Usia 90 Tahun, Veteran Perang Dunia II Putuskan Jadi Transgender

Patricia Davies, sempat menjalani hidupnya sebagai laki-laki bernama Peter dan jadi tentara Ia menyadari dirinya wanita di usia tiga tahun.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 31 Mar 2017, 13:00 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2017, 13:00 WIB
Patricia Davies, Veteran Perang Dunia II Yang Merupakan Transgender. (Independent).
Patricia Davies, Veteran Perang Dunia II Yang Merupakan Transgender.

Liputan6.com, Leicestershire - Seorang veteran Perang Dunia II telah melakukan proses transisi menjadi perempuan, pada usia 90 tahun.

Patricia Davies, yang sempat menjalani hidupnya sebagai laki-laki bernama Peter, telah menyadari dirinya seorang perempuan sejak usia tiga tahun.

"Aku sadar aku seorang transgender sejak usia tiga tahun...dan lebih memilih dipanggil dengan nama Patricia ketimbang Peter," ujar Patricia Davies, seperti yang dikutip Independent, Jumat, (31/3/2017).

Nyonya Davies--panggilannya sekarang--pernah menjadi anggota tentara Inggris pada tahun 1945 hingga 1948. Selesai menjalani masa dinas militernya, ia berkarir hingga pensiun di industri fotografi.

Dulu Nyonya Davies takut membuka diri sebagai seorang perempuan. Pada masa lalu, transgender cenderung dikucilkan masyarakat. Dan jika diketahui seseorang membuka diri sebagai perempuan, hukumannya adalah terapi kejut listrik.

Karena ketakutan itu, Nyonya Davies terpaksa hidup sebagai seorang laki-laki. Ia menikah pada usia 21 tahun dengan seorang perempuan. Empat puluh tahun setelah pernikahannya, barulah veteran Perang Dunia II itu membuka diri tentang gendernya kepada sang istri.

"Usiaku 60 tahun saat mencurahkan preferensiku pada. Istriku sangat simpatik dan menolongku dalam melakukan transisi. Tapi kami sepakat untuk bungkam kepada orang lain," ujar Davies. 

Pada saat itu, Nyonya Davies mulai menggunakan sepatu hak tinggi, pemberian mendiang istrinya. Namun, ia sempat mendapat perlakuan tak menyenangkan dari masyarakat sekitar. 

Sekarang, Nyonya Davies makin mantap dengan kata hatinya. Ia mulai melakukan terapi estrogen. Pelan-pelan ia mulai membuka diri kepada tetangga dan teman-teman dekatnya. Mereka pun merespon positif.

"Sudah lama aku bungkam. Dan sekarang, rasanya beban dipundakku telah hilang. Aku merasa lebih hidup," imbuhnya.

"Aku tergabung dengan the Women's Institute. Mereka membantuku dalam bersosialisasi dan memberikanku tujuan baru dalam hidup," tambah Nyonya Davies.

Nyonya Davies mulai lantang akan preferensinya sejak ia menyaksikan filem Boy Meets Girl yang berkisah kehidupan perempuan transgender di Kentucky, AS. Meningkatnya paparan isu transgender dalam seni dan media telah banyak membantu orang-orang seperti Nyonya Davies mulai terdorong untuk membuka diri. 

"Memang tak 100 persen aman, namun sekarang lebih baik untuk membuka diri ketimbang saat aku muda dulu," tutup Davies. 

 

 

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya