5 Penampakan Kapal Perang Sebelum Karam di Laut Jawa dan Dijarah

Pertempuran Laut Jawa jadi momentum kekalahan besar bagi pihak Sekutu. Kapal-kapal yang karam kini bahkan dijarah.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 01 Apr 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2017, 18:00 WIB
Laut Jawa menjadi medan pertempuran besar di tengah Perang Dunia II
Laut Jawa menjadi medan pertempuran besar di tengah Perang Dunia II (Wikipedia/Public Domain)

Liputan6.com, Jakarta - Pertempuran Laut Jawa (Battle of the Java Sea) selamanya akan dikenang sebagai salah satu momentum kekalahan besar -- sekaligus memalukan -- pihak Sekutu dalam Perang Dunia II.

Kala itu, pada 27 Februari 1942, armada Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Australia (ABDA) bersatu mencegat Jepang yang merangsek maju ke Hindia Belanda -- cikal bakal Indonesia.

Namun, Sekutu akhirnya dipermalukan. Jepang menenggelamkan tiga kapal perusak (destroyer) dan dua kapal penjelajah (cruise), tanpa mengorbankan satu kapal pun milik pihak Negeri Sakura.

Formasi pesawat militer Jepang saat melancarkan serangan di Laut Jawa (Wikipedia/Public Domain)

Tak hanya itu, serangan massif Jepang, dari laut serta udara, menewaskan 2.300 orang di pihak Sekutu, termasuk komandan ABDA Karel Doorman yang berada di HNLMS De Ruyter.

HNMLS De Ruyter, salah satu kapal milik Belanda yang karam dalam Pertempuran di Laut Jawa (Wikipedia/Public Domain)

Itu mengapa, lokasi tenggelamnya kapal-kapal tersebut dianggap sebagai 'kuburan perang', tempat peristirahatan terakhir mereka yang gugur. 

Pertempuran Laut Jawa hanya berhasil menunda invasi Jepang atas Jawa dan Hindia Belanda untuk satu hari saja.

Pada November 2016 lalu, 75 tahun kemudian, sebuah tim penyelam internasional bertolak ke Jawa. Mereka berniat menyaksikan situs tenggelamnya sejumlah kapal perang Belanda selama Perang Dunia II.

Seperti dikutip dari The Vintage News, Sabtu (1/4/2017), tim berencana meletakkan semacam plakat dalam rangka memperingati momentum karam yang terjadi di tengah pertempuran yang terjadi pada 27 Februari 1942.

Namun, anggota tim kaget bukan kepalang. Kapal-kapal tersebut raib. Padahal di lokasi itulah, sejumlah penyelam amatir menemukan keberadaan mereka pada 2002 lalu.

Kuburan Perang yang Terusik

 

Ada dalam daftar bangkai kapal yang dijarah adalah kapal penjelajah HNMLS De Ruyter dan HNLMS Java.

Penampakan HNLMS Java, kapal perang Belanda sebelum karam di Laut Jawa (Wikipedia/Public Domain)

Kapal perusak HNLMS Kortenaer juga tenggelam setelah dibombardir pasukan Jepang.

Tampilan HNLMS Kortenaer, kapal perang Belanda sebelum karam di Laut Jawa (Wikipedia/Public Domain)

Dua bangkai kapal Inggris juga lenyap. Berdasarkan investigasi, kapal Amerika Serikat USS Perch juga hilang -- diduga dipreteli dan diperlakukan sebagai barang rongsokan.

Kapal perang Amerika Serikat USS Perch diduga hilang karena dipreteli para penjarah (Wikipedia/Public Domain)

Penjarahan bangkai kapal tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pada tahun 2014, Angkatan Laut Amerika Serikat menemukan gangguan terhadap bangkai kapal USS Houston -- di mana paku keling dan jendela kapal (porthole) diambil.

Angkatan Laut Amerika Serikat menemukan gangguan terhadap bangkai USS Houston (Wikipedia/Public Domain)

Amunisi tua yang ada di kapal tersebut juga tercerai berai, beberapa hilang diambil maling.

Besi tua dari bangkai kapal-kapal tersebut dianggap 'harta karun' bagi para penjarah. Misalnya, baling-baling dari kapal berukuran besar bisa dihargai mahal, nilainya mencapai US$ 40 ribu atau Rp 533 juta.

Menurut pembongkar kapal (shipbreakers) yang beroperasi di dekat lokasi mengatakan, kompresor adalah perangkat penting untuk menyimpan udara yang dibutuhkan untuk bekerja di kedalaman tempat kapal berada.

Juga tak kalah penting adalah las bertenaga listrik, serta crane untuk mengangkat bagian bangkai kapal.

Karena biaya yang dibutuhkan untuk mengangkat kapal-kapal itu dari dasar laut sangat besar, pejabat dari negara-negara terkait bekerja sama dengan pihak Indonesia untuk melindungi bagian kapal yang tersisa. Terutama dari para penjarah.

Para pemulung, yang mengaku sebagai nelayan, menggunakan selang karet panjang untuk bernapas di dalam air, beroperasi di sekitar laut Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Mula-mula mereka mencuri aluminium, baja, dan kuningan. Baling-baling juga salah satu bagian pertama yang diambil -- sebelum akhirnya mempreteli seluruh bagian kapal. 

Bangkai kapal itu sejatinya adalah properti milik Indonesia. Dan adalah tindakan ilegal untuk mengambil apa yang ada di sana tanpa izin.

Kabar hilangnya kapal menjadi kabar buruk bagi para veteran yang selamat dari bahtera-bahtera tersebut. Tentunya juga untuk keluarga korban pertempuran yang jasadnya masih terbaring di Laut Jawa. 

Sebab, mereka menganggap kapal tersebut sebagai kuburan perang yang seharusnya dibiarkan damai. 

Mengetahui kabar pencurian itu, Belanda murka dan menganggap tindakan penodaan terhadap kuburan perang sebagai pelanggaran yang sangat serius. "Mengusik kuburan perang merupakan pelanggaran serius," kata Kemhan Belanda.

Pihak Inggris melaporkan hal serupa. Pemerintah Britania Raya mengaku 'tergugah' dengan laporan Belanda dan sedang melakukan investigasi soal nasib kapal mereka yang kini tak diketahui.

Menanggapi hilangnya peninggalan PD II tersebut, Kemhan Inggris mengatakan mereka telah menghubungi pihak Indonesia.

"Banyak nyawa hilang selama pertempuran itu dan kami sangat berharap situs tersebut 'dihormati' dan tidak ganggu terutama tanpa izin dari Inggris," kata juru bicara Kemhan Inggris seperti dikutip dari Guardian.

John Schwarz, yang ayahnya adalah pendiri USS Houston Survivors’ Association menganggap, penodaan kapal perang mirip dengan tindakan seseorang pergi ke kuburan, menggali peti mati dan mencurinya. 

Theo Doorman, anak dari Laksamana Karel Doorman yang memimpin armada Belanda dalam Pertempuran Laut Jawa, ikut dalam dalam ekspedisi pencarian bangkai kapal.

Pria 82 tahun itu mengatakan, dia tidak percaya apa yang dilihatnya. Tidak ada puing kapal ayahnya, yang tertinggal hanyalah 'lubang' di tempat bahtera itu seharusnya berada.

Padahal, bagi Theo, di sanalah makam sang ayah. "Aku sedih. Tidak marah, karena emosi tidak akan menghasilkan apapun. Aku hanya sedih," kata dia.

"Selama berabad-abad tradisi tidak mengganggu kuburan kapal laut ditegakkan. Tapi kini yang terjadi sebaliknya," kata Theo.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya