Pilpres 2017 Diprediksi Ancam Instabilitas Politik Prancis?

Pemilihan Presiden Prancis akan dimulai pada Minggu, 23 April 2017. Diprediksi akan mengubah drastis peta politik Prancis.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 23 Apr 2017, 14:50 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2017, 14:50 WIB
Kandidat Pilpres Prancis 2017 (AP)
Poster kandidat Pilpres Prancis 2017 (AP)

Liputan6.com, Paris - Pemilihan Presiden Prancis akan dimulai pada Minggu, 23 April 2017. Dan, sejumlah jurnalis yang mewartakan pesta demokrasi itu melaporkan bahwa, siapapun kandidat yang menang, pilpres 2017 itu akan menyisakan instabilitas politik bagi Prancis.

Faktor pertama yang menyebabkan munculnya dugaan tersebut adalah dari 11 kandidiat yang maju pada bursa pemilihan, hanya empat diantaranya yang dianggap serius untuk menduduki kursi kepresidenan di Istana Elysee. Keempat calon itu antara lain Jean-Luc Melenchon, Emmanuel Macron, Francois Fillon, dan Marine Le Pen.

Faktor kedua adalah munculnya Marine Le Pen sebagai salah satu kandidat kuat. Kehadiran Le Pen--yang disebut oleh jurnalis sebagai 'Trump versi Prancis' karena pandangan politik 'kanan'-nya yang proteksionis, anti-Eropa, anti-imigran, dan mendahulukan kepentingan Prancis ketimbang hubungan bilateral maupun multilateral--menjadi momok khusus bagi pemilih.

Kondisi dilema bagi kalangan pemilih semakin bertambah ketika terjadi peristiwa teror dan penembakan polisi di Champs-Elysees, Paris, pada April 2017. Peristiwa ini membuat posisi Partai Sosialis Prancis dan kandidat populernya, Benoit Hamon, melemah pada bursa Pilpres 2017.

Jika Hamon kalah pada pilpres 2017, satu-satunya harapan bagi Partai Sosialis Prancis untuk meningkatkan status politiknya adalah dengan sebanyak mungkin memenangi kursi parlementer pada pemilihan legislatif. Namun, langkah itu pun hanya mampu membuat mereka sebagai pihak oposisi yang lemah untuk menghadapi kursi parlemen pro-presiden terpilih yang kemungkinan besar akan dimenangi oleh kandidat non-sosialis.

Bahkan, kini ada dugaan yang sangat kuat bahwa pemilih dari kubu sosialis akan menggunakan suaranya untuk mendukung Jean-Luc Melenchon. Hal ini dilakukan oleh pemilih sosialis untuk mencegah tiga kandidat kuat lain--Macron (independent sentris), Le Pen (kanan-konservatif), dan Fillon (kanan-konservatif)--untuk meraih suara terbanyak. Jika ini terjadi, maka Benoit Hamon akan kalah telak pada pilpres. Karena sumber pendanaan Hamon banyak berasal dari partai, kekalahannya akan berdampak pada kebangkrutan Partai Sosialis Prancis.

Empat kandidat kuat Pilpres Prancis 2017 (dari kiri ke kanan) Jean-Luc Melenchon, Emmanuel Macron, Francois Fillon, dan Marine Le Pen (AP)

"Skenario itu mungkin. Banyak terdengar kini pemilih sosialis mempertimbangkan untuk memilih Melenchon atau Macron. Hammon bisa kehilangan suara sangat besar dan hanya mampu meraih total suara di bawah 5%. Hal itu akan menjadi masalah bagi Partai Sosialis," kata Marc-Olivier Padis, pengamat politik dari Terra Nova, lembaga kajian berbasis di Paris, seperti yang dikutip The Guardian, Minggu (23/4/2017).

Kini, hasil pilpres 2017 diduga akan banyak menguntungkan kubu sentris-moderat dengan Macron dan Melenchon sebagai dua kandidat. Sementara itu, kubu Nasionalis dan Sosialis diprediksi akan mengalami kekalahan dan tidak mampu melanjutkan hingga putaran kedua. Jika ini terjadi, seluruh lanskap perpolitikan Prancis akan berubah drastis.

Sejak Revolusi Prancis 1789-1799, Negeri Mode itu selalu dipimpin oleh pemimpin dari kubu nasionalis-kanan atau kubu sosialis-kiri. Situasi itu dinamakan sebagai clivage gauche-droite (left-right politics). Sehingga, jika terpilih, masing-masing poros politik beserta kandidat presidennya mampu menjadi manifestasi Prancis pada kancah perpolitikan domestik dan internasional, yakni sosialis atau nasionalis, keteraturan atau reformasi.

"Sejak bibit kemundurannya yang dimulai pada tahun 2002, Partai Sosialis kini tak punya struktur yang kuat, tujuan, dan kehormatan...Selama berabad-abad, PS telah memimpin kiri, namun kini nampaknya muncul kekuatan politik baru. Macron adalah akar kekuatan itu, ia fenomenal. Sehingga membuat Prancis kini tak lagi 'kiri' atau 'kanan'," ujar Pascal Perrineau, pakar politik Prancis.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya