Liputan6.com, Manchester - Manchester Arena adalah sebuah gedung indoor dengan kapasitas tempat duduk lebih dari 20 ribu. Bangunan tersebut dibangun pada 1995.Â
Malam itu, Senin 22 Mei 2017, gedung yang pernah dipakai untuk Olimpiade 1996 dan 2000, menjadi lokasi konser bintang remaja Ariana Grande.
Seharusnya, sehabis menonton pertunjukan, para penonton pulang dengan riang gembira. Namun, tidak malam itu.
Advertisement
Suara gelak tawa berganti dengan teriakan kesakitan, kepanikan dan ketakutan. Sebuah bom meledak di luar venue Manchester Arena. Insiden itu menewaskan 22 orang dan melukai 59 lainnya.
Pelaku diduga bomber bunuh diri bernama Salman Abedi, 23 tahun warga negara Inggris kelahiran Manchester.
Sejumlah penonton dilaporkan masih tak jelas keberadaannya. Polisi Greater Manchester membuka hotline telepon menerima laporan orang yang masih hilang.
Di tengah kepanikan saat insiden itu terjadi, ada kisah-kisah heroik di dalamnya. Mulai dari orang pertama yang datang ke lokasi hingga penggalangan dana.
Berikut adalah 3 kisah heroik para penyelamat korban teror bom konser Ariana Grande yang dikutip Liputan6.com dari berbagai sumber pada Rabu (24/5/2017):
1. Gelandangan yang Jadi Pahlawan
Chris Parker adalah seorang tunawisma. Pada Senin malam 22 Mei 2017 waktu setempat, ia berada di muka Manchester Arena. Pria 33 tahun itu mengharap belas kasih dari para pengunjung konser Ariana Grande.
"Orang-orang berkerumun, semua tampak gembira," kata dia seperti dikutip dari Telegraph
Namun, saat para pengunjung keluar dari pintu kaca, suara ledakan keras terdengar. "Dalam sepersekian detik saya melihat sebuah kilatan putih, disusul asap. Kemudian terdengar teriakan," kata dia.
Momentum ledakan mengempaskan tubuh Parker ke lantai. "Alih-alih lari, naluri memerintahkan saya untuk kembali dan mencoba memberi pertolongan," ujarnya.
Parker melihat orang-orang tergeletak di sana sini. "Saya melihat seorang gadis cilik...ia kehilangan kaki," kata dia. Air mata mengalir ke pipinya saat menceritakan kesaksiannya di malam nahas itu.
Ia membungkus luka gadis tersebut dengan kaus suvenir yang ia temukan di sana. "Dan aku bertanya, 'di mana ibu dan ayahmu?'. Dia menjawab, 'ayahku sedang bekerja, dan ibuku di atas sana."
Parker yang tidur beratap langit selama bertahun-tahun juga bertemu dengan seorang perempuan berusia 60-an tahun yang cedera akibat bom. Kaki dan kepalanya luka serius.
"Ia meninggal dunia dalam pelukanku. Usianya 60-an tahun. Korban mengaku ada di sana bersama keluarganya," katanya.
Hal yang sama terjadi pada tuna wisma bernama Stephen Jones. Ia tak jauh darilokasi konser, bersiap untuk memejamkan mata. Suara kencang membangunkannya.
Dikutip dari The Independent, pada Rabu (24/5/2017), Jones memutuskan untuk mencari tahu apa yang terjadi. Melihat korban bergeletakan, sebagai manusia, ia mengikuti nalurinya untuk segera menolong mereka.
"Banyak sekali anak-anak dengan darah di sekujur tubuh. Mereka terluka, menangis dan berteriak panik," kata Jones.
"Mereka jelas membutuhkan bantuan, aku hanya mengikuti instingku untuk bertindak dan menolong mereka" lanjut pria berusia 35 tahun.
"Aku membantu korban yang kebanyakan remaja mencabuti sejumlah paku dari lengan mereka. Dan beberapa yang menancap di wajah salah seorang anak perempuan," ujar tunawisma itu.
"Ada seorang perempuan, kakinya robek, berdarah-darah. Jadi, aku dan temanku meminta dia meluruskan kakinya dan membebat luka dengan kausnya agar darah tak meluncur," tutur Jones.
"Aku jelas tak bisa meninggalkan anak-anak yang terluka parah itu. Hidupku tak akan bisa tenang menyaksikan korban jika aku tak menolong mereka. Aku memang tunawisma tapi itu bukan berarti aku tak punya hati," lanjut Jones ketika menjawab mengapa ia memutuskan menolong korban bom itu.
Advertisement
2. Muslim Tawarkan Taksi Gratis
Kekacauan terjadi usai ledakan di konser penyanyi Ariana Grande. Korban luka dan tewas ada di beberapa titik di Manchester Arena yang jadi tempat pertunjukan.
Melihat situasi begitu kacau, seorang sopir taksi bernama Saf Ismail mengambil keputusan besar. Ia memakai taksinya untuk mengevakuasi para korban ke rumah sakit.
"Orang di sana berhamburan masuk dan keluar, yang menjadi perhatian saya di kejadian itu adalah usia para penonton konser yang begitu muda," ucap Ismail seperti dikutip dari CBS News, Rabu (24/5/2017).
"Saya seperti terbayang putri saya ada di sana, putri saya berusia 15 tahun. Dia sebenarnya mau ingin ke konser tersebut, tapi beberapa bulan lalu ia memutuskan mengubah pikirannya karena konser tersebut bertepatan dengan ujian," sebut Ismail.
Dia mengatakan, hampir seluruh korban yang dilihat usianya masih sangat muda. Keadaan tempat konser usai ledakan begitu kacau untuk digambarkan dan sangat menyedihkan.
"Ada yang tidak terkena luka, tapi menangis dan berteriak sangat keras, mereka begitu emosional. Saya seperti melihat darah daging saya berada di sana," kata dia.
Ismail merupakan warga muslim Inggris keturunan Pakistan. Dia tumbuh besar di Manchester.
Kejadian teror tersebut membuat Manchester terasa asing bagi dirinya. Ismail menegaskan kota tempat kelahirannya adalah tempat yang damai bukan berbahaya.
Namun, melihat sikap masyarakat Manchester saat menghadapi teror, Ismail mengaku bangga. Sebab, semua warga tanpa mengenal latar belakang agama, suku ras saling bahu-membahu membantu korban.
"Masyarakat kota kami sangat kuat. Kami memang punya perbedaan, tapi kami memutuskan bersatu dan terus bersama," jelasnya.
Peran Ismail dalam membantu evakuasi korban dinilai sangat penting. Dia menggunakan taksinya mengangkut korban.
Bukan cuma sekali. Hal tersebut dilakukan sebanyak tiga kali. Terhitung ada 24 orang yang dievakuasi oleh Ismail menggunakan taksinya.
3. Warga Muslim Kumpulkan Donasi
Sejumlah badan yang diketuai oleh beberapa muslim, menggalang dana bagi korban bom Manchester. Ledakan bom yang terjadi di tengah konser Ariana Grande pada 22 Mei 2017 itu, menewaskan 22 orang.
Salah satu penggalangan dana yang dilakukan oleh organisasi Muslim Engagement and Development (MEND) itu berhasil mengumpulkan uang lebih dari 2.300 pound sterling atau sekitar Rp 39,7 juta.
"Ini merupakan bagian mendasar dari kepercayaan kita untuk membantu orang yang membutuhkan, tak memandang latar belakang mereka," ujar CEO MEND, Dr Shazad Amin, seperti dikutip dari Independent, Rabu (24/5/2017).
"Komunitas muslim bahu-membahu dengan korban (dan keluarganya) terhadap kejahatan ini," ujar Amin.
MEND mengatakan, pihaknya akan menunjuk sebuah kantor hukum atau akuntan setempat untuk mendistribusikan kepada para korban.
Kampanye penggalangan dana untuk korban bom Manchester lainnya dipimpin oleh British Muslim Heritage Centre. Bersama organisasi seperti Islam Society, mereka berhasil mengumpulkan lebih dari 700 pound sterling hanya dalam beberapa jam.
"Meski ini adalah kampanye yang dipimpin muslim, kami mempersilakan kawan-kawan kami yang memeluk keyakinan lain untuk berkontribusi," demikian keterangan organisasi itu dalam lamannya.
"Kami meminta muslim Inggris, masjid, imam, pemimpin, dan kelompok untuk mendukung dan mempromosikan prakarsa ini," kata dia.
Kelompok tersebut juga berjanji untuk berkoordinasi dengan pihak berwenang agar dapat mendistribusikan dana dengan tepat.
Upaya penggalangan dana lainnya juga dilakukan Just Giving yang berhasil mengumpulkan 562 ribu pound sterling. Laman GoFundMe yang ditujukan untuk Chris Parker telah mengumpulkan lebih dari 8.000 pound sterling. Seorang perempuan 60 tahun-an meninggal di pelukan Parker akibat bom Manchester.
Pemimpin muslim mengutuk serangan tersebut, termasuk dari Ramadhan Foundation dan Muslim Council of Britain. Selain itu sejumlah pujian diberikan kepada sopir taksi muslim karena telah membantu korban di tengah kegaduhan pascaledakan dengan menawarkan mereka pulang dengan gratis.
Â
Advertisement