Warga AS Jadi 'Kelinci Percobaan' dalam 7 Eksperimen Rahasia Ini

Pemerintah AS melakukan sejumlah percobaan berkaitan dengan kesehatan publik. Namun hal tersebut tidak diketahui warga.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 02 Jun 2017, 20:00 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2017, 20:00 WIB
Percobaan medis rahasia (0)
Ilustrasi percobaan medis di laboratorium. (Sumber Pixabay/DarkoStojanovic via Creative Commons)

Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang sejarah, pemerintah Amerika Serikat (AS) berhasil menjaga sejumlah rahasia.

Namun ketika sejumlah rahasia terkuak, banyak yang terkejut melihat berbagai hal yang telah dilakukan pemerintah.

Beberapa rahasia yang berbau teori konspirasi misalnya Area 51 dan MKULTRA. Lalu ada juga beberapa rahasia berkaitan dengan proyek-proyek persenjataan nuklir, termasuk dampak eksperimen radioaktif pada manusia.

Selain itu, pemerintah AS juga melakukan beberapa percobaan berkaitan dengan kesehatan publik, misalnya pencarian pencegahan dan pengobatan beberapa jenis penyakit menular.

Sayangnya, beberapa eksperimen dan penelitian untuk keperluan tersebut tidak selalu dilakukan dengan sepantasnya dan dilakukan terhadap warga AS sendiri.

Diringkas dari listverse.com pada Jumat (2/6/2017), berikut ini adalah sejumlah eksperimen dan penelitian rahasia bidang kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah AS:

1. Penelitian Obat Sipilis

Penelitian sipilis di Tuskegee. (Sumber Wikimedia Commons/National Archives and Records Administration)

Dinas kesehatan Amerika Serikat (AS), yaitu US Public Health Service, melakukan Penelitian Sipilis Tuskegeee (Tuskegee Syphilis Study) sejak 1932.

Sebanyak 600 warga Afrika-Amerika dipilih untuk ikut serta dalam penelitian. Di antara peserta, 399 orang mengidap sipilis dan 201 lainnya tidak mengidap penyakit.

Mereka yang mengidap sipilis tidak diberi pengobatan yang secukupnya karena pemerintah ingin melacak perkembangan penyakit tanpa terganggu oleh pengobatan.

Tapi para pria itu tidak diberi pilihan untuk ikut serta dalam penelitian yang hanya disebut sebagai eskperimen belaka. Eksperimen itu seharusnya berlangsung selama 6 bulan, tapi berubah menjadi penelitian jangka panjang selama 40 tahun.

Ketika penisilin menjadi obat utama melawan sipilis, para pasien tidak mendapat akses dan tidak diberi pilihan untuk mengundurkan diri dari penelitian. Sebagai imbalan, mereka dibebaskan dari biaya-biaya pemeriksaan kedokteran dan layanan pemakaman.

Belakangan ada gugatan hukum yang diajukan dan pemerintah kemudian memberikan pertanggungan biaya layanan pemakaman bagi pasien-pasien yang menyintas.

2. Penelitian Obat Malaria

Nathan Leopold dipenjara di Stateville Penitentiary. (Sumber Wikimedia Commons/Deutsches Bundesarchiv)

Penelitian malaria di Stateville Penitentiary dilakukan oleh pemerintah AS pada 1940-an di penjara Stateville Penitentiary yang terletak di negara bagian Illinois.

Penelitian melibatkan setidaknya 400 narapidana yang secara tidak sah ditularkan dengan malaria dan diikutkan dalam penelitian. Tujuannya adalah untuk menguji obat percobaan guna menemukan penyembuhan penyakit.

Rangkaian uji dilakukan dan dicatat sendiri oleh para narapidana. Jadi, selain menjadi pasien, mereka sekaligus menjadi pengawas. Para narapidana juga berembuk siapa di antara mereka yang ikut serta dalam eksperimen.

Proses pengujian diperhitungkan dalam masa hukuman sehingga beberapa di antara mereka mengalami pemotongan masa tahanan. Para narapidana juga memilih siapa di antara mereka yang layak menerima pengurangan masa hukuman itu.

Tawaran itu cukup menarik, tapi obat eksperimen itu memiliki beberapa dampak sampingan yang tidak bisa dipulihkan. Salah satu narapidana yang paling dikenal adalah Nathan Leopold dari kasus pembunuhan Leopold dan Loeb pada 1924.

Ia menyatakan bahwa para narapidana seringkali terkena dampak sampingan yang mengerikan tanpa bisa mengadu. Walaupun eksperimen itu terdengar tidak bermoral, eksperimen itu membawa manfaat bagi masyarakat. Warga melihatnya sebagai pengorbanan yang perlu untuk mendapatkan penyembuhan malaria.

3. Transfusi Darah Sapi

Ilustrasi Donor Darah (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Pada 1942, Edward Cohn, seorang ahli biokimia di Harvard University, melakukan sebuah eksperimen yang mendapat dukungan dari Angkatan Laut AS (US Navy). Pihak AL menghubungi Cohn untuk melakukan proyek rahasia untuk menciptakan senjata biologis potensial.

Bagian dari tugasnya adalah menyuntikkan darah sapi kepada para narapidana sebagai upaya mendeteksi protein yang dapat dipakai jika terjadi perang biologis.

Sebanyak 64 orang yang mendapat suntikan darah sapi mengalami dampak mengerikan hingga akhirnya meninggal dunia.

Eksperimen itu akhirnya gagal, tapi dari metode Cohn itu kemudian terungkaplah cara sebenarnya untuk mencirikan protein yang dimaksud, yang ternyata ada di dalam darah manusia dan bukan dalam darah sapi.

Metode itu diulangi dengan menggunakan darah manusia dan protein itu berhasil dipisahkan dalam keadaan murni. Hasilnya, protein itu kemudian tidak jadi dipakai sebagai senjata biologi dan bahkan mujarab dipakai pada pasien yang mengalami shock.

4. Penyebaran Bakteri

Golden Gate, San Francisco, Kalifornia, Amerika Serikat. (Randy Andy/Shutterstock)

Pada September 1950, Angkatan Darat AS (US Army) terlibat dalam eksperimen rahasia untuk menguji kemungkinan adanya perang biologi di Pantai Barat AS. Cara melakukan eksperimen adalah dengan menebarkan senjata biologi di jalan-jalan San Francisco untuk menguji dampaknya.

Mereka menebarkan suatu jenis bakteri untuk mencari informasi tentang dampaknya pada populasi. Namun semua itu dilakukan tanpa kesepakatan warga.

Menjelang akhir Operasi Sea-Spray, ada enam uji senjata biologi yang dilakukan pada warga San Francisco. Akibatnya, banyak yang meninggal dan menderita sakit. Pemerintah AS kemudian menyimpulkan adanya kemungkinan dampak perang itu pada suatu kota pantai.

Salah satu yang meninggal karena eksperimen itu adalah Edward Nevin. Ia meninggal karena bakteri yang ditebar oleh pemerintah menjalar dari saluran kemih menuju jantungnya. Ada beberapa kasus lagi sesudah itu, tapi banyak yang berhasil sembuh setelah perawatan jangka panjang dan menyengsarakan di rumah sakit.

5. Penyebaran Jutaan Nyamuk

Ilustrasi nyamuk Aedes aegypti. (Sumber Wikimedia Commons/US Department of Agriculture)

Operation Big Buzz adalah eksperimen pembawa bencana yang dilakukan oleh pemerintah AS pada 1955, walaupun tampaknya tidak berbahaya. Pemerintah AS menebarkan jutaan nyamuk Aedes aegypti yang bisa menjadi pembawa demam kuning di beberapa taman negara bagian Georgia.

Serangga itu dengan cepat menyebar ke kawasan pinggiran kota (suburb). Tujuannya adalah untuk mengetahui daya guna serangga itu sebagai senjata biologis melalui pelacakan kebiasaan gigitan serangga pada para pasien.

Nyamuk-nyamuk itu memang tidak benar-benar terinfeksi demam kuning, tapi pemerintah tetap menjajal potensi perang biologi melalui eksperimen pada warga sendiri yang tinggal di Savannah, Georgia.

Sejumlah catatan menyebutkan para pejabat pemerintah menyamar sebagai petugas kesehatan untuk mencatat gigitan nyamuk dan melacak lokasi-lokasinya.

Ada banyak eksperimen serupa dengan Operation Big Buzz yang dijalankan, misalnya Operation Drop Kick and Operation Big Itch.

Operation Drop Kick amat serupa, sama-sama menguji nyamuk di Georgia. Sementara itu, dalam Operation Big Itch, pemerintah AS menebarkan kutu ke ruang publik untuk mempelajari kebiasaan gigitan dan penyebarannya.

Seperti halnya Operation Big Buzz, maka Operation Big Itch dimaksudkan untuk menentukan daya guna kutu untuk menebar penyakit dalam suatu perang biologi. Semua penelitian itu menujukkan kegigihan pemerintah mengembangkan metode perang biologi yang mumpuni.

6. Pencarian Obat Hepatitis

Dr. Saul Krugman. (Sumber Museum of Disability)

Sebuah percobaan yang cukup mencengangkan demi mencari penyembuhan hepatitis adalah eksperimen Willowbrook. Penelitian berkelanjutan itu berlangsung dari 1956 hingga 1970 dengan para peserta yang diambil dari Willowbrook State School di Staten Island, negara bagian New York.

Para siswa sekolah itu adalah anak-anak dengan keterbelakangan mental. Percobaan melibatkan penyuntikan anak-anak itu dengan obat eksperimen yang dimaksudkan untuk menyembuhkan hepatitis.

Karena keadaannya, tentu saja anak-anak itu tidak mampu menyatakan persetujuannya. Padahal mereka bisa saja meninggal karena perawatan tersebut.

Ketika ditanyai tentang tindakan tersebut, para pejabat berdalih bahwa hepatitis itu sendiri memang ada di sekolah tersebut sehingga hampir semua pasien pun akan terinfeksi. Anak-anak yang tidak tertular secara alamiah malah sengaja ditularkan agar bisa dilibatkan dalam eksperimen.

7. Vaksin Campak

Ilustasi vaksinasi campak di Kamboja. (Sumber Flickr/CDC Global)

Beberapa eksperimen terkait vaksin campak dilakukan dari 1990 hingga 1991 oleh Centers for Disease Control (CDC). Para dokter ingin mengetahui apakah mereka bisa menggunakan vaksin itu untuk mengganti antibodi alamiah dalam tubuh bayi.

Untuk menguji hal tersebut, para dokter menyuntik ribuan bayi di Dunia Ketiga dengan obat tersebut. Vaksin yang dimaksud kemudian menyebabkan beberapa masalah kekebalan pada bayi sehingga banyak bayi yang meninggal walaupun jumlah pastinya tidak diketahui.

Walaupun sudah mengetahui dampak itu, pemerintah AS tetap menguji vaksin itu pada bayi-bayi Afrika-Amerika dan Hispanik di Los Angeles. Mereka menyuntik setidaknya 1.500 bayi di Amerika Serikat dengan obat uji coba tersebut.

Namun demikian, percobaan dihentikan ketika terungkaplah tingginya kematian anak-anak Afrika-Amerika, tiga tahun setelah menerima vaksinasi.

Pihak CDC belakangan mengakui bahwa para orangtua tidak menyadari bahwa anak-anak mereka disuntik dengan obat eksperimen yang belum mendapat verifikasi Federal Drug Administration (FDA).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya