Liputan6.com, Wellington - Pemerintah Selandia Baru berencana menghapus undang-undang penodaan agama.
Rencana penghapusan UU itu berawal dari kasus komedian asal Inggris Stephen Fry yang dinilai melakukan penistaan agama dalam sebuah wawancara.
Baca Juga
Dalam sebuah wawancara televisi Irlandia tahun 2015, Fry ditanya apa yang akan ia katakan jika bertemu dengan Tuhan di pintu surga.
Advertisement
"Mengapa saya harus menghormati Tuhan yang selalu berubah-ubah, yang selalu berpikiran jahat, dan menciptakan dunia penuh dengan rasa ketidakadilan serta rasa sakit bagi umat manusia," ujar Fry
Sontak pernyataan tersebut diduga berunsur 'penghujatan', karena dinilai disampaikan penuh kesombongan.
Menurut pakar hukum Irlandia hal ini tergolong ilegal. Dan ia mulai menyoroti bahwa hukum 'penghujatan' juga ada di Selandia Baru -- sehingga timbul upaya agar mencabut undang-undang tersebut.
Dikutip dari Newshub.co.nz, David Seymour yang merupakan Ketua ACT dari partai oposisi minor mengatakan, seluruh anggota parlemen ingin mengakhiri hal yang mereka pandang sebagai pembatasan kebebasan berbicara yang sudah kuno.
Seymour menyebut, rencana penghapusan ini dipicu oleh penyelidikan kepolisian Irlandia soal komedian Stephen Fry yang dituding melakukan penodaan agama saat dirinya menyebut Tuhan sebagai "sosok yang jahat, berubah-ubah dan mengerikan seperti monster" dalam sebuah wawancara televisi tahun 2015.
Sehingga hal tersebut menyebabkan Selandia Baru meninjau kembali undang-undang mereka. Ternyata masih ditemukan pasal penghujatan.
"Undang-Undang Pidana Selandia Baru mengatakan, setiap orang bertanggung jawab dan dapat dihukum satu tahun penjara apabila menyampaikan ujaran penghinaan yang menyinggung agama orang lain serta pengecaman secara luas," ujar Seymour
Contoh perilaku menghujat termasuk membakar dokumen keagamaan seperti Alkitab, merusak gereja, menyembah berhala, dan menyatakan bahwa Tuhan itu tidak baik, tidak adil, ataupun kejam.
Berita ini mengejutkan banyak orang. Termasuk Perdana Menteri Inggris yang menganut aliran konservatif.
"Pada dasarnya ini adalah sebuah kecelakaan sejarah. Saya tidak bisa membayangkan jika undang-undang ini masih dipergunakan," tambahnya kepada awak media.
Salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari mayoritas partai politik, termasuk pemimpin oposisi Partai Buruh Andrew Little menyuarakan dukungan untuk membatalkan undang-undang tersebut.
Tak ketinggalan, Uskup Agung Anglikan Philip Richardson juga mendukung langkah tersebut.
"Pandangan saya adalah, Tuhan jauh lebih agung dan tak perlu dibela oleh undang-undang pidana," ujarnya.
Undung-undang mengenai penistaan agama sudah tercantum sejak tahun 1840. Ketika Selandia Baru menjadi koloni Inggris, aturan itu dirombak menjadi UU Pidana pada tahun 1961.
Namun, sejak dimasukan kedalam UU, belum ada satupun yang pernah dipidanai karena melanggar undang-undang ini.
Menurut data dari Pew Research Center tahun 2014 menyatakan, sekitar seperempat wilayah dunia atau 26 persen memiliki UU atau kebijakan 'anti penistaan agama'.
Dan 13 persen negara di dunia memiliki undang-undang atau kebijakan yang menghukum kemurtadan. Hukuman atas pelanggaran tersebut bervariasi dari denda sampai mati.