Gadis Cilik 9 Tahun Menggugat Pemerintah India

Seorang gadis 9 tahun tuntut pemerintah India untuk kasus perubahan iklim.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Apr 2017, 12:01 WIB
Diterbitkan 10 Apr 2017, 12:01 WIB
Ilustrasi Pencemaran Udara (AP)
Ilustrasi Pencemaran Udara (AP)

Liputan6.com, New Delhi - Seorang gadis berusia 9 tahun mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah India karena telah gagal mencegah perubahan iklim dan pencemaran udara.

Bocah itu mengingatkan pemerintah bahwa generasi muda bangsa akan terkena dampak buruk atas tindakan pemerintah yang abai pada kedua isu itu.

Pada sebuah petisi Mahkamah Nasional Untuk Urusan Lingkungan India, Ridhima Pandey, gadis berusia 9 tahun, melakukan tuntutan hukum kepada pemerintah karena telah gagal melakukan implementasi undang-undang lingkungan.

"Sebagai seorang anak muda, ia merupakan bagian kelas masyarakat India yang paling rentan merasakan dampak perubahan iklim, namun ia tidak menjadi bagian dari proses pembuatan keputusan...ia menuntut pemerintah untuk mengambil langkah berbasis ilmu pengetahuan untuk mengurangi dan meminimalisasi dampak buruk perubahan lingkungan," tulis petisi itu seperti yang dikutip The Guardian, Jumat, (7/4/2017).

Pandey juga menjelaskan, "Pemerintahku telah gagal mengambil langkah untuk meregulasi dan mengurangi efek emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan perubahan iklim. Ini akan memberikan dampak buruk bagiku dan generasi muda yang akan datang. Pemerintahku juga punya potensi untuk mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis fosil, karena mereka abai, maka aku mengadukan hal ini kepada pengadilan lingkungan."

Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Perubahan Iklim serta Dewan Pusat Kontrol Polusi India diminta oleh pengadilan untuk segera memberikan respon hukum dalam waktu dua minggu.

India dan Tiongkok merupakan dua dari sepuluh negara penyumbang polusi udara terbesar di dunia. Menurut penelitian terbaru, keduanya berperan dalam separuh angka kematian akibat polusi udara pada tahun 2015.

Selain itu, menurut data yang dilansir Greenpeace pada Januari 2017, sekitar 1,2 juta penduduk India tewas setiap tahun dengan konsentrasi polutan udara yang tinggi yang terkandung dalam tubuh, seperti debu, spora-spora jamur, arsenik, timbal, nikel, dan kromium yang bersifat karsinogen (menyebabkan kanker). 

Menteri Lingkungan Hidup India menilai bahwa data-data itu inkonklusif serta tidak lengkap. 

"Data itu tidak lengkap sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan yang membuktikan korelasi antara polusi udara dan tingginya angka kematian penduduk India," ujar Anil Madhav Dave, Menteri Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Perubahan Iklim India. 

Meski telah banyak hukum yang dibuat untuk melindungi sejumlah hutan, pembersihan sungai, dan meningkatkan kualitas udara di India, namun para pengamat menilai bahwa implementasi hukum itu sangat buruk. Pemerintah dinilai cenderung lebih mengedepankan kebijakan pertumbuhan ekonomi ketimbang kebijakan lingkungan.

Bencana alam yang disebabkan perubahan iklim pernah terjadi pada tahun 2013, yakni banjir dan longsor di Provinsi Uttarakhand, dekat Himalaya, yang juga merupakan tempat tinggal Pandey. Kerusakan akibat bencana itu memicu bocah 9 tahun itu untuk melakukan tindakan nyata terhadap isu perubahan iklim.

"Untuk seseorang yang masih muda, ia sangat peka dengan isu perubahan iklim dan sangat memberikan perhatian khusus tentang dampaknya di masa depan. Ia mau melakukan sesuatu yang berarti dan kami menyarankan agar ia membuat petisi melawan pemerintah," ujar Rahul Choudary, penasihat hukum Pandey. 

Pada petisinya, Pandey meminta pengadilan untuk memerintahkan pemerintah agar membuat 'carbon budget', sebuah protokol pengurangan emisi karbon dioksida bagi industri besar, dan rencana pemulihan iklim nasional.

"Gadis muda itu melakukan banyak hal untuk menarik perhatian pemerintah agar melakukan tindakan nyata pada isu lingkungan," tutup Choudary. 

Saat ini, India yang menandatangi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim wajib melakukan subtitusi bahan bakar fosil dengan tenaga listrik sebanyak 40% hingga tahun 2030.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya