yaitu 50.000.
Menurut Pew Research Center, sekitar tiga juta pengungsi telah dimukimkan di AS sejak Kongres mengesahkan Undang-undang Pengungsi tahun 1980. Para pengungsi dari etnis Hazara, yang lari dari Afghanistan, Pakistan dan Iran, di tampung di penampungan di Puncak, Jawa Barat.
Harapan Pengungsi
Saeed yang berusia 31 mengatakan bahwa jika punya kesempatan, ia akan memberitahu Trump bahwa sebagai warga Somalia, ia adalah sosok pria yang cinta damai.
Dirinya meninggalkan negara kelahiran setelah para militan al-Shabab yang melawan pemerintah menekan dia untuk bergabung dengan kelompok itu, dan salah satu militan itu menginginkan istrinya.
"Sekarang di Somalia ada perang dari al-Shabab dan pemerintah. Jadi orang-orang Somali yang lari dari Somalia, mereka memerlukan kedamaian karena mereka perlu bekerja, memberi makan keluarga. Mereka mencari kehidupan yang lebih baik."
Khairullah, dari kelompok minoritas Sunni di Irak, mengatakan ia melarikan diri dari Mosul sekitar dua tahun lalu dengan istri dan dua putra mereka. Kota di Irak itu dibebaskan bulan lalu dari cengkeraman kelompok ISIS yang merebutnya musim panas 2014.
"Saya ingin keluar (dari Irak) karena di sana hidup saya sangat berbahaya. Mungkin saya mati, istri saya juga. Mungkin saja salah satu anakku," ujar Khairullah yang dulu mengelola sebuat tempat cukur di Irak.
Khairullah mengatakan tidak sanggup hidup di Turki dan Yordania, namun seorang teman meyakinkannya bahwa kamp-kamp di Indonesia layak, dengan dua kamar untuk setiap keluarga, uang dan makanan.
"Ketika saya datang ke sini, saya pergi ke kamp, tapi hanya ada satu kamar, kamar kecil, tidak ada uang, makanan tidak enak. Saya tidak bisa tinggal di sana."
Sekarang keluarga itu, dengan penambahan satu anak perempuan yang lahir di Indonesia, menunggu hasil wawancara pengungsi yang mereka lakukan lima bulan lalu.
Khairullah mengatakan kakak perempuannya di Irak mengirim US$300 per bulan, tapi tidak selalu karena kondisi yang kacau di negara itu.
"Sekarang kita lihat berita Trump. Tidak ada Muslim. Jangan datang, Muslim," ujar Khairullah.
"Anda tahu, saya tidak bisa tidur, hanya berpikir. Bagaimana dengan masa depan saya? Untuk saya tak masalah. Tapi bagaimana dengan masa depan anak-anak saya? Bagaimana dengan anak perempuan saya yang tidak punya identitas? Bagaimana dengan mereka? Saya tidak tahu harus bagaimana," keluh Khairullah.