Liputan6.com, Washington, DC - Kemesraan antara Donald Trump dan Barack Obama yang ditunjukan dalam acara pelantikan Presiden ke-45 Amerika Serikat sirna sudah.
Donald Trump kini justru melayangkan tuduhan serius pada Obama. Menuduh sang pendahulu itu menyadap telepon kantornya selama masa kampanye 2016.
Baca Juga
Seperti dikutip dari CNBC, Sabtu (4/3/2017), tudingan Trump dilayangkan dalam Twitter pribadinya @realDonaldTrump, bukan di akun resmi Presiden Amerika Serikat @POTUS--Â yang diwarisinya dari Obama.
Advertisement
"Mengerikan! Baru saja terkuak bahwa Obama 'menyadap jaringan telepon' di Trump Tower sebelum kemenanganku. Tak ada yang ditemukan. Ini adalah bentuk McCarthyisme!," kata Trump Sabtu pagi waktu setempat.
Istilah 'McCarthyism' yang diucap Trump merujuk pada praktik upaya anti-komunis Senator AS dari Partai Republik Joseph McCarthy dari Wisconsin pada periode 1950-1954.
Sejumlah orang yang tertuduh terkait Partai Komunis masuk daftar hitam bahkan kehilangan pekerjaan, meski tak ada bukti keterlibatan mereka.
Istilah ini mulai digunakan secara umum untuk menyebut tuduhan sembrono tanpa dasar pada saingan politik.
Donald Trump kembali melontarkan tuduhannya di Twitter. "Apakah legal bagi presiden yang masih menjabat untuk 'menyadap' capres sebelum pilpres?"
Trump juga menyamakan apa yang dia tuding dilakukan Obama seperti Watergate.
Ia lebih lanjut menuding Obama orang yang 'jahat atau sakit'.
Meski berapi-api menyerang Obama, belum ada bukti atau informasi yang disajikan Trump.
Sebelumnya, pada Kamis 2 Maret 2017 sebuah radio konservatif membuat klaim tentang langkah-langkah yang diambil pemerintahan Obama untuk memengaruhi Pilpres 2016.
Komentar itu diikuti media sayap kanan ekstrem, Breitbart, yang mempublikasikan artikel yang mengklaim pemerintah Obama menguping kampanye Trump.
Komentar penuh tudingan Trump disampaikan di tengah mencuatnya kontroversi terkait potensi kontak yang dilakukan tim kampanyenya dengan pejabat Rusia.
Pihak Kremlin selama ini dituding telah mengintervensi Pilpres AS.
Dampak dari badai politik itu memaksa Jeff Sessions, yang baru saja terpilih jadi Jaksa Agung AS, mundur terkait dugaan pertemuannya dengan Dubes Rusia.
Bulan lalu, penasihat keamanan nasional Gedung Putih, Michael Flynn, terpaksa mundur karena alasan yang sama.