Liputan6.com, Jakarta Pada Minggu malam 29 Januari 2017, Alexandre Bissonnette, seorang mahasiswa 27 tahun berkebangsaan Prancis-Kanada dilaporkan melepaskan tembakan di sebuah masjid di Kota Quebec.
Akibatnya, lima jemaah yang sedang menunaikan ibadah Salat Isya meninggal dunia, sembilan lainnya luka-luka.
Advertisement
Baca Juga
Seperti dikutip dari CNN, Sabtu (4/2/2017), tak ada reaksi dari Donald Trump. Ia tak mencuit lewat Twitter atau menyampaikan sikap secara langsung terkait insiden tersebut.
Beberapa hari kemudian, pada Jumat pagi 3 Februari 2017, seorang pria di Museum Louvre diduga berseru, 'Allahu Akbar' dan menyerang sekelompok tentara dengan parang. Seorang serdadu terluka karenanya.
Hanya dalam hitungan jam, Trump mencuit di Twitternya, menyebut tersangka penyerangan sebagai 'teroris Islam radikal'.
Donald Trump juga mengimbau warga Amerika Serikat untuk 'bersikap cerdas' -- yang ditulis dalam huruf kapital.
Reaksi Trump yang kontras terkait dua serangan memicu dugaan, ia menerapkan standar ganda.
Pertanyaan pun muncul, apakah latar belakang tersangka dan korban mempengaruhi respons sang presiden.
Daniel Dale, koresponden The Toronto Star di Washington DC adalah satu dari sekian banyak jurnalis yang membandingkan reaksi cepat Trump terkait serangan di Louvre dengan pilihan miliarder nyentrik itu untuk membisu soal teror di Masjid Quebec.
"Cuitan yang cepat soal serangan di luar negeri yang melukai 1 orang. Trump pribadi belum angkat bicara terkait pembunuhan 6 Muslim di Quebec," kata Dale, dalam Twitternya @ddale8.
Sementara, Juru Bicara Gedung Putih Sean Spicer, dalam sebuah briefing harian sehari setelah serangan di Quebec mengatakan, Presiden Trump telah menghubungi PM Kanada Justin Trudeau lewat telepon untuk mengucapkan duka cita.
Menurut Spicer, Trump meminta Trudeau "berhati-hati untuk menarik kesimpulan tentang motif penyerangan."
Dua Penyerangan
Dalam serangan Louvre, pelaku dilaporkan bergegas menuju sekelompok tentara dan penjaga sambil mengacungkan parang.
Ia kemudian ditembak oleh seorang tentara, lalu dibekuk. Tidak ada dokumen identitas yang ditemukan pada tubuh tersangka.
Sementara itu, penembakan di Quebec Islamic Cultural Center lebih destruktif dan acak.
Saksi mata mengatakan, pelaku memberondongkan senjata tanpa pandang bulu ke arah kerumunan jemaah di dalam masjid -- pria, perempuan, juga anak-anak.
Tersangka dalam serangan Quebec, Alexandre Bissonnette, adalah warga negara Prancis-Kanada berusia 27 tahun yang dikenal karena pandangannya yang mendukung sayap kanan -- seperti yang diunggahnya dalam dunia maya. Ia dilaporkan mengagumi Donald Trump.
"Menurutku, dia adalah seorang yang xenophobia," kata Vincent Boissoneault, teman sekelasnya kepada Globe and Mail. "Kupikir ia tak benar-benar rasis, tapi ia terpesona oleh gerakan nasionalis yang menjurus pada rasialis."