Nasib Tragis 3 WN AS yang Ditahan di Penjara Korea Utara

Di tengah memanasnya hubungan AS-Korut, seorang WN Amerika ditangkap. Ia menjadi orang ketiga yang dibui di penjara Negeri Kim Jong-un.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 26 Apr 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2017, 18:00 WIB
Nasib Tragis 3 WN AS yang Ditahan di Penjara Korea Utara
Nasib Tragis 3 WN AS yang Ditahan di Penjara Korea Utara (AP dan Sosial Media)

Liputan6.com, Pyongyang - Menurut gambaran orang Amerika yang pernah ditahan di Korea Utara, kondisi tempat penahanan mereka boleh dibilang kurang layak. Sel penjaranya kecil, dengan sedikit makanan atau air dan bahkan kurang cahaya.

Lalu setelah dijebloskan ke penjara, alur cerita hidup mereka di bui sepeti sudah ditakdirkan: Sebuah pengakuan paksa, persidangan dan hukuman kerja paksa selama bertahun-tahun dengan sedikit kesempatan banding.

Gambaran itu pula mungkin yang kini ada di benak Tony Kim atau Kim Sang-duk, WN AS yang ditangkap pada Sabtu 22 April lalu. Dengan penangkapannya, ia menjadi orang ke tiga warga Amerika yang saat ini ditahan di Korea Utara.

Yang lainnya adalah Otto F. Warmbier dan Kim Dong-chul.

Bagaimanapun, hanya sedikit diketahui tentang kasus Kim, termasuk mengapa dia ditahan. Berdasarkan pengalaman orang Amerika lain yang ditahan dan akhirnya dilepaskan oleh Korea Utara -- seringkali dengan bantuan politisi Amerika terkemuka, hal itu telah membuka 'pintu' di jaringan kamp tahanan rezim rahasia dan perampasan hak ditemukan di sana.

"Sel mereka berukuran 5 x 6 kaki, atau 1,5 x 1,8 meter persegi, dan ada beberapa celah di pintunya," kata Laura Ling, seorang jurnalis AS yang ditahan pada tahun 2009.

Pengalamannya itu ia ungkapkan dalam sebuah wawancara kepada majalah, setelah dia dibebaskan.

"Tidak ada jendela, jadi Anda tidak bisa melihat keluar, dan jika mereka menutup celah itu, ruangan benar-benar gelap gulita. Tidak ada cara untuk berkomunikasi dengan dunia luar."

Seorang tawanan lainnya, seorang misionaris AS bernama Kenneth Bae, mengatakan dalam memoarnya "Not Forgotten" yang diterbitkan setelah dibebaskan pada 2016, bahwa dia diinterogasi 15 jam sehari "dari jam 8 pagi sampai jam 10 atau 11 malam. Setiap hari selama empat minggu -- sangat intens."

Ketiga orang AS yang sekarang ditahan di Korea Utara ditangkap pada saat ketegangan antar dua nengara meningkat.

Kasus mereka mungkin berbeda, tapi mungkin posisi mereka sama -- menjadi bidak dalam permainan geopolitik yang kompleks.

Inilah kisah mereka, yang Liputan6.com kutip dari New York Times dan sumber lainnya pada Rabu (26/4/2017).

1. Tony Kim

Kim telah menghabiskan waktu sebulan mengajar akunting di Pyongyang University of Science and Technologi di Pyongyang. Saat ditangkap ia tengah bersiap naik pesawat untuk meninggalkan Korut pada akhir pekan lalu.

Hal itu diungkapkan oleh penasihat universitas, Chan Mo-park.

"Penyebab penangkapannya tidak diketahui, namun beberapa pejabat di universitas mengatakan bahwa penangkapannya tidak terkait dengan pekerjaannya di tempat ia mengajar," kata Park.

"Dia telah terlibat dengan beberapa aktivitas lain di luar universitas, seperti membantu panti asuhan."

Kim, yang berusia 50-an tahun, sebelumnya mengajar di Universitas Sains dan Teknologi Yanbian, sebuah institut terafiliasi di Provinsi Jilin, China, dekat perbatasan Korea Utara. Dia baru saja tinggal di Korut bersama istrinya, yang diyakini masih berada di negara itu.

Menurut laman Facebook-nya, Kim mempelajari akuntansi di University of California, Riverside dan Aurora University, dan bekerja sebagai akuntan di Amerika Serikat selama lebih dari satu dekade.

2. Otto Warmbier

Otto F Warmbier, mahasiswa University of Virgina itu berangkat ke Korea Utara bersama grup tur. Dan saat bersiap untuk pulang kembali ke AS, ia ditahan pada Januari 2016.

Dalam satu jam persidangan dua bulan lalu, dia didakwa mencoba mencuri pamflet propaganda.

Mahasiswa berusia 21 tahun itu dituduh bersalah telah melakukan subversi, dalam sidang pengadilan tinggi di Pyongyang yang berlangsung selama 1 jam.

Pengadilan menjatuhkannya 15 tahun hukuman kerja paksa.

Warmbier ditahan awal Januari saat berencana pulang bersama rombongan turis yang baru saja menikmati pergantian tahun di negara paling terkucil itu. Ia datang bersama grup Young Pioner Tours, yang selama ini dilarang oleh pemerintah AS untuk beroperasi di Korea Utara.

Sebelum vonis, pada akhir Februari lalu, pemuda tersebut membuat pengakuan di depan awak media bahwa ia telah mencuri pamflet berisi pesan propaganda dari hotelnya.

"Di pagi hari pada 1 Januari 2016, saya mengakui telah berbuat kriminal dengan mencuri pamflet berisi slogan politik dari area 'khusus pekerja' di Yanggakdo International Hotel. Akibat perbuatan itu, saya melanggar etos kerja dan motivasi orang Korea," kata Warmbier seperti dilansir dari Newsweek.

Selama 'pengakuannya' itu, Warmbier menangis dan memohon untuk dilepaskan dengan mengatakan, "Saya telah berbuat kesalahan terburuk dalam hidup ini."

Demi Uang dan Kebanggaan

Warmbier mengatakan motif pencuriannya adalah untuk dibawa ke AS dan akan dipajang di gereja. Seseorang membayarnya US$ 10.000 demi pamflet itu. Kalau ia tertangkap serta tak bisa pulang, sang ibu akan diberikan uang US$ 200.000.

Pemuda 21 tahun itu terpaksa menyetujuinya, karena keluarganya mengalami kesulitan finansial.

"Saya pikir ini momen emas untuk mendapatkan uang," ujarnya seperti dilansir Aljazeera.

Selain alasan uang, ada juga alasan kebanggaan. Bagi Warmbier, adalah sebuah kebanggaan bila ia bisa bergabung dengan 'Z Society', grup elite dan tertutup di University of Virginia yang didirikan pada 1892.

3. Kim Dong-chul

Warga AS keturunan Korea, Kim Dong-chul dilaporkan juga tengah menjalani hukuman 10 tahun kerja paksa. Kim yang merupakan seorang pastur di the Light Korean Presbyterian Church di Toronto, dihukum karena dituduh mata-mata.

Kim Dong-chul juga dituduh menggunakan agama untuk menghancurkan sistem Korut, dan membantu AS serta Korsel menculik dan membujuk warga Korut untuk membelot.

Sebulan sebelum persidangannya, Kim hadir dalam sebuah konferensi pers yang diadakan pemerintah di Pyongyang dan meminta maaf karena telah berusaha mencuri rahasia militer berkolusi dengan warga Korea Selatan. Badan mata-mata Korea Selatan membantah terlibat dalam masalah tersebut.

Keadaannya tidak diketahui sampai Januari 2016. Ketika pemerintah Korea Utara mengizinkan CNN untuk mewawancarainya di Pyongyang, Kim mengidentifikasi dirinya sebagai warga negara Amerika berusia 62 tahun yang tinggal di Fairfax, Virginia.

Dia mengatakan pernah mengelola perusahaan jasa perdagangan dan hotel di Rason, sebuah zona ekonomi khusus yang beroperasi di dekat Korea Utara -- berbatasan dengan China dan Rusia.

Dalam wawancara, Kim mengaku ia ditangkap pada Oktober 2015 saat bertemu dengan mantan tentara Korea Utara untuk menerima data rahasia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya