Liputan6.com, Washington, DC - Kurang dari seminggu pasca-Korea Utara melakukan uji coba rudal untuk yang ke-11 kalinya, Presiden Amerika Serikat dan China berkomitmen untuk bekerja sama guna menangani polemik tersebut. Komitmen itu diutarakan oleh presiden kedua negara di KTT G20 di Hamburg, Jerman, beberapa hari lalu.
"Sesuatu harus dilakukan (soal Korea Utara). Dan sesuatu itu pasti akan menuai kesuksesan, meski perlu memakan waktu yang cukup lama," kata Presiden AS Donald Trump saat konferensi pers bersama Presiden China, Xi Jinping di KTT G20 di Jerman, seperti yang dikutip oleh CNN, Senin (10/7/2017).
Advertisement
Baca Juga
Pada kesempatan yang sama, Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa China "tetap teguh berkomitmen untuk denuklirisasi di kawasan Semenanjung Korea, melalui dialog dan konsultasi serta melibatkan komunitas internasional."
Minggu lalu, jelang KTT G20, tensi antara Amerika Serikat dan Korea Utara kembali memanas, setelah Pyongyang lagi-lagi melakukan uji coba rudal untuk yang ke-11 kalinya sepanjang 2017. Rudal tersebut jatuh di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Jepang.
Tes rudal itu menyulut amarah Jepang, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Tak hanya itu, amarah AS disimbolisasikan dengan melakukan unjuk gigi kekuatan militer di kawasan, juga dengan melakukan sejumlah latihan gabungan dan demonstrasi persenjataan bersama dengan Korsel.
Uji coba rudal yang dilakukan oleh Korut pada minggu lalu menimbulkan sejumlah kekhawatiran baru. Pasalnya, menurut sejumlah pakar, misil itu diprediksi berpotensi mampu mencapai kawasan Amerika Serikat.
David Wright, direktur Global Security Program dari Union of Concerned Scientist menjelaskan, misil Korut tersebut berpotensi mampu mencapai jarak 6.700 km.
"Meski tidak dapat mencapai daratan AS, ICBM (intercontinental ballistic missile) tersebut berpotensi menjangkau kawasan Alaska," kata David Wright.
Sementara itu, Kim Dong-yub, analis dari University of North Korean Studies di Seoul, Korea Selatan, mengatakan, "Jika diluncurkan menggunakan sudut yang tepat, misil itu mampu mencapai jarak 4.500 km."
Pasca-KTT G20, Hubungan China - AS Kembali Solid?
Jelang KTT G20 yang dilaksanakan pada 7 - 8 Juli 2017, sejumlah peristiwa politik yang terjadi sempat menggambarkan bahwa relasi Amerika Serikat dan China berpotensi menegang. Pasalnya, pada 29 Juni 2017, AS menjatuhkan sanksi keuangan terhadap sejumlah entitas perbankan asal Tiongkok.
Kementerian Keuangan AS menilai bahwa sejumlah entitas perbankan asal Tiongkok itu bertindak sebagai "pipa penghubung" untuk mendukung aktivitas finansial Korea Utara yang diduga ilegal dan melanggar hukum.
Bahkan jelang G20, Presiden Trump sempat mengatakan melalui Twitter bahwa administrasinya 'menyerah' untuk meminta bantuan China dalam penanganan polemik Korea Utara.
Di sisi lain, Presiden China sempat mengatakan bahwa, "Isu sensitif antara AS - China masih ada dan memerlukan kerja keras demi mengatasi isu tersebut."
Namun kini, pasca pertemuan antara Presiden Trump dan Presiden Xi pada KTT G20, kedua presiden nampak memberikan sinyal bahwa hubungan masing-masing negara kembali solid seperti sedia kala. Dan isu penjatuhan sanksi pada Juni 2017 lalu, tak berdampak pada relasi AS - China.
"Menuju Washington, DC dan Gedung Putih selepas dari Hamburg. Bersama dengan Presiden China Xi, kami melakukan pembicaraan yang luar biasa untuk isu perdagangan dan Korea Utara," tulis Presiden Trump dalam akun Twitter-nya, @realDonaldTrump, merangkum pertemuan dengan Presiden Xi, sehari pasca-KTT G20.
Selain itu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin juga menegaskan bahwa pada KTT G20, Tiongkok dan Negeri Paman Sam banyak mendiskusikan berbagai isu seputar Korut, termasuk aktivitas finansial ilegal yang dilakukan oleh negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un.
Media pemerintah China, Xinhua, juga melaporkan bahwa, pasca-KTT G20, kedua negara akan mendiskusikan sejumlah isu seputar kerjasama militer dan pertahanan.
"Menteri Pertahanan AS - China akan segera melaksanakan pertemuan dalam waktu dekat. Kedua negara juga akan melakukan dialog komprehensif seputar isu ekonomi, penegakan hukum, keamanan siber, dan sosial-budaya," tulis Xinhua. Media itu juga memprediksi bahwa dialog komprehensif tersebut akan dilaksanaka pada pertengahan Juli 2017 nanti.
Gedung Putih pun nampak mengamini pernyataan serupa.
"Dalam waktu dekat, presiden kedua negara akan melakukan dialog guna meninjau relasi bilateral, isu ekonomi, perdagangan, dan keamanan," jelas pernyataan Gedung Putih.
Saksikan juga video berikut ini