AS Serang Suriah dengan 59 Misil, Perang Terbuka Diramalkan Pecah

Presiden Donald Trump mengonfirmasi lakukan serangan balasan ke Suriah sebagai respon atas serangan senjata kimia keji di Idlib.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 07 Apr 2017, 13:16 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2017, 13:16 WIB
Misil AS Serang Suriah. (US Navy/AP)
Misil AS Serang Suriah. (US Navy/AP)

Liputan6.com, Washington, D. C. - Presiden Donald Trump mengonfirmasi sahkan operasi serangan 59 misil kendali jarak jauh (cruise missile) AS yang ditargetkan pada bandar udara militer Suriah pada Kamis waktu setempat. Misil-misil itu menandai bentuk balasan AS atas serangan senjata kimia keji di Idlib, Suriah, pada 4 April 2017 lalu. 

Serangan misil itu menandai intervensi militer langsung (direct military intervention) Negeri Paman Sam, yang pada 6 tahun sebelumnya lebih memilih untuk melakukan intervensi tidak langsung--berupa kebijakan--pada Perang Suriah.

Operasi ini juga semakin tegaskan oposisi AS kepada rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad dan para koalisinya yang terdiri dari Rusia dan Iran. Risiko AS untuk terlibat perang terbuka dengan Rusia dan Iran juga semakin meningkat.

Presiden Trump menjelaskan bahwa serangan tersebut "vital bagi keamanan nasional AS. Dan, meminta agar negara-negara bermartabat untuk bergabung menghentikan pembantaian dan pertumpahan darah di Suriah, serta menghentikan segala bentuk terorisme."

"Kami memohon kebajikan Tuhan saat kita harus menghadapi dunia yang penuh masalah ini," tambah Presiden Trump seperti yang dikutip oleh The Washington Post, Kamis, (6/4/2017). 

Trump juga menambahkan, "Kami mendoakan mereka yang masih hidup, yang sedang terluka, dan yang telah meninggal. Kami berharap selama Amerika masih menegakkan keadilan, damai dan harmoni akan tercipta."

Ke-59 misil kendali jarak jauh itu diluncurkan dari dua kapal laut AS jenis penghancur (destroyer class ship), yakni USS (United States Ship) Ross dan USS Porter. Dua kapal itu berlayar di Mediterania timur. Semua misil yang ditembakkan dari kedua kapal itu menghujam bandar udara militer Shayrat  dan sekitarnya yang berada di Provinsi Homs.

Bandara Shayrat diduga kuat sebagai landasan pacu bagi pesawat nahas pembawa misil terkutuk yang menyerang Idlib pada Selasa, 4 April lalu. Misil itu juga mengenai fasilitas militer di sekitar Bandara Shayrat, seperti artileri pertahanan udara, beberapa pesawat, hangar, dan tangki bahan bakar.

Sebagian Mengenai Fasilitas Militer Rusia

Militer AS mengklaim serangan tersebut berhasil meluluhlantakkan sebagian besar fasilitas dan alutsista militer Suriah di Shayrat. Beberapa misil juga mengenai sejumlah fasilitas militer Rusia yang berada tak jauh dari Shayrat. Ini merupakan dampak di luar perhitungan AS yang hanya menargetkan serangan khusus pada fasilitas Suriah.

Juru bicara Pentagon, Kapten AL Jeff Davis menjelaskan bahwa sebelum serangan, atase AS telah mengabarkan kepada Rusia bahwa Negeri Paman Sam akan melakukan serangan di Shayrat.

Operasi serangan misil ini diprediksi akan membahayakan kondisi personel tentara infanteri AS yang berdinas di Raqqa, Suriah sebagai penasihat militer kelompok oposisi al-Assad dan militan anti-ISIS.

Serangan ini menandai intervensi langsung militer AS pada situasi perang sipil di Suriah. Sebelumnya Negeri Paman Sam memilih untuk 'menjaga jarak' dan hanya memusatkan perhatiannya pada penumpasan ISIS. 

Dan, langkah intervensi ini dinilai cepat di mata dunia, karena hanya berjarak 48 jam sejak senjata kimia menghujam Idlib Suriah yang menimbulkan ratusan korban jiwa dan luka. Intervensi ini diduga dirancang oleh staf Gedung Putih dan beberapa pejabat tinggi, seperti Sekretaris Pertahanan Jim Mattis, Sekretaris Luar Negeri Rex Tillerson, dan penasihat pertahanan Gedung Putih Letjen AD H. R. McMaster.

US Central Command (gugus tugas militer AS untuk wilayah operasi Timur Tengah) selama bertahun-tahun telah mempersiapkan rencana penyerangan militer ke Suriah dan memiliki beberapa aset di negeri itu.

Pada tahun 2014, administrasi kepresidenan Barack Obama telah melakukan operasi militer di Suriah. Namun, operasi tersebut hanya membatasi penyerangan terhadap ISIS, bukan kepada militer al-Assad, yang diduga telah melakukan serangan senjata kimia sejak tahun 2014.

Namun, semua itu berubah sejak serangan senjata kimia pada Selasa, 4 April 2017 lalu. Kini, AS nampak menegaskan intervensi militernya kepada Suriah. 

Risiko Perang Terbuka

Keterlibatan AS menentang al-Assad secara terbuka kini semakin memperkeruh situasi di Suriah. Hingga 2017, sejumlah negara telah terlibat dalam konflik di negeri pimpinan rezim al-Assad itu. Meski beberapa negara hanya berfokus untuk melakukan penumpasan terhadap ISIS, seperti Turki, namun sejumlah negara secara terang-terangan mendukung rezim al-Assad, seperti Rusia dan Iran.

Intervensi AS mampu meningkatkan risiko perang terbuka dari sejumlah negara ini di Suriah. 

Sejumlah hal itu yang membuat beberapa atase pemerintah memikirkan dengan sangat hati-hati atau bahkan menentang untuk melakukan intervensi langsung ke Suriah. 

Rex Tillerson misalnya. Sekretaris Luar Negeri AS itu menjelaskan bahwa AS akan mempertimbangkan untuk melengserkan al-Assad, namun dengan cara yang belum diungkap ke publik. Namun, di sisi lain, sekretaris bidang pers Donald Trump untuk Gedung Putih sempat menjelaskan bahwa dunia harus menerima situasi politik di Suriah. 

"Kami mempertimbangkan respon yang pantas terhadap serangan kimia itu...itu urusan yang sangat serius dan membutuhkan respon yang serius pula," kata Tillerson saat hadir pada pertemuan Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping di Mar-a-Lago.

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya