Liputan6.com, Paris - Pemungutan suara putaran pertama Pilpres Prancis 2017 dilaporkan sedang berlangsung pada Minggu, 23 April 2017 waktu setempat.
Pesta demokrasi ini dinilai oleh para pengamat sebagai titik krusial masa depan Negeri Mode yang dapat berdampak pada instabilitas politik domestik dan menggoyahkan posisi Prancis di Uni Eropa, seperti yang diwartakan The Guardian, Minggu (23/4/2017).
Hajat tersebut juga diselimuti oleh tensi keamanan tinggi. Dua hari sebelumnya, serangan teror yang diklaim oleh ISIS sempat melanda Paris di Champs-Elysees.
Advertisement
Pemilu putaran pertama bertujuan untuk menyaring 11 kandidat capres menjadi dua kandidat dengan suara tertinggi. Putaran kedua akan berlangsung pada 7 Mei 2017 untuk menentukan presiden dari dua kandidat yang sudah disaring pada putaran pertama.
Pesta demokrasi edisi tahun ini banyak didominasi oleh wacana politik dari aspek ekonomi, lapangan pekerjaan, imigrasi, dan identitas nasional. Berdasarkan hasil poling independen, hanya 4 dari 11 kandidat yang menunjukkan sepak terjang yang ciamik dalam menangani empat wacana politik utama tersebut selama kampanye.
Keempat kandidat unggulan tersebut antara lain Emmanuel Macron, politisi independen berideologi sentris; Marine Le Pen, politisi kanan-ekstrem pemimpin Front National; Francois Fillion, politisi konservatif; dan Jean-Luc Melenchon, politisi kiri-ekstrem.
Selain itu, para preferensi politik para pemilih terbagi menjadi beberapa kubu, yakni populist, nativist, dan anti-establishment. Kubu preferensi politik pada Pilpres Prancis 2017 ini serupa dengan preferensi masyarakat Inggris pada referendum Brexit dan masyarakat Amerika Serikat pada Pilpres 2016.
Diprediksi, jika Le Pen dan Melenchon terpilih menjadi presiden, Prancis juga akan mengalami nasib serupa Inggris di Uni Eropa.
Di sisi lain, jika Macron atau Fillon terpilih menjadi presiden, diprediksi perekonomian Prancis akan ikut terseret dalam pusaran kelam perekonomian Uni Eropa. Kedua kandidat menyatakan keinginannya untuk memperbaiki hubungan perekonomian Negeri Mode dengan persekutuan negara-negara Eropa tersebut.
Media lokal melaporkan bahwa pemungutan suara di negara aneksasi, bekas jajahan, serta negara dengan banyak warga negara Prancis telah dilakukan sehari lebih awal pada Sabtu, 22 April 2017.
Pada hari pemungutan di Negeri Mode yang saat ini berstatus siaga 1, sekitar 50.000 polisi dan 7.000 tentara melakukan penjagaan. Tindakan ini sekaligus meningkatkan keamanan Paris dan kota lain yang terancam untuk kembali menjadi sasaran teror.
Sejumlah kandidat memanfaatkan serangan teror yang telah terjadi sebelumnya sebagai tuas untuk mendongkrak elektabilitasnya. Le Pen dengan tegas menyatakan dirinya akan menjadi proteksionis jika terpilih menjadi presiden, menjaga ketat perbatasan, dan mendeportasi imigran ilegal. Fillon akan menerapkan kebijakan 'tangan besi' untuk isu serupa. Sementara itu, Macron justru memanfaatkan respons Le Pen dan Fillon untuk menyatakan bahwa dirinya tidak akan gegabah dan takut atas serangan teror seperti yang dilakukan oleh kandidat lain.
Survey terbaru yang dilaksanakan jelang pemilu menunjukkan bahwa hasil diprediksi tak menentu. Kemungkinan Prancis untuk dipimpin oleh kandidat ekstrem-kiri, ekstrem-kanan, sentris, atau bahkan politisi pemula, sangat terbuka lebar.